4 Jul 2013

Abdul Kohar Ibrahim | Sastrawan Lekra Wafat Di Brussel | Obituari

0 komentar
BRUSSEL — Dunia sastra Indonesia berduka. Indonesia kehilangan pengarang dan saksi sejarah paling kelam di Indonesia. Abdul Kohar Ibrahim wafat di Brussel, Belgia, pada 4 Juni 2013.
Menurut istri Abdul Kohar Ibrahim, Lisya Anggraini, Abdul Kohar Ibrahim berpulang pada Selasa 4 Juni di Rumah Sakit Saint Jeant Brussel. Tiga hari kemudian, 7 Juni 2013, AKI atau ABE, demikian Abdul Kohar Ibrahim disapa di sosial media, dimakamkan.
“Ini keputusan berat, karena beliau berwasiat jika berpulang dimakamkan di Indonesia,” begitu tulis Lisya Anggraini via Facebook saat dikonfirmasi jurnalis Radio Buku, Fairuzul Mumtaz.
“Namun karena terbentur prosedur keiimgrasian dan membutuhkan waktu yang lama untuk bisa sampai di tanah air, saya memilih dimakamkan di Brussel. Ini keputusan berat. Insyaallah untuk melapangkan kubur beliau, kami harus segera dimakamkan. Kami yakini, kami imani, kami akan dipertemukan kembali,” lanjutnya. “Mohon maaf segala salah dan khilaf suami dan bapak kami terkasih.”
Sebagai pengarang Eksil, AKI termasuk segelintir sastrawan Lekra yang “gentayangan” di Eropa yang produktif menyiarkan karya-karyanya melalui sosial media. Lahir di Jakarta, 16 Juni 1942, ia menjadi eksil sejak tahun 1965 ketika menghadiri perayaan ulang tahun ke 16 berdirinya Republik Rakyat Tiongkok.
Karya-karya Abdul Kohar Ibrahim, seperti puisi, cerpen, dan esai, sebelum Gestok 1965 meletus tersebar di pelbagai media seperti HR Minggu dan Lembar “Lentera” Bintang Timur. Ia juga tercatat sebagai redaktur majalah budaya yang diterbitkan Lekra, Zaman Baru, pada 1964.
Continue reading →
1 Feb 2013

Pulau Terendam Dendam

2 komentar
Oleh Jefri Al Malay

Surat yang tergenggam di tangannya belum jua sempat untuk dibaca. Tampaknya ada hal yang mengganggu perhatiannya saat ini. Wajahnya yang risau dan bimbang itu adalah pembuktian kecintaanya terhadap pulau yang selama ini adalah tanah kelahirannya, tanah nenek moyangnya yang ternyata beberapa hari belakangan ini tidak lagi aman dan damai. Tapi sebagai perempuan kampung yang tak begitu mengerti dengan segala sesuatu tentang sistem pemerintahan, dia hanya bisa menjadi penonton pasif. Teriakan demi teriakan itu sungguh tak dapat mengobati kebimbangannya. Siapakah yang salah? Benarkah masyarakat di pulaunya tidak lagi sejahtera? Benarkah roda pemerintahan terkesan lamban seperti yang dilaungkan? Apakah benar bahwa yang sedang memegang tampuk kekuasaan di pulaunya ini sudah melakukan praktik korupsi, kolusi dan nepostisme? Entahlah. Akhirnya ia berusaha mengabaikan segala sesuatu yang mulai menyesak di kepalanya. 

Perlahan-lahan ia mulai meninggalkan kerumunan massa yang begitu ramai di sebuah gedung perwakilan rakyat tersebut. Di telinganya masih terdengar teriakan dan pekikan orang-orang menuntut keadilan. Dia yang bernama Alifya, hanya bisa berkata di dalam hati bahwa tak ada keadilan yang mutlak dalam hidup ini. Dialah perempuan yang hampir saja tidak menyakini adanya keadilan secara menyeluruh. Baginya keadilan itu hanya dapat ditafsirkan sebagai buah tangan yang dapat digenggam oleh segelintir orang yang memang diberi kesempatan pada batas waktu tertentu kemudian jika keadilan itu seperti bola maka ia akan menggelinding kembali ke tempat yang lain pula. Demikianlah akhirnya ia menjalani hidup ini dengan tidak berharap sepenuhnya pada kata keadilan akan tetapi berjalan dengan kemantapan hati untuk menunggu kesempatan dan meyakini ada hari esok untuk kita semua menikmati yang namanya kebahagiaan.

Alifya, seorang gadis kampung yang belajar banyak tentang kehidupan melalui kisah cintanya yang menurutnya sedang tidak berpihak. Seorang yang dikasihi harus pergi jauh meninggalkannya hanya dikarenakan dendam antara kedua orangtuanya. Tapi kemudian hidup harus tetap dijalani meski tidak sesuai dengan kehendak hati.

Surat yang di tangannya adalah kata-kata azimat dari sang terunanya yang telah ditunggui beberapa purnama. Hari ini, surat itu sampai jua di pangkuan meskipun dalam kondisi pikiran serba bimbang. Akhirnya setelah sampai di rumah dan berusaha menenangkan pikiran, ia pun mulai membuka sampul surat tersebut. Dengan hati yang bergemuruh menahan rindu, Alifya pun mulai membacanya.

Puan...cahayaku

Entah sudah berapa lama-tak dapat kupastikan-aku tidak berkabar kepadamu, Dinda.. Jangan ada sak wasangka bahwa aku telah lupa, tidak! Tidak ada ruang di ingatan dan perasaan untuk sejenak saja melupakanmu, Alifya. Hanya saja seperti yang telah kukatakan kepadamu di surat sebelumnya, aku akan berangkat menuju ke pulau yang bernama Pulau Asap. Demikianlah akhirnya kami memulai sebuah pelayaran. Aku dan beberapa orang yang nekat untuk mengejar impian atau yang ingin lari dari kepura-puraan peradaban, mungkinkah bisa? Entahlah Alifya. Kami bagaikan jelma menjadi sekumpulan orang yang tidak lagi memiliki rasa takut. Seperti katamu, bukankah masa depan itu hanya untuk si pemberani.

Sebelum aku menceritakan kisah pelayaranku, setidaknya izinkanlah terlebih dahulu aku mengutarakan rinduku padamu. Asal kau tahu Alifya, jika kutuliskan baris-baris rindu ini seluruhnya, kurasa tak cukup tiga atau empat buah buku yang di dalamnya tertera beragam rasa rindu yang tak pernah terkelupas walau setipis apapun. Seiring itu juga aku menyadari, perlu waktu untukmu mempercayainya. Suatu waktu nanti akan kubuktikan keseluruhan rasa ini. Aku akan datang padamu Alifya dengan memikul berkebat rindu dan kasih. Semoga engkau telap memangkunya. Atas nama lelaki Melayu, janji ini menjadi tameng bagiku untuk mempertahankan kesucian cinta kita dan kau kekasihku, hendaknya demikian pula.

Tapi perlu kau tahu, Alifya. Pelayaran yang dilalui tidaklah seperti yang dibayangkan. Patut diakui bahwa kami mengalami ketercengangan sehingga kami seolah menjadi bisu dalam kesendirian yang mutlak. Bagaimana tidak, Adindaku. Kecipak serta arus air di lautan yang terdengar, tak dapat dijadikan petunjuk, apakah kami berada di lautan yang luas atau tidak. Hanya ada kabut mengelilingi. Jarak pandang berkisar antara delapan atau sepuluh meter. Yang membuat takjub tentu saja kecipak gelombang yang senantiasa menjadi irama tersendiri dalam pelayaran ini. Selain itu kicau burung camar terdengar begitu dekat di telinga namun tak satupun yang dapat ditangkap oleh penglihatan. Aku sungguh tercengang tatkala merasakan bahwa ini adalah kenyataan, aku sedang berlayar, dibelai gelombang, disaput angin, air yang memuncratkan buih berwarna keperakan. Sedang di atas sana tidak terlihat awan. Di kiri dan kanan tak tampak daratan. Di manakah kami?

Tapi kau pasti tahu bagaimana aku, Intan Payungku. Tak bisa disangkal, ketika bisa berpergian ke manapun adalah hal yang paling kusenangi.Walau tak mendapatkan kebebasan sepenuhnya tetapi serasa ada yang terbebaskan. Dan ternyata lautan memiliki kekuatan-kekuatan yang tak dapat diprediksi. Dari pelayaran yang tak bertuju ini, aku mengetahui seharusnya kita tidak selalu berpikir untuk menjadi kuat melainkan sesekali perlu merasa kuat. Melawan segala ketakutan dengan kemampuan yang kita miliki. Di sinilah aku akhirnya, berada entah di sudut dunia yang mana. Aku merelakan keberadaanku saat ini, sayangku.

Seperti yang kau ketahui Alifya. Bukan cinta namanya jika tidak ada perjuangan dan pengorbanan. Cinta kita yang telah digariskan membuak di antara dendam sesama orangtua yang akhirnya merendam keseluruhan dari kisah yang kita punya. Kita menjadi korban dari keegoan mereka. Kita terseok-seok dan tertatih-tatih mengeja rindu. Kerapkali kita bagaikan merapah kisah sejarah mereka yang pada gilirannya menenggelamkan puncak asmara. Sungguh memilukan jika dikenang. Tapi begitulah kehidupan berjalan, aku yakin ada rahasia yang perlu kita sibak atas semuanya.

Dalam suratku kali ini, hendak ceritakan sebuah kenyataan yang kusaksikan. Sungguh mengingatkan aku pada kisah cinta kita yang terbengkalai untuk waktu yang cukup lama hanya diakibatkan sengkarut dendam itu. Dendam yang tak berkesudahan. Baiklah Alifya, akan kuceritakan kepadamu persingahan kami yang pertama adalah sebuah pulau yang dikutuk. Tapi sebelumnya aku meminta maaf tidak bisa menyebutkan dengan pasti semua hal yang berkenaan tempat dan waktu kejadian. Karena selain tak mengetahui di mana keberadaan kami, juga tidak diketahui kapan siang dan malam. Aku hanya mengikuti naluri, ketika mataku mulai mengantuk, kuanggap hari sudah malam dan ketika mataku tercelik, kutetapkan bahwa hari sudah pagi.

Demikianlah situasinya Alifya. Hingga di suatu waktu, kabut yang menelingkupi pelayaran kami perlahan menguak sedikit demi sedikit sehingga membuka dan memperluas jarak pandang lalu sayup-sayup terlihatlah sebuah dermaga. Setelah juru kemudi sekaligus juru kunci menuju Pulau Asap-tentu saja orang tua yang pernah kuceritakan pada suratku yang pertama dulu-mengisyaratkan bahwa kami akan singgah di dermaga itu untuk membeli perbekalan yang kian menipis. Betapa ketika itu, setelah perahu kami merapat dan menambatkan talinya di dermaga tersebut, kami seolah-olah seperti terjaga dari tidur yang panjang. Tentu saja setelah lama terombang-ambing dalam pelayaran maka pemberhentian menjadi sebuah teduhan yang bisa merebahkan segala kelelahan.

Namun ternyata apa yang disaksikan tidak seperti yang diperkirakan. Kami justru dihadapkan dengan sebuah kenyataan yang tak bisa diterima oleh akal sehat. Percaya atau tidak, kami berlabuh di sebuah pulau yang terendam air. Awalnya kami menyangka air yang ketinggiannya mencapai paha itu hanya tergenang di sekitar dermaga. Tidak Alifya, pulau tersebut terendam keseluruhan. Sejauh mata memandang hanyalah genangan air yang berwarna coklat keruh dan baunya amis. Memang selebihnya, kehidupan di pulau itu semuanya tampak wajar. Gedung-gedung berdiri megah, ruko-ruko memanjang di setiap jalanan tetapi air itu Alifya, ada di mana-mana. Kau akan menyaksikan kehidupan yang terseok-seok dalam rutinitasnya. Kendaraan baik roda dua atau empat tampak bagaikan kerumunan mesin lamban yang berjuang mengarungi genangan air. Para pejalan kaki yang merapah air, kelelahan di setiap langkahnya. Tapi jika diperhatikan dengan lebih seksama, kelihatannya kondisi seperti itu tidak lagi menjadi persoalan bagi mereka. Mungkin kejanggalan bagi kita yang baru pertama kali menyaksikan telah menjadi kebiasaan yang lumrah pula bagi mereka.

Keinginanku untuk mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi atas pulau tersebut tak terbendung lagi. Diam-diam aku memisahkan diri dari rombongan. Lalu kuharungi saja air yang mencapai sepangkal paha itu. Semakin lama baunya minta ampun, Alifya. Sungguh kian menjauh dari dermaga, air itu semakin pekat, menghitam dan berlendir. Tapi tiba-tiba pundak kiriku disentuh oleh lengan seseorang. Langkahku pun terhenti. Ternyata Pak Tua si juru kemudi sudah ada di belakangku.

‘’Tidak dibenarkan untuk berpisah jauh dari rombongan kalau tak mau kutinggalkan di pulau terkutuk ini,’’ katanya sembari menatapku tajam. aku hanya terpaku, Alifya. ‘’Tak kan kautemui orang yang dapat menjawab semua kenyataan yang sedang kau saksikan. Mereka tak akan memberikan jawaban.’’

‘’Tapi aku...’’

‘’Sudah! Cukup, simpan semua rasa ingin tahumu kalau kau tak ingin ikut terkutuk di sini.’’ Langkahnya terhenti dan sekali lagi ia menatapku dengan pandangan yang tegas. Aku tentu tak bisa berbuat apa-apa Alifya. Kusadari dalam pelayaran ini serupalah dengan kehidupan, banyak hal tak terduga terjadi di sekitar kita sehingga kemungkian-kemungkinan yang tidak kita ingini hendaknya dapat disikapi dengan bijak. Aku pun segera kembali bergabung dengan rombongan. Berbelanja sealakadarnya dan setelah selesai, kami semua kembali ke perahu untuk melanjutkan pelayaran.

Begitu tali tambat terlepas dari pancangnya, perahu kamipun perlahan-lahan mulai bergerak menjauh. Aku masih terpana di depan haluan sembari menatap pulau yang penuh misteri itu. Dari kejauhan ianya tampak begitu indah, Alifya. Sungguh disayangkan ketika mendapati kenyataan bahwa pulau itu telah dikutuk. Di benakku bergumpal pertanyaan yang terus menggeliat.

‘’Pulau itu telah dikutuk,’’ suara Pak Tua si juru kemudi setengah berbisik, mengusik ketermanguangku. Aku hanya mengangguk kepala tanpa alasan. ‘’Dulu pulau itu sungguh makmur, memiliki kekayaan alam yang berlimpah ruah, sebuah negeri yang bertamadun, yang berpotensi memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya tapi ketahuilah olehmu, apa yang kita miliki tak menjamin untuk tercapainya sebuah kemakmuran. Begitulah, seiring berjalannya waktu, manusia yang dipercayakan sebagai khalifah di muka Bumi ini seolah-olah lupa dengan kodratnya. Kau tahu! Pulau itu dikutuk akibat dendam yang bersengkarut dari manusia-manusia yang dipercayakan sebagai pemegang kekuasaan. Akibat dendam sesama mereka yang berebut kekuasaan dengan mengatasnamakan kepentingan rakyatlah yang mengakibatkan lumpuh segala sisi kehidupan.’’
‘’Maksudmu?’’ aku mulai penasaran.

