30 Jan 2013

Menjadi Batu

0 komentar
Oleh : Taufik Ikram Jamil

Dinihari.

“Pasti dari Jim,” kata hatiku.

Sambil mengangkat gagang telepon itu, aku membayangkan Jim kembali tercungap-cungap menceritakan keluarga Niru menjadi batu. Lalu ia bertanya bagaimana hal itu bisa terjadi, mengapa harus menjadi batu, dan apa yang dapat dilakukan untuk membantu mereka. Ber­kali-kali ia ulangi pertanyaan tersebut, ditingkahi desah ketakutan dan keasingannya menghadapi kenyataan itu.

“Ketika kutinggalkan sekejap tadi, hanya leher sampai kepala mereka saja yang belum menjadi batu,” ka­ta Jim seperti yang sudah kuduga, ya seperti yang sudah kuduga. “Aku kira sebentar lagi semua tubuh me­reka akan menjadi batu, tergolek bagai barang tak berguna. Tapi mereka manusia kan?”

Aku diam, tetapi aku sudah membayangkan, pertanyaan terakhir itu akan dijawab oleh Jim sendiri dengan mengatakan bahwa memang benarlah mereka manusia. Tetapi manusia yang telah menjadi batu tidak akan dapat memfungsikan dirinya, padahal bagian terpenting dalam hidup adalah memfungsikan diri. Sampai pada kalimat tersebut, Jim akan ter­sen­tak sendiri karena ia mafhum bahwa memfungsikan diri adalah sesuatu yang abstrak. Jangan-jangan men­jadi batu merupakan upaya memfungsikan diri juga.

“Tapi mengapa harus menjadi batu?” tanya Jim. “Bagaimana caranya mereka menjadi batu?” lan­jut­nya. “Tak masuk akal, menjadi batu membiarkan diri melakoni benda mati,” kata Jim.

Beberapa saat ia terdiam.

“Ya, mereka membunuh diri,” simpul Jim. Cepat-cepat ia mengatakan, “Oh, betapa mengerikan. Aku takut....”

“Jim...!” panggilku. Tak ada jawaban. “Jim!” ulangku.

“Kau kan tahu betapa Niru adalah bagian dari ke­luargaku juga. Lima belas tahun yang lalu, bukan rentang waktu yang panjang untuk menelusuri hu­bungan kami. Ketika ia masih bujang lagi dan kini pu­nya anak bersusun paku,” kata Jim datar. “Niru telah mengantarkan aku ke jenjang karier seperti sekarang dan menjadi modal besar ba­giku sampai diangkat menjadi profesor. Ia dan ke­luarganya —sebelum kawin— memang po­hon penelitianku, tetapi aku tak pemah meng­ang­gap­nya sebagai sesuatu yang ber­asal dari luar diriku, sehingga ke­tika aku me­ne­li­ti­nya atau orang kampung se­ka­lian, aku me­rasa meneliti diriku sen­diri,” kata Jim.

Tentu saja aku tahu karena akulah yang membawa Jim pertama kali ke desa Niru, se­kitar 150 km dari sini, lan­tas berkenalan dengan Niru. Ya, Niru masih bu­jang bedeng­kang waktu itu; tak lama se­­telah ber­kawan akrab de­ngan Jim, ia yang kawin de­ngan orang se­kam­pungnya, tetap meman­du Jim di la­pang­an. Tak meng­he­rankan kalau di antara ke­duanya terjalin hu­bung­an an­­­­­tara pemandu dengan peneliti sampai di luar batas. Ketika Jim kembali ke negeri asalnya se­te­lah tiga tahun menetap di desa Ni­ru, aku menjadi pe­rantara hubungan mereka ber­dua. Ketika Jim dikukuhkan sebagai doktor di bidang yang ditelitinya yak­ni antropologi ekonomi, Niru dan aku diundang meng­hadiri acara tersebut. Sayang, Niru tak mau da­tang dengan alasan yang tidak jelas walau­pun segala sesuatunya ditanggung oleh Jim.