‘’Dendam itu serupa benalu yang akan membunuh induk semang sampai ke akar-akarnya. Demikianlah yang kau saksikan,dendam membuat orang lupa apa yang seharusnya dilakukan selain dari pada harus saling membenci, saling menjatuhkan, dan pada akhirnya kekuasaan menjadi wujud monster yang menakutkan, kekuasaan tidak lagi berpihak kepada kepentingan orang banyak.’’

Aku mulai mengerti arah pembicaraan Pak Tua  itu, Alifya. Sempat pula kuberpikir, jika kehidupan hanya dikendalikan dengan pikiran licik semata, sungguh umur kehidupan itu sangat singkat.

Ia menarik napas dalam-dalam ‘’Ya...dendam yang kian menggenang telah pula merebak sampai kepada masyarakatnya. Apa yang bisa diharapkan dengan kehidupan sedemikian. Sesama kita saling menjatuhkan, saling membenci, saling curiga. Kecintaan bukan lagi untuk kebersamaan, bukan lagi untuk kemakmuran negeri tetapi menyelamatkan diri sendiri, menumpuk kekayaan, membangun istana pribadi, , ahhh...!’’

Alifya kekasihku. Ketercenganganku atas apa yang berlaku saat itu seiring dengan perenunganku terhadap diri sendiri. Apakah aku layak mengikuti pelayaran ini setelah meninggalkan kau jauh di kampung sana yang setiap hari tergenang dalam buak dendam. Penakutkah aku, Alifya?

Entahlah...yang kutahu, aku terus menginginkan dirimu untuk menjadi bidadari hidupku. Engkau pertama dan yang terakhir.

Tuan Junjunganmu
Wahidin


Alifya mengakhiri pembacaan surat dari kekasihnya dengan menghela napas panjang. Kemudian ia melipat rapi-rapi dan menyimpannya di tempat yang menurutnya aman dan terjaga seperti halnya ia menyimpan nama sang pujaannya rapi di ceruk hatinya yang paling dalam. Lalu kemudian sayup-sayup masih terdengar teriakan-terikan dari pendemo yang menuntut turunnya kepala pemerintahan yang sedang menjabat di negerinya.

Sejenak dia tercengang dan kembali bimbang, manakah yang harus dia percayai antara cerita dari surat yang baru saja dibaca ataukah realita yang melanda pulaunya saat ini?

Pulau Rindu, 2011-2012

Jefri al Malay
Anak jati Sei Pakning-Bengkalis yang rajin menulis berbagai karya sastra dari puisi, cerpen dan esai budaya. Karya-karyanya dimuat di berbagai media massa. Dia juga tercatat sebagai staf pengajar di SMA 2 Bengkalis.
Continue reading →

Pulau Asap

0 komentar
Oleh Jefri Al Malay

Setelah merasa tidak memiliki apa-apa selain kata-kata, akhirnya kuputuskan saja menulis surat ini padamu, Alifya. Hanya ini yang kubisa. Sedikit banyak, ianya mampu mengobati kerinduan yang tertancap di hati. Serupa pancang yang terpacak menjulang bertahun-tahun di tepian jambat, hanya berteman gelombang pasang surut, arus, terpaan angin, juga kebat tali sampan atau pompong yang melingkarinya. Sesekali singgah juga burung raja udang sekedar menjengah mangsanya kemudian terbang lagi, senyap lagi. Aku risau Alifya, takut kalau-kalau kerinduan itu menjadi usang, lapuk dan rapuh disebabkan terlalu lama meniti waktu yang tak pasti.

Tapi kau tahu, kenangan yang tak bisa kuungkai dalam pikiran ini kadangkala menjelma impian, seringkali membuat aku menginginkan segala hal yang paling mungkin kulakukan bersamamu meski kutahu itu bisa saja hanya menjadi sesuatu yang disebut mustahil.

Begitulah, akhirnya yang lebih berharga di sini, di keterasingan ini, kesepian ini, hanya kata-kata. Barangkali juga ianya tidak mampu merubah apa-apa, selain hanya serak dan remah yang kian lama tertimbun membusuk. Tapi sudah mutlak benarkah bahwa kata-kata tidak ada gunanya dan hanya sia-sia disebabkan terlalu banyak orang yang cuma bisa berkata-kata? Kemudian siapakah yang sudi mendengarkan dan mempercayainya? Siapakah yang peduli?

Entahlah. Setahuku, di dunia yang pernah kita ciptakan berdua dari untaian sajak-sajak cinta, dari kejujuran yang bersemayam di ceruk jiwa terdalam, roh kasih mencuat ke permukaan menjelma bahasa-bahasa kalbu, aku masih yakin, setidak-tidaknya engkau masih setia mendengarkan kata-kata serta mampu mengucapkannya sekaligus memahami maknanya. Bukankah itu lebih penting ketimbang terlalu banyak yang berkata-kata tanpa peduli dengan apa yang diucapkannya. Dan kau juga pernah berkata terlalu banyak kepedulian yang hanya sebatas ucapan ketimbang dilakukan. Aku setuju itu, mungkin ini jugalah alasan salah satunya kenapa kutuliskan surat ini untukmu, Alifya. Karena hanya engkau yang mungkin bisa percaya.

Akan kulanjutkan isi surat ini dengan menyebutkan kepadamu bahwa aku telah pun menemukan tujuan dari perjalananku selama ini. Perjalanan yang mengakibatkan cinta kita harus kandas sebatas cerita-cerita asmara di bawah batang getah, di dalam kebun ubi, atau di celah-celah kayu bakau di pantai. Tapi seperti yang telah kukatakan padamu perpisahan hanya butuh waktu untuk mengobatinya, percayalah.

Tetapi kalau sekiranya diperkenankan aku kembali bisa mengulang waktu, maka aku memilih menanti daripada pergi dengan memikul beban cinta dan setia. Apalagi kepergian yang tidak ada kepastian kapan bisa pulang membangun keping-keping rindu untuk utuh kembali menjadi cinta yang berujung kepada dermaga kebahagiaan. Dalam perjalan inilah kusadari satu hal. Dengan janji yang terlanjur terucap, aku telah mempertaruhkan “kebebasanku” sebagai seorang lelaki lajang untuk menutup rapat-rapat bilik asmara yang sejatinya pasti dimiliki oleh setiap manusia. Adakalanya hal tersebut mengganggu keseimbanganku, Alifya.

Tapi kau harus percaya. Itu tidak lagi menjadi persoalan. Lagi-lagi kukatakan hanya butuh waktu untuk membiasakannya. Jika kita ikhlas dan sabar menjalani hidup dan persoalan yang ada, tanpa disadari sebenarnya waktulah yang mampu mengobati segalanya.
Baiklah, akan kuceritakan bagaimana akhirnya aku mampu memutuskan untuk pergi ke suatu tempat, suatu tujuan yang jelas meskipun kedengarannya mustahil tapi tekadku telah bulat. Barangkali saja inilah tujuan terakhirku hingga sesudahnya bisa kutemui dirimu, dengan kesiapan yang mantap untuk bisa menerima apapun yang berlaku atas dirimu dan cinta yang sekian lama kutitipkan. Setidaknya kita bisa bertemu, bukan?

Sore itu aku duduk santai di sebuah jambat reot yang terdapat tidak jauh dari tempatku bekerja. Jambat yang senantiasa setia menerima keberadaanku untuk menumpahkan segala kisah dalam kesendirian ini. Di situlah aku mengungkai segala kenangan sambil menggoreskan bahasa kerinduan. Di jambat yang batang sungainya bermuara entah sampai di mana, yang airnya keruh, kuning kecoklatan, budak-budak yang menceburkan tubuh ke dalamnya, membasuh hari-hari mereka menjadi gelak dan tawa. Kadang aku larut bersamanya, seolah-olah ikut dalam ritual alam tersebut. Tentu saja aku juga menyaksikan orang-orang mendayung sampan, menumpangi harapan dari wajah-wajah mereka yang lelah. Tetapi air sungai itu, meski keruh dan berlinyang tetap saja sejuk sekaligus memberiku harapan ketika kususupkan kaki ke dalamnya.

Kemudian tiba-tiba saja aku melihat seseorang. Lelaki paruh baya yang setiap hari menghalakan sampannya ke arah timur, ke arah matahari terbit. Ya, setiap hari pula ia melambaikan tangannya kepadaku seraya menunjukan satu arah dengan memberikan isyarat dari telunjuknya itu. Selama ini memang tidak pernah kugubris tetapi hari itu saat dimana gerimis jatuh dari langit aku membalas lambaianya. Entah kenapa itu kulakukan, yang jelas lelaki itu kemudian mendayungkan sampannya ke arahku. Air sungai ketika itu naik pasang, sehingga dengan mudah ia merapatkan sampannya. Setelah bersalaman ia langsung mengambil tempat duduk disebelahku.

“Setiap hari aku melihat engkau duduk di sini, Nak?” ia memulai bicara.

“Mhhm…” anggukku singkat.

“Kerja di mana, Nak?” ia bertanya dengan ramah.

“Di pelabuhan itu, Pak…” sambil mengarahkan telunjukku ke pelabuhan satu-satunya yang memunggah penumpang di kota ini. “Sebagai cleaning service,” tambahku pula.

Ia hanya mengangguk beberapa kali. Kemudian dengan nada yang agak berat ia melanjutkan. “Di kota mencari kerja tidak mudah, apalagi bagi orang-orang yang tidak memiliki saudara atau kenalan yang mempunyai pengaruh atau jabatan. Skill dan ijazah saja tidak menjamin untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Tetapi pasti engkau juga mengetahuinya Nak, setiap hari selalu saja ramai orang datang ke kota walau hanya dengan modal nekat, mereka datang untuk memburu sesuatu, entah itu impian, cita-cita atau apa sajalah yang ada dalam pikiran mereka. Dan kita tentu memakluminya itu sebagai perjuangan.” Lalu ia tertawa kecil. “Itulah hidup, harus diperjuangkan Nak…”

 Gerimis masih berjatuhan menciptakan riak kecil di air sungai serupa jarum-jarum halus yang turun dari langit. Alifya kekasihku, akhirnya seperti yang telah kuduga sebelumnya, ia menceritakan banyak hal kepadaku. Meski menurutku tidak ada satupun yang menarik, tetap saja aku menjadi pendengar yang setia. Ia terus sibuk bercerita dan tak menghiraukan sekeliling, hingga sampailah akhirnya ia menceritakan sebuah pulau yang terbungkus kabut asap. Pulau itu sudah ada sejak dahulu kala, katanya. Meski tak terdeteksi abad ke berapa ianya mulai dihuni namun tak pernah terjamah oleh manusia kebanyakan kecuali orang-orang pilihan.
 
“Pulau yang terbungkus kabut asap?” aku memotong ceritanya. “Bagaimana bisa?”

“Apa yang tidak bisa di alam yang luas terbentang ini, Nak? Khayalan yang ada dalam pikiranmu bisa saja menjadi kenyataan di lain tempat atau di lain waktu, siapa yang tahu? Pernahkah suatu saat kau ingin melarikan diri dari berbagai persoalan yang dihadapi. Lari ke suatu tempat, di dalamnya terdapat kehidupan serupa taman. Dengan bunga yang dipinang cinta dan kejujuran, bangku-bangku, meja dan pot bunga serta pohon-pohon rindang yang ditata dalam kesetaraan. Orang-orang saling berbincang dalam kesopanan, berkata sambil menghayati kata-katanya, peduli dan segera melakukan apa yang diucapkan, kemudian ada banyak waktu untuk meresapi wajah mentari dan rembulan di balik tahta kerajaan alam, pernahkah Nak?”

Aku hanya melongo sambil melihat wajah lelaki itu. Ada energi aneh yang menarikku sehingga seolah-olah aku masuk ke dalam tatapannya. Tatapan kebahagian yang mengatasi keduniawian. Samar-samar aku seperti dapat melihat sebuah pulau yang terbungkus kabut asap. Dari jauh ia berbentuk seperti gumpalan-gumpalan awan sementara disekelilingnya adalah samudera maha luas. 

Benarkah itu sebuah pulau?
Sayangnya aku tidak dapat melihat lebih banyak lagi Alifya. Lelaki itu buru-buru berkata dan tiba-tiba saja penglihatanku itu lenyap dalam sekejap. “Itulah pulau yang disebut sebagai Pulau Asap.”

Tapi kau jangan berpikiran asap yang mengelilingi pulau itu seperti kabut asap yang ada di tempat kita, Alifya. Ianya bukan asap yang ditimbulkan dari pembakaran hutan. Bukan kabut asap yang dapat menyebabkan kita terserang Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), bukan pula kabut asap yang datang selayaknya musim panas atau musim hujan yang menjadi ritual tahunan di negeri kita ini, tidak Alifya.

Menurut lelaki itu, asap yang menyelubungi pulau tersebut hanya serupa gumpalan asap namun tidak memiliki resiko apa-apa bagi yang menghirup udara di sana. Bahkan konon asap tersebut menjadi perisai agar sesuatu yang buruk, baik itu manusia dan niatnya maupun hal-hal yang tidak baik tidak bisa dan tak akan pernah sampai ke sana.

“Ini aneh, jika pulau itu memang ada, bagaimana mungkin tidak banyak orang tahu tentang pulau asap itu?” tanyaku penuh curiga, jangan-jangan lelaki paruh baya ini hanya bersenda-gurau atau malah mau mempermainkanku.

Ia diam sejenak, menatapku dan sepertinya ingin meluruskan keraguanku. “Hanya orang-orang pilihan yang bakal tahu sebab aku tahu dengan siapa saja boleh kuberitakan hal itu, dan aku adalah juru kunci menuju pulau asap, akulah yang mengangkut para penumpang yang benar-benar siap berangkat menuju ke sana, tentunya dengan beberapa syarat, bijak dan jujur, ingat itu!” ia segera turun ke sampan dan meraih dayung, memutar haluan lalu berkayuh.
Aku ditinggalkannya dengan sejuta tanya di kepala, tapi kemudian kudengar ia berseru, “Kalau Anak hendak ke sana, siap-siaplah jam dua belas malam ini, aku jemput engkau di jambatmu itu,” lalu ia menolehku sambil tersenyum penuh misteri. Kemudian ia melaju dalam kayuhnya, menghilang ditelan rintik gerimis yang belum jua berhenti.

Alifya, seperti kataku tadi, tekadku telah bulat. Aku akan berkemas dan segera berangkat menuju ke Pulau Asap. Sebuah pulau di mana kata-kata tidak hanya jadi slogan, tidak hanya sebatas semboyan dan janji-janji belaka. Di mana kata-kata diucapkan untuk segera dilakukan, tidak terbiar begitu saja menjadi baliho-baliho usang, spanduk-spanduk lapuk dan undang-undang yang berkarat seperti di negeri kita ini.

Selamat tinggal Alifya. Ingat selalu padaku. Berilah doa restu. Jika kelak aku kembali, pasti kuceritakan perihal negeri asap itu dan jika ada kesempatan mungkin saja aku akan membawamu ke sana. Ke pulau impian seperti yang pernah kita bayangkan, sebuah negeri yang tidak hanya dimabukkan dengan sebatas kata-kata belaka.

Pekanbaru, 9 April 2009
Tuan Junjunganmu, Wahidin
 
***

Jefri al Malay, Lahir Sungai Pakning. Ia menulis puisi dan cerpen dan kini tercatat sebagai mahasiswa Universitas Lancang Kuning Jurusan Sastra Melayu serta tercatat sebagai guru di SMA Negeri 2 Bengkalis.
Continue reading →

Menyurati Kematianmu, Jelaga

0 komentar
Oleh Jefri Al Malay

Lelakiku yang terlahir dari simbah keringat yang kukenal seperti apa baunya, dari lendir yang serupa dan darah yang sama asinnya kini kepalanya bagaikan terpenggal, dijadikan tumbal tunggal yang mengatasnamakan kemajuan peradaban.
Masihkah pantas aku sembunyikan perasaan sedih ini sementara berita pembunuhan yang terjadi padamu bukan lagi jadi rahasia? Telepon yang masih kugenggam menyisakan erangan tepat jelang ajal menjemputmu. Aku mulai berpikir, sampai bilakah pembantaian terhadap manusia dan kemanusiaan harus dikubur dalam-dalam? 
Sementara di depan mata begitu berserak kesewenangan itu. Ah... tragedi orang-orang biasa seperti lelakiku, tak selamanya dapat direkayasa untuk dilupakan. Inilah kisahnya!

Sebagai seorang lelaki yang begitu kudamba keberaniannya, maka tak salah akhirnya kunamai kau sebagai Jelaga. Begitu angkuhnya perawakanmu, betapa sepinya duniamu ternyata setelah mengenalmu lebih jauh tak sedemikian pula halnya. Kekar tubuhmu ditatap dengan mata telanjang ini, membangkitkan gairah untuk menyelami seluk beluk tubuhmu yang menyamudera makna. Tatapanmu mengejewantahkan warta tentang kerinduan dan tertukik di sana sebuah harapan tentang hari depan. Ucapmu bagai ramalan yang dapat menyejuk bagi sesiapa yang mendengarkan. Kau sempurna untuk seorang lelaki idaman. Kau masa lalu sekaligus masa depan. Berjalanlah waktu tapi selalu aku memilih untuk tetap diam dalam pelukanmu. Dari sekian banyak pilihan yang menebar di muka bumi maka kau telah kupilih untuk dijadikan sandingan hati. Kaulah Jelaga, lelaki dengan recup-recup energi tak berkesudahan.

Tapi kau akan mati dicincang di depan keramaian dan hiruk pikuk kota metropolitan. Kabar itulah yang kudengar dari sepenggal pesan yang sampai di pangkuan sedang aku masih perempuan yang menyimpan perawan. 

Malam itu kamarku tak lagi mewangi tapi aroma kematian tiba-tiba menjalari setiap inci ruangan. Aku dengan sisa kerinduan tak dapat membayangkan wajah pembunuh yang setega itu merubuhkan pilar-pilar ingatan tentang lelakiku. Atau penguasa seperti apakah kiranya yang rela membiarkan kau tercincang jadi keping-keping tubuh lusuh. Berkecai dipijak-pijak keangkuhan serupa bara ingatan yang luncas seketika tatkala disiram hujan kepongahan. 

Awalnya aku masih curiga, jangan-jangan berita kematianmu itu hanya untuk segelintir orang yang tak memahami apa itu investasi, komersialisasi, elitisasi lahan kota. Tapi tidak! Engkau benar-benar akan dibunuh. Bukan hanya desas-desus tapi pesan yang masuk ke telepon genggamku itu berkali-kali menyatakan kebenarannya. 

Salah apa dirimu Jelaga? Sungguh berkali-kali aku masih coba meyakinkan diri bahwa ini bukanlah realita. Bahwa kau tak mungkin dibunuh setelah berpuluh tahun turut memberi warna dan haruman, mulai dari ceruk kampung hingga memacak tugu sejarah di tengah-tengah kota. Memang kerjamu belum tuntas Jelaga, semua orang tahu itu. Pekerjaanmu tak mudah dengan hanya merancang-rancang belaka tapi harus dibuktikan dengan tindakan, itulah tekadmu. 

Lalu, apakah karena pekerjaan tak selesai itu lantas kau disingkirkan begitu saja? Dipelanyak dalam riuh rendahnya bandar? Tentu saja aku tak menerimanya sekaligus tak bisa berbuat apa-apa karena aku wanita, ya aku rakyat biasa serupa denganmu. Hanya bisa menampung isak tangis sambil menghidupkan irama langgam dalam nada-nada yang meluluhlantakkan jiwa. 

Ada desah napas yang tak putus setelah nyawamu meregang. Tubuhmu telah telanjang. Bibirmu katanya masih mengguratkan senyum segar walau kau mati menggenaskan. Mungkin itulah pesan! Pembunuhan tak selamanya menewaskan dan hati-hatilah tangan-tangan kekuasaan, pembunuhan selalu berbuntut amukan dan kehancuran. 

Aku tiba-tiba tersentak. Mengingat gambaran peristiwa demi peristiwa yang sempat kita lewati di detik jelang berpisah. Aku yang dulu adalah pribadi kaku, tapi tidak setelah kedekatan kita. Engkau memang Jelaga, seorang lelaki yang kemudian hari dikenal banyak orang sebagai sosok yang bisa berubah rupa. Kadang seorang laksamana atau kadang pula kau jelma tuan putri berselendang kain sutera. Bagiku itupun tak jadi masalah tersebab kukenal engkau walau terlambat dan kurekatkan kuat-kuat di hati ini sebagai Jelaga. Lelaki yang tak tergantikan. 

Aku tersentak berkali-kali. Entah kenapa seiring berita kematianmu yang begitu dekat, serapat itu pula kurasa kenangan bersamamu. Tapi kenangan itu rasanya telah kau bungkus pepat dalam sebuah bungkusan kusam. Sepertinya kau memang telah bersiap-siap sebelum buku hantam pembunuhan itu membubuhkan tikam ke liang perutmu. ‘’Ai... Jelaga...entah bagaimanakah tragisnya kematianmu?’’ desahku makin menipis di pecahan bibir yang mengering ini.

Pesan singkat itu masuk lagi ke layar telepon genggamku. Katanya air mata sedemikian tumpah ruah melaman ketika semua orang yang mengenalmu menghabiskan sisa waktu bersamamu. Aku yang sudah terlanjur jauh darimu hanya menggelinjang sendiri di bilik kamar. Mengikis sisa kecup yang masih melekat di tubuhku. 

Bukan aku tak berusaha menghubungimu tapi tiap kulakukan panggilan melalui telepon jarak jauh, ya malam itu. Justru aku hanya dengar gumammu Jelaga. Gumam yang tak jelas. Kadang bunyinya serupa air terjun jatuh ke jurang maha dalam dengan desis yang kian menderas, hanya rasa sayup bila terus mendengarkan. Di menit berikutnya tatkala kuulangi panggilan, terdengar pula suara lolong dan pekik dari sisa reruntuhan peradaban, suara kau kah itu Jelaga? Menangiskah engkau sebelum meregang nyawa?

Tapi yang kutahu, engkau adalah keberanian yang mutlak. Bersandar di sanalah cintaku padamu Jelaga. Kau selalu diibaratkan sebuah gedung tua yang berdiri tetap menyisakan megah, bukan karena bentuk dan ukiran yang ada tapi kenangan dan sejarah yang kau papah tak dapat dinilai dengan harga. Seharusnya tak dapat ditawar-tawar hanya dengan janji-janji para penguasa. Sudah berapa banyak anak yang terlahir dari keringatmu menahan gelora di kelengkang waktu? Sudah berapa tujah terang yang memancut dari silau cahaya, tempat kau memulai menetaskan percik api? Siapa yang bisa menjawabnya atau bergunakah jika ditanyakan pada mereka yang selama ini sengaja memejamkan mata? 

Lalu air mata yang mengayau di malam terakhir itu, kan bermuara di mana Jelaga? Beri aku penjelasannya! Aku di kejauhan ini akhirnya hanya bisa bersak wasangka bahwa barangkali saja kebersamaanmu di detik-detik terakhir itu hanyalah bersama sekawanan perempuan seperti diriku yang tetap tak dapat berbuat apa-apa. Ah... aku jadi makin cemburu memikirkannya. Pastilah ketika itu adalah ritual perpisahan dengan segenap kemesraan kemudian diselingi pelukan-pelukan, sedu-sedan dan jabat tangan serta diakhiri pidato kerelaan. Demikianlah yang bisa dilakukan bila berhadapan dengan kekuasaan. Apalagi sosokmu yang memang selama ini hanya menumpang di lahan orang. Bila tiba masanya tuan tanah meminta, tak ada yang bisa dilakukan selain menyerahkannya. Tapi yang kukesalkan, tak semestinya diakhiri dengan tragedi pembunuhan.  

Entahlah... dalam pikiranku yang sempit ini, rasanya semua akan jadi mudah jika hendak duduk membicarakannya. Mencari mana yang terbaik dan mana yang patut. Tapi barangkali beginilah cara kerja yang namanya kekuasaan. Bila semua telah diputuskan tak ada lagi yang perlu dibicarakan. Harus menurut bila tak mau dicap pembangkang yang akhirnya harus disingkirkan layaknya seperti dirimu Jelaga. Atau mungkin saja terlalu banyak yang kau sangkal selama ini sehingga hidupmu harus diakhiri dengan cara yang telah mereka tentukan. Ya... kekuasaan tetaplah kekuasaan. Dengan sayap keangkuhannya yang merasa bisa melakukan apa saja di dunia ini. Mungkin ada benarnya juga bahwa adakalanya kekuasaan jadi sosok yang sangat menakutkan. 

Baiklah...aku yang berada di ejaan paling terakhir di daftar namamu, akan mengisahkan kepergianmu Jelaga. Aku tahu pula, di sana meski kau bersimbah darah suci tetapi kau tentu saja tak kesepian. Anak-anakmu ya... mungkin juga anak-anakku (hasil buah cinta kita) tak membiarkan kau terkapar dalam kematian yang menyesatkan. Itu yang paling penting!

‘’Jangan bunuh anak saya...’’

‘’Jangan bunuh anak saya...’’

Pekikan itulah yang kudengar dari telepon genggam saat kulakukan panggilan kembali. Mungkin saja itu suaramu, parau dan lengkingnya tak ubah serupa sekali dengan suaramu dulu ketika kau marah-marah padaku. Dan setelah itu yang terdengar adalah suara berdebam. Suara kejatuhan. Meski samar-samar terdengar tapi demikianlah kepergianmu tak hanya dihantar dengan doa-doa tapi juga rangkaian nada, selentik tarian dan bahasa tubuh serta azimat-azimat turut pula menggenangi tanah kelahiranmu. 

‘’Inilah kelak sejarah kematian yang demikian berdengung,’’ suara orang-orang saling berbisik sesamanya. 

‘’Bukan! Ini kematian yang paling fenomenal. Kematian yang dikelilingi para kekasih hati,’’ sambung yang lainnya.

‘’Ini kematian yang paling sempurna keindahannya. Lihat! Berapa luas tanah yang akan menjadi kuburannya’’. 

‘’Tidak! Kalian semua silap. Ini kematian yang disertai penghinaan. Memanipulasi pembangunan dan kemajuan dengan harus menebus segalanya meski nyawa sekalipun.’’

Semua omongan akhirnya terdengar jelas di speaker telepon genggamku. Aku seperti mendengar siaran radio. Sesekali mengelap hidungku yang mulai tersumbat karena menahan sebak di dada. Sebagai wanita, aku menangis tentu saja, Jelaga. Lalu di ujung pertemuan jarak jauh itu aku seperti memasuki sebuah dimensi yang menggambarkan peristiwa pembunuhanmu yang sesungguhnya. Engkau yang telah terbaring di atas ranjang kayu berukiran selembayung, seulas senyum yang begitu pasrah melekat di bibirmu. Lalu tikaman yang menghujah ke seluruh bagian tubuhmu kau sambut dengan senyuman yang sangat singkat. 

‘’Tak usah bersedih sayang... aku telah mengalami kematian berkali-kali. Tikaman yang bertubi ini tak menghalangi aku untuk berenkernasi dalam wujud yang lain di masa yang lain pula,’’ ucapmu seolah-olah ditujukan padaku. Ya... dalam situasi serba tak mungkin itu kau menatapku. Lalu beberapa detik senyap dan setelah itu sebelah tanganmu terjuntai jatuh ke lantai menandakan semua telah tamat. 

Aku yang terpaku tak lupa pula memotret momen terakhir itu. Memotret kepercayaan pada hidup yang telah dikalahkan. Memotret keadaan sesungguhnya bahwa besok tak ada lagi lelaki yang tersimpan sempurna di kepalaku yang bernama Jelaga. Aku tiba-tiba merasa menjelma seorang pengembara yang tak tau lagi di mana alamat untuk pulang, menyandarkan lelah dan sisa energi petualangan. Aku juga menyerupai budak-budak yang dahulu pernah mengaji di sebuah surau namun pada hari berikutnya tak menemukan bekas tempat biasa mengulang kaji. Haruskah aku berputus asa?

Dengar sayang...ini aku Jelaga. Jika kau terbangun dari tidur dan merasa sia-sia disebabkan hari itu kau menyadari adalah akhir dari hidupmu jelang esoknya sementara kau belum berbuat apa-apa dalam hidup ini, maka di sisa waktunya mulailah berbuat sesuatu yang berarti.  

Suara terakhir dari panggilan terakhir pula untukmu, aku menangkap pesan itu. Sunyi. Malam dengan dengung kematian yang tersisa menggumpalkan kenang pada sesuatu yang telah tiada. Lalu aku mengambil celenganku yang berbentuk topeng mak yong. Kupecahkan seraya menghitung jumlah uang yang terkumpul. Besok aku harus berangkat ke kotamu. Aku yakin mayatmu takkan sempat mereka urus untuk dikebumikan. Aku maklum sekali di kotamu dengan hidup yang serba tergesa-gesa tak punya waktu untuk hal-hal demikian. Tak lupa kubawa batu nisan dengan namamu beserta alamat kematian dengan selengkap-lengkapnya. Supaya tak ada yang bisa disembunyikan dari siapa saja bahwa kau pernah ada di sana. Di antara kepongahan orang-orang yang memaknai peradaban. 

Kau lahir dan mati di sana, ya akan kuukir alamatmu itu dengan ukiran kaligrafi yang paling indah. ‘’Jelaga (kekasih hati) lahir dan mati di Komplek Bandar Seni Raja Ali Haji. Jl Jend Sudirman Pekanbaru-Riau’’. 