Hasil penelitian Jim di desa Niru sebenarnya ti­dak­lah terlalu istimewa bagiku, barangkali di­se­bab­kan perhatian kami yang berbeda dan semua per­masalahan di dalam penelitiannya sekaligus kualami sendiri dalam bentuk lain. Dalam kerangka yang lebih kecil dan sederhana dapatlah disebutkan bahwa pe­nelitian Jim menggambarkan bagaimana di desa Niru terdapat berbagai hal yang teramat luar biasa secara ekonomi, tetapi masyarakatnya terbelakang. Suku Montai, begitu orang menamakan asal Niru, se­be­narnya hampir tergolong primitif, tetapi hidup di te­ngah ladang minyak yang kaya raya dengan per­alatan cang­gihnya. Belum lagi pembangunan per­ke­bunan besar-besaran yang tak terbayangkan se­be­lum­nya. Suku Montai berdampingan dengan hal-hal yang wah itu, namun jarak di antara keduanya sangat jauh seperti tak dapat diukur lagi secara metrik, tetapi oleh waktu. Sesuatu yang sebenamya secara umum di­nik­mati tidak saja oleh Niru dan Suku Montai, tetapi ba­nyak orang lain lagi termasuk aku. Mereka dalam keadaan yang tidak bisa membela diri terlebih lagi tidak punya sembarang pembela pun.

“Halo..., Hallo...,” Jim agak berteriak. “Kau dengar atau tidak?”

“Teruskan, teruskan....”

“Aku takut, sangat takut. Aku belum pernah setakut ini.”

Aku menarik napas. Tam­paknya aku harus mela­kukan tindakan karena sudah tiga ka­li ia menel­epon, keta­kut­annya terasa semakin besar. Tetapi belum sem­­­pat aku me­nye­lidiki keberadaannya se­per­ti tin­dakan apa yang di­ha­rap­­kannya dariku, hubungan ka­mi terputus. Cukup lama aku mem­biar­kan gagang telepon melekap di telingaku dengan harapan Jim berbicara lagi, tetapi yang terdengar hanya tut ... tut ... tut....


***

Dinihari.

Aku membayangkan saat ini Jim berlari dari warung telepon yang seingatku ter­le­tak sekitar dua kilometer dari rumah Niru kalau mungkin ia menelepon dari tempat itu, menuju rumah sahabat kami tersebut. Keringat sebesar jagung segera saja mengalir di tubuhnya, dimulai dari puncak hidungnya yang tercacak. Se­bentar ia tercegat di pintu dan sedikit saja ia me­no­lak daun pintu dengan ujung telunjuk, cahaya pelita sudah menyergap mukanya. Wajahnya kelihat­an menyala karena butir-butir keringat seperti tersim­bah cahaya pelita yang merah kekuning-ku­ningan. Angin berkibar, wajahnya pun terlihat berayun. Jim kembali memutarkan badannya, turun ke tanah. Ia me­n­cang­kung pada pipa minyak yang bergaris tengah sekitar 80 sentimeter dan mem­ben­tang tak sampai 15 meter dari rumah Niru. Me­ne­nga­dah. Cahaya bulan se­peng­gal dan kerlip-kerlip bin­tang yang ter­sapu awan hitam tidak menimbulkan sembarang ke­san elok di hatinya, malah ia semakin gelisah.

Jim tak tahu apa yang harus dilakukannya. Ka­ki­nya tiba-tiba saja tertuntun kembali masuk ke dalam rumah Niru. Berat. Langsung saja matanya menyer­gap Niru yang tergolek di sudut. Kaki sampai dada lelaki itu sudah membatu, tinggal mukanya yang ranum seperti tidak mengalami apa-apa, mengajak Jim berbincang. Tak jauh dari Niru, enam anak kecil juga dalam keadaan demikian, menusuk-nusuk hati Jim. Juga Siah istri Niru yang tergeletak dekat dapur, membuat pemandangan di dalam rumah ini bagaikan satu hamparan yang terasa amat asing.