Handphone yang masih tergenggam ini yang masih menyisakan kisah berdarahmu akhirnya kusimpan di dalam lemari bersama setumpuk surat cintamu dulu. Biarkan kau tetap tertumpuk rapi meski hanya dalam sejarah. Aku takkan mengucap salam perpisahan sebab aku percaya perkataanmu bahwa tikaman bertubi tak membuat kau mengalami kematian sebab kematian adalah kebiasaan bagimu. Ya..kau telah mengalami kematian berkali-kali tapi hidup lagi dalam wujud yang lain dan waktu yang lain.***  

Pulau Rindu, 07-14 Febuari 2012
Jefri al Malay, Lahir Sungai Pakning. Ia menulis puisi dan cerpen dan kini tercatat sebagai mahasiswa Universitas Lancang Kuning Jurusan Sastra Melayu serta tercatat sebagai guru di SMA Negeri 2 Bengkalis.
Continue reading →

Teringat Megat

0 komentar
Oleh Jefri Al MalayBeginilah kenangan. Muncul dalam kesederhanaannya. Bisa saja lewat sepatah kata, cuplikan peristiwa, suasana hati, ataupun sepotong lagu.

Seperti biasa, pagi ini aku kembali harus menjalani rutinitas sehari-hari sebagai seorang yang bekerja di sebuah lembaga yang menanggulangi AIDS. Bagiku kerja adalah sebuah tuntutan hidup yang mau tidak mau mesti dilakukan. Bukan hanya persoalan uang atau pendapatan yang didapat setiap bulan tetapi bagaimana aku mempertanggung jawabkan hidupku selama masih menyandang gelar sebagai manusia yang bernafas, memiliki kebutuhan, kewajiban dan tuntutan hidup lainnya.

Pekerjaanku hanya berkutat di depan layar komputer, memasukkan data orang-orang yang terjangkiti virus HIV terutama di Kabupaten Bengkalis atau orang yang sudah meninggal diakibatkan penyakit yang berbahaya tersebut. Data itulah kemudian dijadikan laporan per bulannya untuk dikirimkan ke pusat. Betapa mudahnya sehingga terkadang aku menjalani pekerjaanku tersebut dengan sangat santai.

Berbeda halnya dengan istriku. Ia seorang yang super sibuk. Di samping sebagai Pegawai Negeri Sipil di kantor camat, ia juga mengurusi berbagai organisasi kewanitaan, entah apalah namanya aku tak dapat menyebut satu pun saking banyaknya. Pagi-pagi sekali, setelah mengantar anak kami ke sekolah ia pun langsung  menuju ke kantornya yang sebenarnya tidak berjauhan dengan tempat kediaman kami di kelurahan Sungai Pakning ini. Sedangkan kantorku berada di kabupaten kota yakni Bengkalis. Aku harus menyeberang dengan menggunakan feri untuk sampai ke tempat kerja. Setidaknya butuh waktu sekitar satu jam untuk penyebrangan tersebut, mulai dari proses memuat penumpang hingga sampailah menurunkannya. Untung saja tidak ada aturan yang ketat di kantorku itu terutama mengenai jam masuk dan jam pulang sehingga aku bisa agak berlengah-lengah dalam hal yang satu ini.

Demikianlah, di pagi yang cerah, aku pun berada di dalam feri. Di antara rutinitas yang kujalani setiap hari, pada bagian inilah menjadi bagian yang amat menyenangkan. Waktu satu jam untuk sampai ke pulau seberang menjadi ajang petualangan pikiran bagiku. Selalu saja kubiarkan pikiranku menerawang ke masa-masa yang pernah aku singahi.

Memang kuakui kenangan adalah hal yang sering kali membuat hidupku bergairah. Dengan begitu bukan berarti aku tidak memikirkan masa depan atau jangan pula dinilai aku tidak berhasil hari ini sehingga menyenangi masa lalu. Tidak, tidak demikian halnya. Ketika kususuri setiap inci kenangan, seringkali kutemui ruang-ruang yang terkadang begitu penting tetapi justru aku abaikan begitu saja. Atau terkadang aku menemukan hal-hal yang kulakukan dulunya tidak berharga tetapi hari ini ianya menjadi begitu besar efeknya dalam hidupku. Banyak lagi ragam peristiwa yang muncul begitu saja tatkala kubuka kembali lembar kenangan, yang jelas inilah eksistensiku atas semua yang telah kulakukan semasa hidupku sampailah dengan saat ini. Kemudian pada ujung dari petualangan pikiran tersebut selalu saja muncul pertanyaan, apa saja yang telah kulakukan? Apa saja keinginan yang belum tercapai?  Berapa banyak waktu yang telah aku pergunakan dengan benar atau malah sudah berapa  banyak waktu yang kusia-siakan?

Kini pikiranku melayang tanpa dapat kucegah setelah melihat bentangan laut yang tidak begitu luas. Aku sangat suka dengan laut. Ombak yang menari-nari, angin sepoi, burung-burung beterbangan yang tak henti berkicau, sampan nelayan yang ditimang-timang gelombang, suara gemericik air laut, kayu-kayu bakau dengan akar yang bersigau, pantai dan sesai. Kesemua itu memberikan inspirasi bagiku. Selalu saja setelah kunikmati laut dan seisinya, aku seperti telah memuntahkan segala perasaan dan pikiran yang membebani.

Dan kenangan itu datangnya menyerupai cuplikan-cuplikan di dalam film. Kubiarkan saja pikiranku berkuasa atas pilihannya. Secara tiba-tiba ada instrumen yang tertangkap oleh indera pendengaranku. Musik itu! ya, musik itu  menjadi pemicunya. Aku mempercepat langkah untuk masuk ke dalam, ke tempat duduk penumpang yang telah disediakan.

Agak nyaman di sini. Selain terpasang AC, juga disediakan layar televisi yang sedang memutar lagu-lagu dengan  menggunakan VCD. Aku memilih tempat duduk yang berada di pinggir, tepatnya sebelah bagian kanan feri yang tentu ada jendelanya. Sembari menikmati suguhan musik yang sedang diputar dapat pula aku tetap menikmati suasana di luar. Lalu musik disco remix yang sedang berdentum-dentam keluar dari speaker di dalam feri itu secara spontan mengingatkan aku pada seseorang.  Kepada sahabatku yang sangat akrab sekali. Sebut saja namanya Megat karena begitulah sapaan yang  kerap kami gunakan untuk menunjukan identitas dirinya yang sangat menganggumi cerita sejarah dari alam Melayu yaitu Megat Sri Rama. Seorang Laksemana yang berani tampil ke depan merebut keadilan atas perlakuan Sultan yang semena-mena terhadap rakyat jelata. Kononya Sultan telah membunuh istri Megat Sri Rama hanya dikarenakan istrinya memakan seulas nangka milik sang sultan. Bagi kawanku itu Megat Sri Rama adalah tokoh pembaruan dalam sejarah Melayu.

Megat temanku itu adalah seorang aktivis kebudayaan. Ia anti kemapanan. Di dalam pikirannya selalu saja meluncur pikiran-pikiran baru yang menentang kebijakan yang telah ada. Apa yang dipikirkannya itu kemudian dituangkan ke dalam tulisan. Dia adalah kakak tingkat di tempatku kuliah. Aku mengenalnya ketika dalam sebuah forum peluncuran buku yang ditaja oleh  kampusku. Megat salah seorang pembicaranya. aku cukup terpukau dengan caranya berbicara dan menyampaikan pikiran-pikirannya yang cukup cemerlang di dalam forum tersebut. Setelah acara selesai, kuhampiri dia. Kami pun memulai perkenalan itu dengan saling menyebut asal nama kampung yang ternyata sama. Hanya saja ia sejak dari umur enam tahun sudah hijrah ke Pekanbaru mengikuti orang tuanya. Begitulah mulanya, mungkin dikarenakan banyak kesamaan sehingga akhirnya kami pun begitu akrab.

Persahabatan kami kekal hingga sekarang. Mulai dari masih sesama bujang sampailah aku sudah beranak satu dan dia beranak dua. Walaupun sudah jarang sekali bertemu disebabkan ia menetap di Pekanbaru sedang aku harus pulang ke kampung tetapi kami masih sering kontak melalui via SMS atau handphone.

Musik disco remix itu masih mengutak-atik segala kenangan terhadap Megat. Sebenarnya bukan dikarenakan Megat menyenangi musik itu, begitu juga denganku yang juga tidak suka jika ada orang yang mengatakan aku tagih mendengar musik tersebut. tetapi di balik semuanya, ada persitiwa atau momen dalam kebersamaan kami di mana ternyata kami juga butuh musik-musik seperi itu. “Musik kebebasan untuk satu malam” kata Megat suatu ketika dulu.

Tapi sebentar. Lihatlah disekelilingku. Musik yang berdentum-dentam ini ternyata sedang dinikmati orang-orang di sekitarku. Wajah mereka yang ceria, goyangan kecil kaki yang mengikuti rentak irama, tangan yang mengempang di jok kursi dengan jari-jemari yang mengikuti tempo, ibu yang sedang menggendong anaknya dan membiarkan tubuhnya bergoyang perlahan mengikuti gerak penari di layar televisi. Sungguh musik, apa pun jenisnya tanpa disadari mampu memicu orang untuk berekspresi. Apakah mereka juga seperti aku yang kini sedang mengingat sesuatu?

Dengan suasana seperti ini, ingatanku kepada Megat semakin jelas. Suatu hari aku mendapat telepon darinya. Ia menyebutkan dengan suara agak berat bahwa ia sudah bercerai dengan istrinya. Aku tertegun sejenak tak dapat mencari kata-kata yang tepat untuk merespon pernyataannya itu. Agak lama kami tak bersuara. Kemudian ia pun melanjutkan perkataannya “Menikah itu tidak semudah yang dibayangkan. Ada banyak hal yang harus dipersiapkan. Bukan hanya semata-mata perasaan cinta tetapi lebih dari pada itu adalah menjaga kesepakatan yang tak tampak sebelumnya di antara sepasang kekasih setelah mereka resmi menjadi suami istri.” Percakapan lewat handphone tersebut tidak belangsung lama. Bukan karena aku tidak begitu tanggap terhadap masalah yang sedang dihadapi Megat tetapi memang ia sendiri yang memutuskan percakapan itu dengan alasan yang tak jelas. Tetapi sebagai sahabat tentu saja aku mengetahui betapa saat itu ia sedang tidak tenang.

Akhirnya, di sela-sela waktu bekerja, kusempatkan untuk berkunjung ke Pekanbaru dalam rangka bertemu dengan seorang sahabat yang kini harus bercerai dengan istri dan juga dengan dua orang anaknya.

Hari sudah hampir gelap ketika aku sampai di Pekanbaru. Kami lalu berjanji ketemu di sebuah kafe di sekitaran jalan Riau. Begitu aku sampai di tempat yang dijanjikan, ternyata Megat sudah lama menunggu. Pertama kali bersua setelah hampir satu tahun tidak bertatap muka, aku hampir tidak percaya melihat Megat. Seseorang yang dulu begitu tegar menghadapi caci-maki dari orang yang tidak menyenangi tulisannya di koran bahkan begitu tenangnya ia menghadapi teror baik dari handphone maupun secara langsung akibat pemikirannya yang selalu mengganggu ketenangan orang lain. Tapi tampangnya yang kusut masai berada di depanku, apakah Megat?

Setelah berpelukan, ia pun berkata seolah-olah mengerti dengan tatapan aneh dariku.  “Jangan kau kira penampilanku begini diakibatkan perceraian dengan istriku. Tidak! Itu tidak sedikitpun berpengaruh dalam hidupku tapi anak!” katanya singkat.

Kami pun duduk dan memesan makanan ketika itu. Aku masih menatapnya dengan  kerinduan seorang sahabat berbancuh dengan perasaan haru. Setelah menyalakan rokok dan meneguk sisa bir yang ada di dalam kaleng, ia pun kembali berkata.

“Kau tak perlu menunjukan ekspresi terharumu itu, aku tidak butuh. Kau kira aku ini siapa? Aku masih Megat yang dulu. Tapi jika kau bertanya penyebabnya aku akan mejawab bahwa perempuan sekarang sudah tercerabut dari kodratnya. Itulah penyebab utama hancurnya rumah tanggaku.” Megat memang selalu mendahului jawaban sebelum pertanyaan aku sodorkan. Itulah kelebihannya yang paling aku suka. Katanya dia tidak mengalami kesulitan membaca pikiran orang dengan hanya melihat mata orang tersebut.

“Jadi di mana istrimu sekarang?”

“Mantan istri”

“Ya. Maksudku mantan istrimu?”

“Pulang ke kampungnya”

“Sekalian dengan anak-anakmu?”

“Ya”

“Kenapa?”

“Dia membawa anak-anaku lari tanpa sepengetahuanku. Kau tahu! Betapa tersiksanya diri dilanda rindu bila tak dapat bertemu dengan anak-anak? Ianya mengalahkan kerinduan kepada seorang kekasih sekalipun yang paling kau cintai. Hati ini bagai diiris-iris pisau sepi. Hari-hari seperti didera sekarung hampa yang jatuh menimpa kepala. Ya. Jika kau punya anak, kelak kau kan merasa.”

Waktu itu aku mendengarkan segala luapan emosi Megat ketika menceritakan semua yang dialaminya. Megat yang merasa kesepian diakibatkan kesibukan istrinya yang seperti tak ada habisnya. Megat juga akhirnya mengutuk emansipasi wanita yang justru menurut istrinya adalah tuntutan yang layak bagi wanita di zaman modern sekarang ini.

Ada satu hal yang menarik dari apa yang dibeberkan megat. Dia merujuk kepada zaman dahulu. Kenapa misalnya rumah tangga orang tua-tua kita dulu jarang sekali terjadi perceraian. Selain perceraian adalah hal yang tidak disenangi oleh Allah, juga sekaligus merupakan aib, tentu saja dulu istri-istri mereka selalu ada di setiap suaminya membutuhkan. Tidak melalak ke sana ke mari seperti perempuan di zaman sekarang ini.
Aku mencoba merespon apa yang diucapkan Megat ketika itu dengan mengatakan bahwa zaman dahulu dengan sekarang tentu jauh berbeda. Dahulu kebutuhan hidup tidak rumit seperti sekarang ditambah lagi biaya hidup yang cukup tinggi sehingga banyak wanita yang akhirnya harus membantu suaminya untuk menutupi segala kekurangan yang ada.

Tak dapat kulupakan Megat jadi meradang atas responku itu. Dia mengatakan bahwa tidak ada yang berbeda dari zaman ke zaman. Lelaki tetap lelaki dan perempuan tetap perempuan. Dan dia juga tidak menyalahkan jika wanita harus bekerja tapi ingat, ada batasnya. Jangan sampai kebablasan. Jangan sampai lupa bahwa di rumah anak-anaknya menunggu untuk dibelai, dicium, diperhatikan. Jangan sampai lupa di tempat tidur suaminya mengharapkan kehangatan dan kasih sayang dari seorang istri yang siap melayani tanpa ada kesan terpaksa karena lelah.

Megat melanjutkan panjang lebar “Kau tau, akibat kesepian yang kualami, akibat kodratku sebagai suami tidak berjalan dengan semestinya, akhirnya sudah tidak terhitung berapa kali aku harus tercebur dalam dunia malam yang menggairahkan sekaligus menghiburku untuk melupakan sejenak kesepian yang begitu menyesakkan.” Megat kembali menyedot asap rokoknya dengan nikmat sekali sedang aku segera menghabiskan makanan yang telah terbiar sejuk akibat percakapan malam itu. Malam semakin merayap, sepoi angin dan taburan bintang seakan-akan menambah suasana pertemuan di antara kami. Tidak berapa lama berselang itu, Megat mengajakku ke suatu tempat. Kami pun pergi.

“Kau dengar… inilah musik kebebasan untuk satu malam!” kata Megat kepadaku setelah akhirnya aku tak bisa menolak ajakannya untuk pergi ke salah satu tempat karaoke yang ada di ibu kota provinsi ini. “Bernyanyilah, menarilah agar kau tahu apakah itu kebebasan yang dicari oleh kebanyakan orang. Padahal ianya tidak ada sama sekali…hanya kesenangan sesaat. Ya, seperti yang kita rasakan sekarang ini. Katanya sambil menenggak bir yang memang telah disediakan di atas meja.

Sebelum ia menuju ke lantai untuk menari dengan seorang wanita yang telah dipesannya, Megat berbisik kepadaku “Di sini aku merasa impas. Ada puluhan perempuan yang terjebak bekerja di sini diakibatkan ulah lelaki dan tak sedikit pula lelaki yang terpaksa harus kemari mencari sesuatu karena tidak mendapatkan apa yang seharusnya didapat sebagai seorang suami di rumah, termasuk aku salah satunya. Impaskan?” ia pun tertawa berdekah-dekah sambil bergoyang mengikuti irama musik disco remix yang seakan-akan membenamkan segala persoalan yang sedang dialaminya. Begitulah Megat.

Suara sirinei pertanda hampir sampai ke seberang membuyarkan segala apa yang aku kenang. Aku pun bangkit berdiri, bersiap-siap untuk menuju ke kendaraan dan segera meluncur ke tempat kerjaku. Setelah aku keluar dari ruang penantian penumpang, sayup-sayup masih terdengar olehku musik disco remix yang masih diputar. Tiba-tiba saja ada perasaan ganjil yang kurasakan. Sesudah beberapa menit terkenang Megat, wajah istriku pun samar-samar tergambar dalam pikiranku. Betapa sebenarnya aku hampir tidak dapat mengingat seperti apa tepatnya letak tahi lalat di kening istriku yang dulu sering ku kecup karena sudah hampir sekitar setahun lebih aku tidak memperhatikannya. Sejujurnya tidak ada waktu untuk itu karena malamnya setelah aku pulang dari kerja terkadang istriku yang belum pulang. Atau ketika aku agak telat, justru istriku telah mendengkur di tempat tidur. Apakah tidak lucu apabila aku harus mengingatmu Megat?

Pulau Rindu, 28 September-02 Oktober 2010.

Jefri al Malay, lahir di  Sungai Pakning 16 Oktober 1979, adalah alumni Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR), Jurusan Teater. Menulis cerpen dan puisi. Saat ini menjalani profesi sebagai guru di SMAN 2 Bengkalis. E-mail: al_malay@yahoo.com
Continue reading →
30 Jan 2013

Kelembak Sejarah

0 komentar
Oleh Jefri Al Malay


Pagi tersibak. Cahaya surya perlahan merangkak. Di tempat tidur, Umar belum juga bergerak. Dalam kerebahan, samar-samar ia tatap seekor kelembak. Terbang menari-nari, mengelilingi seisi kamar yang masih berserak. Sementara anaknya yang berumur dua tahun masih tampak tidur sangat nyenyak. Berpikir sejenak sembari mengembalikan ingatan sepenuhnya, ia pun beranjak.

Setelah mandi dan berpakaian, Umar ke dapur bersarapan. Juadah telah pun dipersiapkan. Istrinya memang cekatan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, Umar pun dilayani dengan semestinya sebagai suami idaman. Ia selalu memulai percakapan di meja makan. Mulai dari gurau senda sampai ke hal pekerjaan.

Tak jarang juga Umar memulai dengan keluhan. Tapi istrinya Fatimah setia mendengarkan. Bagai mana tidak? Semenjak dua menjak, terkadang Umar tak dapat bertindak selain bersungut layaknya anjing menyalak. Sebagai guru seni budaya di sekolah, ada hal yang menurutnya menyalah. Seorang guru seni dituntut bisa semuanya, tak bisa mengelak. Harus bisa mengajar musik, tari, teater, lukis dan sastra sekaligus.

Jika sudah demikian, kopi segelas pun disodorkan. Fatimah pun memaklumi, bahwa perbincangan itu pasti ujung-ujungnya tak bisa berbuat apa-apa. Seringkali Fatimah menyarankan agar tak usah banyak keluhan. Sudah bersyukur diberi pekerjaan dan dibayar gaji meski tak tiap bulan.

Selalu Umar jelaskan pada istrinya, bahwa seni itu sebuah ilmu. Ia memiliki cabang-cabangnya. Masing-masing cabang memiliki disiplin ilmu yang beda pula. Layaknya ilmu eksakta, ada matematika, fisika, kimia dan bilogi. Bukankah masing-masing punya pencapaian tersendiri dan tenaga pengajar tersendiri pula.

Begitulah seharusnya pelajaran seni diberlakukan. Tapi apa hendak dikata, segalanya tergantung para pembuat kebijakan. Ia hanya bisa berharap suatu ketika nanti ada kesadaran bahwa seni budaya bukanlah cuma pelajaran hiburan. Bahkan di belahan bumi yang lain, kemajuan seni budaya justru dapat membuat negeri mereka tercatat dalam sejarah dan ternama hingga masa ke masa.

Kalau sudah sampai di sana pembicaraannya, Fatimah bergegas mengambilkan tas kerja sebagai isyarat untuk waktunya Umar berangkat. Mungkin juga istrinya berupaya agar keluhan suaminya tak sampai melarat, ia sangat percaya bahwa keluhan hanya akan membuat orang jadi penyakitan kalau tak disampaikan pada yang berpatutan. Umar pun segera berangkat tentu saja setelah di dahi istrinya kecupan mendarat.

‘’Oya, nanti sambil bereskan kamar, jangan lupa keluarkan kelembak yang ada di dalam kamar ya, mana tahu ada racunnya, tak sehat untuk anak,’’ Umar pun melangkah ke luar rumah menuju kendaraan.

Tapi sejenak Umar dibuat terperangah. Ternyata kelembak sudah pula berada di tanah. Ia mengitari kendaraannya tak tentu arah. Ada gerangan apakah?

Tapi pagi yang cerah, hendaknya tak memulai pikiran dengan masalah, pikir Umar. Kelembak hanya binatang yang pagi ini kebetulan terbang bersenang-senang di sekitaran rumahnya. Memang, menurut orang tua-tua dulu, jika ada kupu-kupu atau kelembak masuk dalam rumah, akan ada tamu jauh yang datang. Itu dulu, sekarang binatang seperti itu malah sudah jadi peliharaan segelintir orang. Dari pada waktunya terbuang, langsung saja Umar meluncur menuju tempatnya mengajar layaknya seorang pejuang.

Sekolah masih lengang. Umar memang agak cepat datang. Terkadang benar juga apa yang dikatakan orang, segala sesuatu yang dikerjakan hendaknya tak setengah hati, mulai dengan mencintai, kelak mendatangkan nikmat tak terperi. Hari ini, Umar bersemangat sekali karena materi yang diberi sesuai disiplin ilmu yang dimiliki. Semester ini, saatnya murid-muridnya mengenal sebuah teater tradisi yang dulunya di Bengkalis ini merupakan salah satu kawasan di mana berkembangnya Sandiwara Bangsawan. Inilah yang ia ajarkan. Telah berbulan-bulan Umar perintahkan mereka membuat garapan tentang cerita-cerita sejarah yang berlatar belakang kerajaan. Ya, hari ini jugalah mereka semua menunjukkan kebolehan.

Seperti biasa sebelum bertugas, Umar siapkan segala keperluan untuk memberi penilaian nantinya. Di luar tampak para siswa mulai meramaikan sekolah. Satu per satu guru sudah pula duduk di meja sambil berbenah. Tatkala bel sudah berbunyi nyaring, semua menuju ke kelas masing-masing. Tapi Umar masih tetap di tempat. Dalam sigaunya tadi, tiba-tiba ia menatap heran pada seekor kelembak yang terbang mengitari seisi kantornya. Ya... kelembak yang ia jumpai di rumahnya, di kendaraannya tadi juga. Seekor kelembak yang berwarna abu-abu lusuh bebercak-bercak.

Dalam keterpanaannya itu, sang kelembak menghampirinya. Bagai tersentak, Umar serasa hendak berteriak. Tapi terlanjur sekujur tubuhnya meriang. Ia merasakan ada yang datang. Menghampirinya serupa bayang-bayang. Antara percaya dan tidak, ia dikerumuni sejumlah persitiwa. Peristiwa sejarah yang serasa mulai tumpah.

Peristiwa masa lampau mengayau payau. Tak ada yang dapat diupayakannya selain pasrah. Kemudian peristiwa yang seakan-akan hidup menggeliat itu mejelma wajah-wajah. Sungguh ia tak mengenalnya. Di antara banyak wajah yang terpampang silih berganti di pandangannya itu, ada satu wajah yang kemudian betah ditatapnya. Lalu, wajah itu jualah tiba-tiba menyemburkan aroma sejarah, memuntahkan remah-remah peradaban. Dalam satu sentakan, wajah itu yang telah berubah seekor kelembak, ya kelembak sejarah terbang mendesup ke dalam diri Umar yang kini bagai tak memiliki pegangan. Apakah Umar kemasukan?

Tersadar dari ketakberdayaannya, cericau suara tertangkap di telinga. ‘’Pak Umar kenapa? Kurang sehat? Sebaiknya Pak Umar, istirahat saja dulu’’. Umar yang kini terkapar di lantai, menyadari tubuhnya bersimbah peluh dan melihat beberapa guru telah mengelilinginya.

Setelah berupaya bangkit, Umar memperbaiki penampilannya yang kusut masai. Ia pun minta guru-guru besurai. ‘’Tidak mengapa, hamba sehat...ya hamba mungkin saja hanya sedikit penat, persilahlah semua berundur ke masing-masing tempat.’’ Bahasa ucapnya itu membuat para guru mengernyit kening tanda ketidakmengertian sekaligus heran. Demikian juga Umar yang antara sadar atau tidak melafaskan kata-kata sedemikian.

Ia tergopoh-gopoh melangkah. Meninggalkan kebingungan yang masih bergelayut di benak tiap-tiap guru. Ia terus melangkah gagah menuju ke suatu arah. Ke manakah?

Sesungguhnya telah terjadi sesuatu dalam diri Umar. Ia seumpama berada di dua dimensi yang berbeda. Dalam pandangan yang kian tak dapat dimengerti oleh dirinya, terkadang ia menyaksikan dirinya berada di sebuah kampung dengan setting masa lalu. Namun pada detik lainnya, ia masihlah Umar seorang guru seni budaya yang sedang menuju ke kelas tempat ia mengajar.

Di dalam diri Umar dirasakan ada yang bergejolak. Perasaan senang untuk mengajar dan diselingi perasaan asing tentang sengkarut dendam dan kebencian tapi tak tahu dialamatkan kemana rasa itu. Kesemua rasa saling tumpang tindih, membuat Umar tampak ingin berteriak supaya apa yang dirasakan dalam dirinya segera tumpah berserak.

Tapi akhirnya sampai jua Umar di tempat tujuan. Begitu langkah pertamanya menginjak lantai kelas, yang ia lihat adalah ratusan kelembak memenuhi ruangan. Masing-masing terbang mengepakkan sayap sembari mengeluarkan serbuk-serbuk coklat dari tiap kepaknya. Umar terkesiap seketika. Pandangannya kembali kabur tapi tak lama berselang ketika mata terbuka, tak ditemukan wajah-wajah siswanya seperti biasa. Tak ada lagi doa dan salam hormat dari suara murid-muridnya.

Sekolah dan tentang segala hal yang berkaitan dengan itu semua seolah dirasakan Umar serupa dejavu, sesuatu yang terjadi entah bila, masa depan atau masa lalu. Kini Umar berada di sebuah rumah panggung. Merenung di sebuah tingkap sembari menatap jauh ke depan. Niur menjulang tinggi, kicau burung di pagi hari, kampung yang menyergam di depan mata dengan keasliannya tak membuat hati Umar tenang. Sepertinya ada yang sedang bertelagah di dalam dirinya.

‘’Ampun Panglima Umar. Semua persiapan sudah pun dilaksanakan. Tinggal menunggu perintah untuk segera kita bertolak.’’ Seseorang masuk menghadap, serta merta lamunan Panglima Umar lesap. Ya, Umar seorang guru sekolah kini telah menjelma sebagai seorang panglima. Sosok diri yang sebenarnya bagaikan ditarik waktu ke suatu masa jauh sebelumnya. Tapi hal itu tak lagi dirasakan dan terpikirkan oleh Umar, ia benar-benar berdiri segak sebagai Panglima Umar lengkap dengan pakaiannya.

Sejenak ia menghembuskan nafas sembari melihat raut wajah anak buahnya itu. ‘’Ya...kita memang harus segera bertolak, itulah yang semolek-moleknya.’’ Kemudian ia memberi isyarat pada anak buahnya agar menunggu di luar.

Sejenak masih tampak Panglima Umar ragu-ragu untuk beranjak. Keraguannya itu berkaitan dengan peristiwa sekitar tiga tahun lalu. Setelah ia meninggalkan Bukit Batu disebabkan beberapa hal yang membuat ia tak setuju. Abangnya bernama Encik Khamis yang bergelar Datuk Laksamana Raja Dilaut telah membuat kesilapan dengan memberi pinjaman Koto Bejalan pada pihak kerajaan Siak. Tak hanya itu, pelariannya itu juga diakibatkan Datuk Laksamana Raja Dilaut memberi izin pada orang-orang Salowatang untuk menetap di Bukit Batu bahkan mereka diberi kepercayaan untuk menjaga daerah laut. Itulah yang menyebabkan Panglima Umar merasa tersinggung sebagai kepala dari semua Panglima. Sakit hatinya itulah yang dibawanya sampai ke Pulau Merbau.

Dan ternyata apa yang disangsikan Panglima Umar benar adanya. Setelah beberapa waktu kemudian, Bukit Batu berhasil diduduki orang Salowatang. Kabar yang didengar dari saudagar yang datang ke Merbau mengatakan bahwa Abangnya Datuk Laksamana Raja Dilaut kini harus menyelamatkan diri entah ke mana sedang saudaranya,  Panglima Ayat harus terbunuh tatkala melakukan perlawanan dengan orang-orang Salowatang.

Dan kini kenyataan jadi lain, sakit hati Panglima Umar  pada abangnya itu justru telah menjadi dendam dan amarah pada orang-orang Salowatang. Sungguh, marwahnya sebagai anak watan terkoyak. Tanah kelahirannya telah pula dirampas orang lain. Tak semestinya ia berdiam diri lagi. Apapun yang terjadi ia harus menuntut bela. Para perampas itu harus diusir dari tanah Bukit Batu meski sampai titik darah penghabisan. Lalu sambil menggenggam Keris Tabik Alam, Panglima Umar pun melangkah dengan gagah.

Lancang kepunyaan Panglima Umar pun berlayar menghala ke Bukit Batu. Dengan berbekal sekebat niat untuk merebut kembali tanah kelahirannya serta hendak menuntut balas atas kematian Panglima Ayat saudaranya. Panglima Umar berdiri gagah di haluan. Lancang Bayan miliknya itu terus membelah arus dan riak. Bendera berwarna putih dan layar sepasang putih itu terus berkibar ditampar angin seolah-olah menjadi saksi atas keteguhan hatinya.

Semakin mendekati Bukit Batu, semakin pula melecit kerinduan dalam dirinya. Rindu pada saudara-saudara, rindu akan tanahnya. Kini tak ada yang lebih memalukan daripada membiarkan orang-orang asing memerintah di tanah datuk nenek moyangnya. Barangkali inilah yang namanya marwah tergadai berkecai. Panglima Umar benar-benar telah memaafkan kesilapan abangnya Encik Khamis alias Datuk Laksamana Raja Dilaut itu. Justru yang terbayangkan saat ini adalah ketika saudara-saudaranya beserta panglima yang ada di Bukit Batu berjuang untuk mempertahankan marwah kampung dan pada akhirnya harus menerima kekalahan. Di satu sisi, sebagai seorang Panglima, sudah sepantasnya ia merasa bersalah sekaligus malu karena membiarkan hal itu terjadi.

Namun ternyata berita kedatangan Panglima Umar ke Bukit Batu telah diketahui orang-orang Salowatang. Dan dengan segera mereka semua mempersiapkan diri untuk angkat kaki dari Bukit Batu. Mereka merasa gentar lantaran tak hanya takut pada kegagahan dari Panglima Umar tapi juga yang ditakuti adalah Keris Tabe Alam yang dipakai Panglima Umar sebagai senjata ampuh yang tak ada tandingannya.

Begitu berlabuh, darah Panglima Umar pun berbuncah. Sudah tak sabar rasanya ia membuktikan bahwa anak watan Bukit Batu tidaklah lemah dengan begitu saja menerima kekalahan tanpa berbuat apa-apa. Tapi kemudian yang disaksikan justru lengang. Tampaknya tak ada lagi orang-orang Salowatang yang kelihatan.

Keris masih tergenggam di tangan. Panglima Umar menyikat pandangan pada keseluruhan celah kampung dan kemudian ia ternampak sebuah perahu orang Salowatang yang tak berapa jauh di laut. Karena rasa benci dan dendam yang berkecamuk, maka dikejarnya perahu itu dengan lancang Bayannya. Begitu merapat, ia pun mengamuk sejadi-jadinya. Dengan tangkas ia melompat kesana kemari, menusuk siapa saja yang ada di dalam perahu itu, menerjang dan memporak-porandakan seisi perahu.

Tak perlu waktu yang panjang untuk Panglima Umar menuntaskan segalanya. Dalam keadaan terengah-engah, masih tertangkap di mata, ada sekumpulan orang-orang yang tersudut menepi dengan muka merintih kesakitan. Tapi entah kenapa kemudian matanya kian kabur. Tubuhnya bergetar. Kepalanya seperti tertusuk-tusuk. Serasa ada sesuatu yang akan lepas luncas dalam dirinya. Ia meronta-ronta, menjerit serupa orang kerasukan.

‘’Bangsaaat...Keparaaat..Laknaaat...!  Mika kira kami semua takuuut!’’

Kejap kemudian tubuhnya rubuh di lantai. Seiring itu juga dirasakannya ada bayang berkecai. Sejumlah ingatan masa lalu berangkat pergi. Yang tinggal kini suara rintih dan sisa tangis. Ia coba membuka mata lalu semua serba tak diduga. Ia kini adalah Umar seorang guru seni budaya. Apa yang terjadi pada dirinya, sungguh tak dapat untuk dikata. Ia perhatikan sekeliling. Meja kursi bagai habis dibanting. Wajah murid-muridnya yang menyimpan runsing. Semuanya tampak ketakutan bagai habis melihat setan. Dari kejauhan, tampak guru-guru berlarian ke arahnya, ke kelas yang kini semrawutan.

‘’Astaghfirullah...Pak Umar kemasukan...’’

‘’Pak Umar kemasukan...’’

‘’Ya...Pak Umar kemasukan...setan’’

Sementara Umar hanya berkedipan. Ia tersandar bagai tidak terjadi apa-apa kejadian. Matanya kini tertuju pada seekor kelembak yang terbang keluar melalui tingkap. Lalu kemudian di udara, kelembak sejarah itu pun lesap.

Pulau Rindu, Febuari-Maret 2012


Jefri al Malay
Lahir Sungai Pakning 16 Oktober 1979. Menulis cerpen, puisi dan esai. Kini tercatat sebagai mahasiswa Universitas Lancang Kuning jurusan Sastra Melayu dan Tenaga Pengajar di SMA Negeri 2 Bengkalis.
Continue reading →

Hantu Duit

0 komentar
 Oleh Hang Kafrawi 


‘’Masalah ini tidak bisa dibiarkan begitu saja, harus ada penanggulangan khusus untuk menyelesaikannya!’’ ujar Ketua Hantu Duit geram.

‘’Tapi...’’

‘’Siapa nama manusia itu?’’ Ketua Hantu Duit memotong kalimat anak buahnya. Ia tak mau dipusingkan dengan laporan kegagalan. Ketidakbecusan anak buahnya membuat dirinya terhina. Sebenarnya, Ketua Hantu Duit heran juga, ketika dapat laporan dari anak buahnya tentang seseorang menolak bujuk rayu Hantu Duit untuk memanfaatkan duit sebagai senjata paling ampuh. Selama ia menjabat ketua perkumpulan Hantu Duit, itu kira-kara 100 abad yang lalu, belum pernah manusia menolak duit sebagai keperkasaan.

‘’Manusia seperti apa itu?’’ tanya Ketua Hantu Duit dalam hati. Keheranannya tak pernah disampaikan pada anak buahnya. Ini untuk menjaga kestabilan perkumpulan yang ia ketuai.

‘’Orang memanggilnya Atah Roy, Pak Ketua,’’ ucap salah seorang anak buah.

‘’Atah Roy? Di negara mana Atah Roy itu hidup?’’ Ketua Hantu Duit coba menelusuri manusia aneh itu.

‘’Indonesia, Pak Ketua,’’ tambah salah seorang anak buahnya yang lain.

Mendengar kata Indonesia, Ketua Hantu Duit tertawa sejadi-jadinya, bahkan sampai berguling-guling. Ia merasakan dadanya mau pecah karena tertawa terbahak-bahak. Baru kali ini ia dapat laporan orang Indonesia tak suka dengan duit. Padahal sebelumnya di Indonesia itulah para Hantu Duit sangat perkasa. Para Hantu Duit yang bertugas di Indonesia selalu dapat penghargaan tertinggi dari perkumpulan ini. Bahkan menurut pembesar-pembesar yang pernah bertugas di Indonesia, di sanalah pekerjaan Hantu Duit sangat mudah.  Tentu saja laporan anak buahnya tak masuk akal di benak Ketua Hantu Duit. Namun demikian, Ketua Hantu Duit coba menenangkan diri. Ia betul-betul merasa aneh. Dengan sekuat tenaga, Ketua Hantu Duit meredam tawanya, walaupun di bibirnya senyum masih meregah, tanda menahan tawa.

‘’Ini laporan yang sangat menarik...,’’ ujar Ketua Hantu Duit menahan tawa. ‘’Aku benar-benar ingin tahu sosok Atah Roy itu. Siapa yang bisa menceritakan padaku?’’ pinta Ketua Hantu Duit masih menahan tawa.

Seluruh Hantu Duit yang berada di aula pertemuan itu, kira-kira berjumlah 150 hantu, menunjukkan tangan mereka. Mereka sangat antusias ingin menceritakan pada ketua mereka tentang sosok Atah Roy ini. Ada yang sampai berdiri ke atas meja pertemuan, ada pula yang maju ke depan mendekati Ketua Hantu Duit.

Melihat antusias yang luar biasa dari anak buahnya untuk menceritakan sosok Atah Roy, muka Ketua Hantu Duit berubah. Ia benar-benar tak menyangka bahwa sosok Atah Roy meninggalkan bekas di hati anak buahnya. Ia dengan kewibawaan sebagai ketua, menenangkan anak buahnya.

‘’Tenang, tenang dan harap tenang. Aku minta, kalian duduk kembali,’’ Ketua Hantu Duit serius. ‘’Aku akan menunjuk langsung siapa yang akan menceritakan pada aku mengenai Atah Roy ini,’’ kata Ketua Hantu Duit dengan mata menyapu semua anak buahnya yang ada di aula itu.

Mata Ketua Hantu terbuka lebar. Ia betul-betul tak menyangka bahwa seluruh anak buah terbaik yang dimiliki perkumpulan, berada di pertemuan ini. Senyum yang tadi menghiasi mulutnya, kini berubah jadi cemas. Ia berpikir, tak mungkin anak buahnya yang terhebat dan selalu berpretasi bagus ini, tak mampu membujuk seorang Atah Roy. ‘’Siapa kali Atah Roy itu?’’ pikir Ketua Hantu Duit dalam hati.

Anak buahnya makin ribut, karena terlalu lama ia memutuskan siapa yang dipersilakan untuk menceritakan tentang Atah Roy. Mereka semua ingin berbagi cerita pada ketua, bagaimana pengalaman mereka berhadapan dengan manusia satu itu.

Mereka sudah tak tahan lagi memeram kisah-kisah selama bertugas menghasut Atah Roy.

‘’Putuskan sekarang Pak Ketua, kami sudah tak tahan menyimpannya di dalam dada kami ini,’’ teriak salah satu anak buah. Anak buah yang lain ikut berteriak.

‘’Cepat Ketua, kami sudah tak tahan lagi.’’

‘’Betul Pak Ketua,’’ teriak yang lain serentak.

Ketua Hantu Duit betul-betul dibuat bingung. Matanya masih memandang semua anak buah di aula itu. Ia betul-betul tak percaya, tak mungkin anak buahnya merekayasa cerita tentang Atah Roy untuk menurunkan pamor dirinya sebagai Ketua Hantu Duit.

Dan dengan turun pamornya, maka dengan mudah lawan politiknya menjatuhkannya dari jabatan ketua. ‘’Ini bukan rekayasa. Tidak mungkin mereka mau mengkudeta aku,’’ ucap Ketua Hantu Duit dalam hati.

Semakin anak buahnya berteriak, semakin lincah pula bola mata Ketua Hantu Duit bergerak menyapu seluruh anak buahnya di aula itu. Tiba-tiba mata Ketua Hantu Duit berhenti ke salah seorang anak buahnya yang selama ini memiliki prestasi sungguh menganggumkan.

Anak buahnya ini pernah meluluhkan hati seorang guru yang berpegang teguh pada kejujuran, harus menghambakan diri pada duit. Sekarang guru itu kaya raya, tapi kejujurannya semakin miskin. Prestasi besar lainnya adalah menghasut seorang presiden untuk berpihak pada yang berduit saja, sehingga di negara itu rakyatnya miskin, sementara pejabat-pejabat dan orang yang dekat dengan penguasa hidup serba mewah.

‘’Kamu, saya percayakan untuk menceritakan tentang Atah Roy itu,’’ Ketua Hantu Duit menunjuk anak buahnya yang berprestasi mengagumkan itu.

‘’Bapak Ketua takkan percaya dengan apa yang saya ceritakan. Semuanya di luar jangkauan kita selama ini,’’ ujar anak buah yang berprestasi itu.

‘’Maksud kamu?’’

‘’Betul-betul tak masuk akal, Pak.’’

‘’Ceritakan sedikit saja,’’ pinta Ketua Hantu Duit.

‘’Ketika anak saudaranya sakit dan Atah Roy sangat butuh duit untuk pengobatan anak saudaranya. Ia ditawari mengatasi masalah duit dengan mengatakan bahwa tokoh si anu, tokoh politik yang ingin jadi gubernur Pak, adalah tokoh yang telah berjasa di kampungnya. Atah Roy menolak dengan tegas, Pak,’’ anak buah yang berprestasi itu mulai bercerita.

‘’Siapa betul Atah Roy itu, sehingga orang berharap ia bicara?’’ tanya Ketua Hantu Duit penasaran.

‘’Atah Roy itu di kampungnya terkenal sebagai tokoh yang jujur, Pak. Apapun yang dikatakan Atah Roy, orang kampung pasti mengikutinya. Dia juga terkenal taat beribadah, tak pernah berbuat kesalahan yang merugikan orang kampung, Pak. Pokoknya Atah Roy itu seperti dewa,’’ tambah anak buah berprestasi itu lagi.

‘’Bagaimana kehidupan Atah Roy itu?’’ Ketua Hantu Duit menyelidiki.

‘’Biasa Pak, seperti kebanyakan manusia lainnya.’’

‘’Maksudku kerjanya.’’

‘’Subuh sudah bangun. Setelah Salat Subuh berjamaah di masjid, ia langsung ke kebun karet...,’’

‘’Maksudku kekayaannya?’’ potong Ketua Hantu Duit agak emosi.

‘’Tidak kaya dan tidak juga miskin, Pak. Tapi dia berkeyakinan bahwa duit bukanlah segala-galanya,’’ anak buah berprestasi itu menambah.

‘’Aku jadi bingung. Maksudmu seperti apa?’’

‘’Pernah perusahaan besar bergerak di bidang hutan, mau menyogok dia agar menandatangani persetujuan hutan di kampungnya dikelola perusahaan itu, namun Atah Roy menolaknya. Padahal kalau Atah Roy menandatangani persetujuan tersebut, pasti orang kampung juga ikut menandatangani. Berbagai usaha dilakukan perusahaan itu, termasuk memberinya duit berlimpah, tapi Atah Roy tetap menolak. Pada saat itu, Atah Roy sangat butuh duit untuk membiayai operasi adik kandungnya,’’ panjang lebar anak buah yang berprestasi itu bercerita pada Ketua Hantu Duit.

‘’Kenapa Atah Roy menolak?’’ Ketua Hantu Duit makin penasaran.

‘’Itu saya tidak tahu, Pak. Bukankah kerja saya cuma menghasut manusia menerima duit. Kalau masalah itu Bapak tanyakan pada saya, tidak tepat Pak, karena ada hantu lain yang bertugas masalah itu,’’ jelas hantu berprestasi dengan polos.

‘’Baik, aku yang akan turun langsung mengatasi Atah Roy itu,’’ ujar Ketua Hantu Duit yakin.

***

‘’Tah, kami berharap Atah menerima duit ini,’’ ucap lelaki tampan dengan pakaian necis di ruang tamu rumah Atah Roy, sambil menyodorkan duit hampir satu koper.

‘’Aku ini memang orang miskin, tapi aku tidak akan mengadaikan tanah aku ini disebabkan duit,’’ tegas Atah Roy menolak pemberian lelaki tersebut.

‘’Tapi Tah, dengan duit ini, Atah bisa melakukan kebaikan yang lebih banyak lagi untuk orang kampung,’’ tambah kawan lelaki berpakaian necis itu. Lelaki itu juga berpakaian necis, bahkan lengkap pakai dasi.

‘’Sudah aku cakap, tidak mungkin aku ini menggadaikan tanah kelahiran aku gara-gara duit. Aku memang perlu duit, tapi tidak begini caranya aku dapat duit. Tanah kami ini harus ada sampai kiamat, kami tak ingin tanah kami hilang disebabkan kerakusan,’’ jawab Atah Roy tegas.

Ketua Hantu Duit keluar dari duit di koper itu. Dengan memasang tampang ramah, Hantu Duit mulai berbisik di telinga Atah Roy.

‘’Roy, duit ini bukan hanya untuk kepentingan engkau seorang. Engkau harus membuka diri sedikit saja untuk membantu keluarga engkau dan orang kampung. Dengan duit sebanyak itu, dapat engkau gunakan menyelamatkan orang kampung, sekaligus diri engkau dan keluarga,’’ bujuk Ketua Hantu Duit.

‘’Astaqfirullahalazim,’’ Atah Roy mengucap.

‘’Sesekali Roy, bukan sering engkau berbuat seperti ini. Aku yakin, orang-orang tidak akan memandang rendah pada engkau, sebab duit ini akan engkau gunakan untuk membantu orang-orang kampung. Orang kampung memerlukan pertolongan engkau, Roy. Tengoklah Usup Lebam, anaknya sudah 4 bulan sakit dan terbaring di rumah, tanpa dibawa ke rumah sakit, karena tidak memiliki biaya. Begitu juga Siti Kasmah, suaminya sudah bertahun-tahun tak balik, sehingga ke 5 anaknya tak terurus. Banyak lagi orang kampung engkau terbantu dengan duit yang engkau terima itu. Jangan tunggu lagi Roy, inilah kesempatan engkau menolong mereka,’’ Ketua Hantu Duit makin gencar merayu Atah Roy.

Air mata Atah Roy mengalir di pipinya. Atah Roy benar-benar tak mampu membuang bayangan orang-orang terdekatnya yang sedang dilanda kesusahan di benaknya.

Atah Roy pun terkenang pada Syuib Lebah yang kakinya digiling mesin sagu 7 bulan lalu dan sampai sekarang tak diobati. Pikiran Atah Roy juga berjalan ke masalah Kasmah dan anak-anaknya, karena suaminya Gani Engkang menghilang ketika pergi menjaring.

Atah Roy betul-betul berada dalam keadaan yang sangat membingungkan.

Berkali-kali Atah Roy menatap duit di dalam koper itu. Berkali-kali pula ia membuang muka. Kalau diterima duit ini, maka tanah kelahirannya dikuasai orang lain dan orang kampung akan teraniaya sampai ke anak cucu mereka. Kalau tak diterima, orang kampung memerlukan bantuan untuk mengatasi masalah yang sedang mereka hadapi.

Atah Roy berada di dua masalah yang sangat membingungkannya, namun ia harus membuat keputusan, walaupun keputusan itu nantinya menyakitkan. Atah Roy memandang kedua orang yang berada di depannya dengan berlinang air mata. Ia menarik napas panjang.

‘’Dengan berat hati, aku harus...,’’ air mata terus membasahi pipi Atah Roy.

‘’Tunggu apa lagi Roy, ini kesempatan membantu orang-orang kampung engkau, duit ini bukan untuk engkau sediri,’’ bujuk Ketua Hantu Duit.

‘’Aku tak mau menggadai tanah ini, bawak balik duit kalian ini!’’ ujar Atah Roy tegas.

Ketua Hantu Duit pun terkejut, dan langsung menghilang dalam tumpukan duit di koper itu.

‘’Masih adakah manusia seperti ini? Ah, mati aku,’’ suara Ketua Hantu Duit terdengar lirih.
***

Hang Kafrawi, Ketua Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya, Unilak. Selain menulis karya sastra ia juga sutradara teater di komunitas Teater MATAN.
Continue reading →

Menjadi Batu

0 komentar
Oleh : Taufik Ikram Jamil

Dinihari.

“Pasti dari Jim,” kata hatiku.

Sambil mengangkat gagang telepon itu, aku membayangkan Jim kembali tercungap-cungap menceritakan keluarga Niru menjadi batu. Lalu ia bertanya bagaimana hal itu bisa terjadi, mengapa harus menjadi batu, dan apa yang dapat dilakukan untuk membantu mereka. Ber­kali-kali ia ulangi pertanyaan tersebut, ditingkahi desah ketakutan dan keasingannya menghadapi kenyataan itu.

“Ketika kutinggalkan sekejap tadi, hanya leher sampai kepala mereka saja yang belum menjadi batu,” ka­ta Jim seperti yang sudah kuduga, ya seperti yang sudah kuduga. “Aku kira sebentar lagi semua tubuh me­reka akan menjadi batu, tergolek bagai barang tak berguna. Tapi mereka manusia kan?”

Aku diam, tetapi aku sudah membayangkan, pertanyaan terakhir itu akan dijawab oleh Jim sendiri dengan mengatakan bahwa memang benarlah mereka manusia. Tetapi manusia yang telah menjadi batu tidak akan dapat memfungsikan dirinya, padahal bagian terpenting dalam hidup adalah memfungsikan diri. Sampai pada kalimat tersebut, Jim akan ter­sen­tak sendiri karena ia mafhum bahwa memfungsikan diri adalah sesuatu yang abstrak. Jangan-jangan men­jadi batu merupakan upaya memfungsikan diri juga.

“Tapi mengapa harus menjadi batu?” tanya Jim. “Bagaimana caranya mereka menjadi batu?” lan­jut­nya. “Tak masuk akal, menjadi batu membiarkan diri melakoni benda mati,” kata Jim.

Beberapa saat ia terdiam.

“Ya, mereka membunuh diri,” simpul Jim. Cepat-cepat ia mengatakan, “Oh, betapa mengerikan. Aku takut....”

“Jim...!” panggilku. Tak ada jawaban. “Jim!” ulangku.

“Kau kan tahu betapa Niru adalah bagian dari ke­luargaku juga. Lima belas tahun yang lalu, bukan rentang waktu yang panjang untuk menelusuri hu­bungan kami. Ketika ia masih bujang lagi dan kini pu­nya anak bersusun paku,” kata Jim datar. “Niru telah mengantarkan aku ke jenjang karier seperti sekarang dan menjadi modal besar ba­giku sampai diangkat menjadi profesor. Ia dan ke­luarganya —sebelum kawin— memang po­hon penelitianku, tetapi aku tak pemah meng­ang­gap­nya sebagai sesuatu yang ber­asal dari luar diriku, sehingga ke­tika aku me­ne­li­ti­nya atau orang kampung se­ka­lian, aku me­rasa meneliti diriku sen­diri,” kata Jim.

Tentu saja aku tahu karena akulah yang membawa Jim pertama kali ke desa Niru, se­kitar 150 km dari sini, lan­tas berkenalan dengan Niru. Ya, Niru masih bu­jang bedeng­kang waktu itu; tak lama se­­telah ber­kawan akrab de­ngan Jim, ia yang kawin de­ngan orang se­kam­pungnya, tetap meman­du Jim di la­pang­an. Tak meng­he­rankan kalau di antara ke­duanya terjalin hu­bung­an an­­­­­tara pemandu dengan peneliti sampai di luar batas. Ketika Jim kembali ke negeri asalnya se­te­lah tiga tahun menetap di desa Ni­ru, aku menjadi pe­rantara hubungan mereka ber­dua. Ketika Jim dikukuhkan sebagai doktor di bidang yang ditelitinya yak­ni antropologi ekonomi, Niru dan aku diundang meng­hadiri acara tersebut. Sayang, Niru tak mau da­tang dengan alasan yang tidak jelas walau­pun segala sesuatunya ditanggung oleh Jim.

Hasil penelitian Jim di desa Niru sebenarnya ti­dak­lah terlalu istimewa bagiku, barangkali di­se­bab­kan perhatian kami yang berbeda dan semua per­masalahan di dalam penelitiannya sekaligus kualami sendiri dalam bentuk lain. Dalam kerangka yang lebih kecil dan sederhana dapatlah disebutkan bahwa pe­nelitian Jim menggambarkan bagaimana di desa Niru terdapat berbagai hal yang teramat luar biasa secara ekonomi, tetapi masyarakatnya terbelakang. Suku Montai, begitu orang menamakan asal Niru, se­be­narnya hampir tergolong primitif, tetapi hidup di te­ngah ladang minyak yang kaya raya dengan per­alatan cang­gihnya. Belum lagi pembangunan per­ke­bunan besar-besaran yang tak terbayangkan se­be­lum­nya. Suku Montai berdampingan dengan hal-hal yang wah itu, namun jarak di antara keduanya sangat jauh seperti tak dapat diukur lagi secara metrik, tetapi oleh waktu. Sesuatu yang sebenamya secara umum di­nik­mati tidak saja oleh Niru dan Suku Montai, tetapi ba­nyak orang lain lagi termasuk aku. Mereka dalam keadaan yang tidak bisa membela diri terlebih lagi tidak punya sembarang pembela pun.

“Halo..., Hallo...,” Jim agak berteriak. “Kau dengar atau tidak?”

“Teruskan, teruskan....”

“Aku takut, sangat takut. Aku belum pernah setakut ini.”

Aku menarik napas. Tam­paknya aku harus mela­kukan tindakan karena sudah tiga ka­li ia menel­epon, keta­kut­annya terasa semakin besar. Tetapi belum sem­­­pat aku me­nye­lidiki keberadaannya se­per­ti tin­dakan apa yang di­ha­rap­­kannya dariku, hubungan ka­mi terputus. Cukup lama aku mem­biar­kan gagang telepon melekap di telingaku dengan harapan Jim berbicara lagi, tetapi yang terdengar hanya tut ... tut ... tut....


***

Dinihari.

Aku membayangkan saat ini Jim berlari dari warung telepon yang seingatku ter­le­tak sekitar dua kilometer dari rumah Niru kalau mungkin ia menelepon dari tempat itu, menuju rumah sahabat kami tersebut. Keringat sebesar jagung segera saja mengalir di tubuhnya, dimulai dari puncak hidungnya yang tercacak. Se­bentar ia tercegat di pintu dan sedikit saja ia me­no­lak daun pintu dengan ujung telunjuk, cahaya pelita sudah menyergap mukanya. Wajahnya kelihat­an menyala karena butir-butir keringat seperti tersim­bah cahaya pelita yang merah kekuning-ku­ningan. Angin berkibar, wajahnya pun terlihat berayun. Jim kembali memutarkan badannya, turun ke tanah. Ia me­n­cang­kung pada pipa minyak yang bergaris tengah sekitar 80 sentimeter dan mem­ben­tang tak sampai 15 meter dari rumah Niru. Me­ne­nga­dah. Cahaya bulan se­peng­gal dan kerlip-kerlip bin­tang yang ter­sapu awan hitam tidak menimbulkan sembarang ke­san elok di hatinya, malah ia semakin gelisah.

Jim tak tahu apa yang harus dilakukannya. Ka­ki­nya tiba-tiba saja tertuntun kembali masuk ke dalam rumah Niru. Berat. Langsung saja matanya menyer­gap Niru yang tergolek di sudut. Kaki sampai dada lelaki itu sudah membatu, tinggal mukanya yang ranum seperti tidak mengalami apa-apa, mengajak Jim berbincang. Tak jauh dari Niru, enam anak kecil juga dalam keadaan demikian, menusuk-nusuk hati Jim. Juga Siah istri Niru yang tergeletak dekat dapur, membuat pemandangan di dalam rumah ini bagaikan satu hamparan yang terasa amat asing.

“Aku panggil Tuk Batin ke sini,” kata Jim.

“Jangan!”

“Bontik?”

“Jangan. Duduk saja di sini, sebelum fajar me­nying­sing,” kata Niru.

“Atau Katik, Leman, Ra­ut, dan... .”

Terdengar Niru ketawa kecil. Matanya yang bundar memandang tubuhnya yang sudah membatu. Jim meng­ikuti arah mata itu dengan pan­dangan tanpa ia tahu apa maksudnya. Terasa begitu cepat waktu berlalu, padahal baru beberapa jam sebe­lum­nya Jim dan Niru masih berbicara perkara biasa-biasa saja. Siah dan anak-anaknya ikut terlibat dalam pertemuan dua sahabat lama itu. Jim me­nyadari ke­beradaan Niru dan keluarganya seperti se­k­a­­­­rang tak lama setelah ia mengajak Niru berjalan untuk makan angin di luar. Dulu, menjelang dini hari mereka selalu ber­jalan ke luar, ke pinggir hutan se­latan. Sinar mau­pun cahaya dari maskapai minyak dan pabrik-pabrik sawit serta be­deng-be­deng­nya yang di­pan­dang dari kegelapan kampung ini meskipun membuat hati mereka sayup, juga mampu menghidangkan suasana lain. Sesuatu yang sulit diterjemahkan kalau ti­dak berdiri pada bidang Niru maupun Jim.

Saat pertarna kali menelepon dini hari tadi, Jim me­mang mengatakan bahwa apa yang terjadi se­ka­rang pada Niru dan keluarganya seperti tiba-tiba. Se­telah berkali-kali mengajak berjalan ke luar yang de­ngan senyum ditolak Niru, lelaki itu akhimya menge­luar­kan kakinya. Mengeluarkan kaki yang sudah men­jadi batu. Jim terpelanting, tetapi tak lama kemudian ia cepat menguasai. Ketika Niru menunjuk kaki anak-anak dan istrinya, Jim pun sadar bahwa sesuatu te­lah terjadi pada keluarga ini. Kesimpulan menjadi batu dibuat Jim setelah ia melihat makin malam se­ma­kin banyak bagian tubuh Niru maupun anggota keluarganya yang menjadi batu.

“Tapi Niru, anak-anak, dan istrinya seperti tidak mengalami apa-apa,” kata Jim lewat telepon beberapa jam lalu. “Sungguh, semula aku tak percaya. Tetapi ma­na mungkin aku mempertahankan ketidak­per­ca­ya­an itu kalau aku melihat dengan mata kepalaku sen­­diri bagaimana perlahan-lahan badan mereka berubah menjadi batu. Aku memegang batu itu, keras sebagaimana layaknya batu. Kau tahu bagaimana batu kan?” kalimat Jim bertubi-tubi. Cepat pula ia ber­tanya, “Kau percaya cerita ini?”

“Percaya.”

“Kau percaya?”

“Karena kau tak mungkin berbohong.”

“Ya, aku tak mungkin berbohong.”

“Dan kau mendengar bagaimana Niru terus ber­bi­cara seperti biasa. Ia akan menceritakan ikan yang meng­­hilang dari sungai, damar yang sulit dicari, dan....”

“Bagaimana kau tahu?”

Aku berdehem.

“Bagaimana kau tahu?” desak Jim.

“Lantas, apa lagi yang dapat dikatakan Niru?”

“Dan menjadi batu se­be­narnya bukan pilihan kan? Te­tapi mengapa mereka men­jadi batu?”

Aku ingin menjawab per­ta­nyaan itu, tetapi hujatan Jim _ya, aku katakan se­ba­gai hujatan_ tentang men­ja­di batu tersebut terus sa­ja me­lun­cur dari mulutnya. Aku ingin mengatakan, tapi nan­­ti­lah .... Ya, nanti saja. Apa­lagi waktu itu, ti­ba-tiba sa­­ja sambungan telepon ter­putus dan aku hanya dapat men­­­de­ngar suara tut ... tut ... tut ....

“Sungguh aku tak dapat me­ngerti kalau menjadi batu sebagai suatu pilihan.”

Apa yang dapat dilakukan dengan menjadi batu, semen­tara sekian pertanyaanku kepada Niru ha­nya­lah sia-sia. Ia sedikit pun tak mau menjawab perta­nya­anku. Ia hanya mau mengenang ma­sa-masa lam­pau, soal-soal kemesraan, dan berc­e­rita tentang ka­yang­an yang sudah hilang,” kata Jim dalam telepon sebentar tadi yang kembali terngiang-ngiang dalam telingaku. “Ini sungguh amat me­nakut­­­­­kan aku. Aku takut,” sam­bung Jim, terdengar suar­a­nya tersendat-sendat.


***

Sampai menjelang subuh, telepon masih ter­len­tang. Belum ada lagi panggilan dari Jim, tapi aku yakin bahwa ia segera menelepon. Barangkali selama me­nung­­gu ini aku sempat tertidur dan terjaga karena su­ara batuk istriku. Kudengar juga suara anakku me­nge­rang. Kendaraan mulai lewat di depan rumah. Dari jen­dela, aku melihat bulan tergantung yang caha­ya­nya pucat karena disambar cahaya merkuri di tengah jalan. Bayangan Jim menyeruak di antara cahaya re­mang-remang di dalam rumah ini. Ia seperti duduk di ruang tengah, membaca majalah berita yang kubeli sore tadi. Kakinya ter­ke­pang, kadang-kadang bergoyang-goyang se­ba­gai tanda bahwa ia me­nyenangi bacaan itu.

“Mengapa kau tak per­nah bercerita tentang ham­­­­­­­­­­paran batu yang ber­ben­tuk manusia dan per­alatan hidupnya sehari-hari di sini?” tanya Jim su­atu malam, mungkin tu­­­­juh tahun yang lalu. Ia me­lihat halaman majalah yang memuat tulisan itu dan menyodorkan ke­pa­da­ku. Pandangannya ti­dak lepas dari mataku me­s­­­­kipun aku sudah meng­­­­­­­ambil majalah ter­sebut sambil lewat saja, tak sedikit pun mem­ba­canya kecuali me­man­dang gambar-gambar ham­­paran batu tersebut. Dari mata Jim aku tahu ia sebenamya berkali-kali melontarkan pertanyaan serupa, “Mengapa kau tak pernah cerita ada ham­paran batu yang berbentuk manusia dan peralatan hi­dupnya sehari-hari di sini?”

Sebagai jawabannya aku memandang langit-la­ngit, kemudian kembali memandang majalah itu dan men­cari nama penulisnya. Tanpa sengaja aku me­man­dang gambar batu-batu yang berbentuk manusia, tilam, sendok, lesung, bantal, bahkan alat kelamin le­laki maupun perempuan, yang pernah kusaksikan beberapa kali. Ada juga batu berbentuk kapal, limau, dan entah apa lagi. Konon, batu-batu tersebut adalah wujud dari tindakan sekelompok manusia yang tak mungkin lagi berbuat lain dalam menghadapi ge­lom­bang hidup terutama dalam menolak perintah raja. Sekarang batu-batu itu membesar dan konon pada suatu saat kelak akan memakan lahan sehingga mem­persempit dan semakin mempersempit lahan yang ada. Setahuku, ada dua hamparan batu-batuan seperti itu di sini. Satu hamparan di pinggir pantai dan satu hamparan lagi di dalam sebuah goa di hutan lebat.

Tak ada tanggapan Jim terhadap jawabanku itu. Tapi ia tidak meneruskan bacaannya, malahan masuk ke dalam kamar yang memang kusediakan untuknya kalau ia datang ke sini. Tak lama kemudian ia sudah keluar lagi dengan amat necis. Bau parfumnya me­nye­­ngat sampai aku harus mendengus-denguskan hidung. Seperti biasa ia hanya tersenyum kecil me­li­hat kelakuanku itu sambil meng­­angkat bahu. Me­nyu­­lut rokok sebatang dan menghisapnya dalam-dalam, ia kemudian me­nga­takan ingin keluar. Tak di­ajak­nya aku, tetapi aku menawarkan diri untuk menemaninya sekedar ba­sa-basi karena malam itu aku menunggu tamu, se­orang teman lama. Dini ha­ri, ketika mataku sudah terlayang, baru Jim pulang dengan bau penuh bir.

Keesokannya, pagi-pa­gi lagi Jim mengatakan akan pulang ke Tanah Air­nya. Aku agak terkejut ka­re­na hal ini di luar prog­ram­nya semula. Katanya, ia akan berada di sini ba­rang sepekan dalam urus­an apa yang disebutnya sebagai mengecas baterai, tetapi baru tiga hari ia su­dah merindukan keluar­ga­nya. Aku tak banyak tanya saat itu dan apa pula gunanya karena Jim tidak pemah dapat dihalangi. Niatnya ke desa Niru dengan sen­diri­nya batal walaupun aku sudah mengingatkannya. Sejak saat itu Jim tidak pernah lagi ke sini dan kabar mengenainya kudengar sekali-sekali. Sampailah be­berapa hari lalu saat ia meneleponku dan me­nya­ta­kan keinginannya untuk datang ke sini.

“Aku ingin reuni di Montai, tentu terutama dengan Niru dan keluarganya,” kata Jim seraya tidak lupa mengatakan bahwa ia sudah diangkat menjadi pro­fe­sor. Di bandar udara Jim mengoceh banyak hal me­nge­nai kedatangannya sekali ini terutama tentang penghormatannya atas Montai dan Niru khususnya yang mengantarkannya ke jenjang karier seperti se­karang.

Di desa itu sebagaimana diungkapkannya lewat te­lepon, Niru maupun orang sedesanya tetap seperti da­hulu. Tak ada perubahan. Kalaupun ada peru­bah­an, kelapa sawit di sana sudah menghasilkan sekian kali panen, jalan yang lebar, dan tanah yang kelihatan semakin tandus. Bangunan-bangunan kilang minyak makin menjulang, kendaraan tiada henti-hentinya lalu-lalang di desa itu. Persekitaran desa Niru se­ma­kin terang benderang dengan berbagai fasilitas, ter­ma­suk hotel dan warung telepon yang boleh dika­ta­kan tidak begitu jauh dari rumah Niru.

Di sisi lain untuk menggambarkan keadaan tempat yang didiami Niru dan keluarganya, Jim cukup mengatakan bahwa rumah Niru masih terbuat dari kulit kayu dan tidak memiliki listrik. Rumah atau lebih tepat dikatakan pondok itu pun sudah mundur sampai tujuh kali, sehingga makin terpuruk ke dalam hutan karena pengembangan ladang minyak dan perkebunan. Jim juga mengatakan, tanah yang dibe­linya seluas dua hektar untuk Niru dan sejumlah orang sebagai tanda mata itu sudah berpindah tangan tanpa ganti rugi sepeser pun dan di atasnya telah ber­diri berdegam sebuah hotel. “Ketika kutanyakan hal ini, Niru hanya mengatakan: payah, payah...,” kata Jim.

Waktu itu aku tak sem­­­­­pat mengatakan apa saja yang telah dilakukan Niru dan warga kam­pung itu, bahkan kami di kota ini. Perlu waktu khu­sus untuk meng­a­ta­kannya kepada Jim, tidak cukup hanya melalui te­lepon. Aku berniat se­kali mengatakan hal ini kepa­danya ketika ia pu­lang nanti. Tak ada mak­sud apa-apa kecuali agar ia paham bahwa kami tidak pernah menyerah kepada keadaan. Baik­lah, setidak-tidaknya aku akan katakan sepatah dua kata tentang hal itu ketika Jim menelepon lagi yang kini sedang kutunggu-tunggu.


***

Ternyata penantianku tidak sia-sia. Persis saat azan subuh mulai berkumandang, telepon berderak. Suara napas Jim yang kukenal segera menyambar telingaku, sementara benakku membayangkan bahwa Jim akan mengabarkan kisah baru yang jauh lebih seru. Dari desah napasnya pula aku dapat meraba bagaimana Jim tercungap-cungap, menelan air liurnya beberapa kali, dan tak henti-hentinya mengusap mu­ka. Ketika kutanyakan khabarnya, Jim menjawab dengan sedu-sedan.

“Sudahlah Jim, bawa bertenang.”

Lama tidak ada jawaban dan aku terus-menerus memintanya untuk bertenang.

“Bertenang?” tanyanya kemudian.

“Pulanglah dulu ke sini.”

“Bertenang dan pulang?”

Aku mengogam.

“Bagaimana aku dapat bertenang dan pulang dalam keadaan seperti ini?”

“Ya, memang sulit. Aku akan menjemputmu.”

“Kemudian membawa aku pulang?”

“Ya.”

“Bagaimana aku dapat melakukan hal itu, ke­tika....” Kalimat Jim terputus.

“Ketika kau melihat semua orang di desa itu men­jadi batu?” aku memotong kalimat Jim. Tapi aku me­nyesal karena berkata seperti itu. Untunglah Jim tidak menangkap kelalaian tersebut, bahkan men­ja­dikan­nya sebagai titik awal untuk menceritakan pe­nga­­lamannya yang lain menjelang subuh itu.

“Ya. Ketika itu tanpa seizin Niru aku pergi ke rumah Bontik. Tetapi aku melihat, Bontik dan ke­luar­ganya juga sudah menjadi batu. Aku pergi ke rumah Tuk Batin, ia dan keluarganya juga begitu. Da­­ri sinilah kemudian aku tahu bahwa semua pen­duduk desa ini sudah men­­jadi batu yang pro­ses­nya sama dengan apa yang dialami Niru dan kusaksikan langsung. Ki­ni mereka semuanya su­dah menjadi batu,” kata Jim.

Bermacam-macam su­­­­­­­­sunan orang-orang yang sudah menjadi batu itu. Pada beberapa rumah yang penghuninya tak dikenal Jim, orang yang men­jadi batu terlihat di halaman itu pun dalam berbagai pose. Ada yang sedang mencangkung, berdiri berce­kak pinggang, dan entah macam mana lagi. Bontik, kawan Niru sejak kecil dan cukup dikenal Jim, salah se­orang manusia yang menjadi batu di halaman, se­dang­kan istri dan tiga orang anaknya berada di be­lakang rumah. Tiga anak mereka yang lain berada di dalam rumah dengan berbagai macam pose. Begitu pula Tuk Batin yang terlihat duduk di bendul dengan mu­ka tegang, sedangkan istri dan anak-anaknya tergelimpang di halaman.

Barangkali dipengaruhi oleh kedekatan hati, ia melihat Niru yang sudah menjadi batu lebih dulu. Lelaki ini beserta anggota keluarganya berada dalam rumah. Tetapi Niru setengah duduk: kaki sampai ping­­gangnya sejajar dengan lantai kaki kanan meng­him­pit kaki kiri; sedangkan pinggang sampai kepa­la­nya membuat garis 120 derajat. Tangan kanan me­no­­pang kepalanya, sementara tangan kiri melempai meng­­ikuti bentuk pinggang. Tetapi mata Niru.... Ma­ta­nya memandang tembus ke langit. Atap rumah yang terbuat dari daun nipah yang seharusnya menghalangi mata Niru memandang ke luar, ternyata bocor. Cahaya bulan sepenggal yang masuk ke dalam rumah melalui lubang itu tepat menimpa mata Niru, se­hing­ga alat indera tersebut seperti menyala dan me­lahir­kan suasana yang sungguh sulit dilukiskan kata-kata.

Ia menerangkan tentang bagaimana ia berlari dari satu rumah ke rumah lain dengan napas terengah-engah. Tidak sekali dua ia tersampuk benda-benda yang tak sempat dilihatnya sehingga ia tersungkur ke tanah. Luka pada beberapa bagian tubuhnya tak terasakan lagi. Ia berharap agar semuanya ini hanya mimpi kosong belaka, tetapi semakin besar harapan itu bergumul dalam pikiran dan perasaannya, semakin besarlah kesadarannya tentang kenyataan ini. Di antara rentangan sikap semacam itulah ia tergantung dan saling tarik-menarik. Ketika ia sampai pada ujung rentangan menolak, dengan cepat ia meluncur ke rentangan menerima kenyataan tersebut. Sebalik­nya belum sempat ia menyadari keadaan dirinya me­ne­rima kenyataan itu dengan hati jernih, ia meluncur pu­la ke rentangan yang menolak.

Entah berapa kali Jim bolak-balik di antara satu rumah ke rumah lain yang sekaligus menyaksikan orang-orang sudah menjadi batu tanpa mengerti mengapa ia bertindak demikian. Seolah-olah bagian-bagian tubuhnya bekerja sendiri-sendiri. Ketika kakinya melangkah sesungguhnya tangannya hanya ingin berdiam, bahkan kadang-kadang terasa kalau kaki kanan ingin ke depan, kaki kirinya ingin ke belakang atau ke samping kanan maupun ke samping kiri, sementara otaknya melayang entah ke mana. Walhasil ia harus mengeluarkan tenaga sedemikian banyaknya dengan sia-sia. Ia merasa amat letih, tetapi ia tidak dapat mengenal keletihan itu sehingga tidak mampu pula diatasinya. Ia seperti orang sasau --di antara gila dengan waras.

Ia kemudian terhenyak di anak tangga ru­mah Ni­ru tanpa dapat membagi perasaan. Dengan sedikit si­sa kesadaran sebagai orang waras, selanjutnya ia memekik keras berkali-kali. Entah apa yang dipe­kik­nya, ia tak tahu. Pekikan itu pulalah yang seolah-olah mengan­tar­kan kakinya melangkah ke warung telepon dan kembali menelepon aku.

“Tapi aku bertambah kecewa, bertambah kecewa karena kau menyuruh aku pulang; seolah-olah tidak ada kejadian apa-apa di sini. Seharusnya, kita berbuat sesuatu menghadapi kenyataan ini. Bukan bermaksud men­jem­put­ku pulang. Di mana letak dirimu sebagai ma­nu­sia?”

Aku diam.

“Kemanusiaanmu sudah tak berguna. Kau sudah mati. Kau sedikit pun tidak memiliki perasaan,” Jim marah besar. Suaranya lantang ber­kumandang, terasa seperti jarum menusuk telingaku.

“Kau bangsat, taik kucing!” Jim menghempaskan gagang telepon.

Tanpa merasa tersinggung sedikit pun, aku juga meletakkan gagang telepon. Meraih kursi dan pelan-pelan meletakkan tongkeng di kursi, kemudian me­nyan­darkan tubuhku ke sandarannya sehingga aku benar-benar rebah. Memandang ke langit-langit, aku berkata pelan, “Kalau saja Jim tahu bahwa nanti malam, giliranku, keluargaku, dan para tetangga yang menjadi batu seperti sudah dialami sekian banyak warga sebelumnya. Kalau saja Jim tahu, semuanya ini sudah direncanakan secara detil sejak dua tahun lalu sehingga aku mengetahui apa-apa saja yang di­alaminya di desa Niru walaupun ia tidak menelepon.”

Sungguh, hanya dengan menjadi batu saja kami dapat bertahan.***


(Dimuat dalam Horison, September 1997)
Continue reading →
Berikutnya Kembali

Kategori Koran