“Aku panggil Tuk Batin ke sini,” kata Jim.

“Jangan!”

“Bontik?”

“Jangan. Duduk saja di sini, sebelum fajar me­nying­sing,” kata Niru.

“Atau Katik, Leman, Ra­ut, dan... .”

Terdengar Niru ketawa kecil. Matanya yang bundar memandang tubuhnya yang sudah membatu. Jim meng­ikuti arah mata itu dengan pan­dangan tanpa ia tahu apa maksudnya. Terasa begitu cepat waktu berlalu, padahal baru beberapa jam sebe­lum­nya Jim dan Niru masih berbicara perkara biasa-biasa saja. Siah dan anak-anaknya ikut terlibat dalam pertemuan dua sahabat lama itu. Jim me­nyadari ke­beradaan Niru dan keluarganya seperti se­k­a­­­­rang tak lama setelah ia mengajak Niru berjalan untuk makan angin di luar. Dulu, menjelang dini hari mereka selalu ber­jalan ke luar, ke pinggir hutan se­latan. Sinar mau­pun cahaya dari maskapai minyak dan pabrik-pabrik sawit serta be­deng-be­deng­nya yang di­pan­dang dari kegelapan kampung ini meskipun membuat hati mereka sayup, juga mampu menghidangkan suasana lain. Sesuatu yang sulit diterjemahkan kalau ti­dak berdiri pada bidang Niru maupun Jim.

Saat pertarna kali menelepon dini hari tadi, Jim me­mang mengatakan bahwa apa yang terjadi se­ka­rang pada Niru dan keluarganya seperti tiba-tiba. Se­telah berkali-kali mengajak berjalan ke luar yang de­ngan senyum ditolak Niru, lelaki itu akhimya menge­luar­kan kakinya. Mengeluarkan kaki yang sudah men­jadi batu. Jim terpelanting, tetapi tak lama kemudian ia cepat menguasai. Ketika Niru menunjuk kaki anak-anak dan istrinya, Jim pun sadar bahwa sesuatu te­lah terjadi pada keluarga ini. Kesimpulan menjadi batu dibuat Jim setelah ia melihat makin malam se­ma­kin banyak bagian tubuh Niru maupun anggota keluarganya yang menjadi batu.

“Tapi Niru, anak-anak, dan istrinya seperti tidak mengalami apa-apa,” kata Jim lewat telepon beberapa jam lalu. “Sungguh, semula aku tak percaya. Tetapi ma­na mungkin aku mempertahankan ketidak­per­ca­ya­an itu kalau aku melihat dengan mata kepalaku sen­­diri bagaimana perlahan-lahan badan mereka berubah menjadi batu. Aku memegang batu itu, keras sebagaimana layaknya batu. Kau tahu bagaimana batu kan?” kalimat Jim bertubi-tubi. Cepat pula ia ber­tanya, “Kau percaya cerita ini?”

“Percaya.”

“Kau percaya?”

“Karena kau tak mungkin berbohong.”

“Ya, aku tak mungkin berbohong.”

“Dan kau mendengar bagaimana Niru terus ber­bi­cara seperti biasa. Ia akan menceritakan ikan yang meng­­hilang dari sungai, damar yang sulit dicari, dan....”

“Bagaimana kau tahu?”

Aku berdehem.

“Bagaimana kau tahu?” desak Jim.

“Lantas, apa lagi yang dapat dikatakan Niru?”

“Dan menjadi batu se­be­narnya bukan pilihan kan? Te­tapi mengapa mereka men­jadi batu?”

Aku ingin menjawab per­ta­nyaan itu, tetapi hujatan Jim _ya, aku katakan se­ba­gai hujatan_ tentang men­ja­di batu tersebut terus sa­ja me­lun­cur dari mulutnya. Aku ingin mengatakan, tapi nan­­ti­lah .... Ya, nanti saja. Apa­lagi waktu itu, ti­ba-tiba sa­­ja sambungan telepon ter­putus dan aku hanya dapat men­­­de­ngar suara tut ... tut ... tut ....

“Sungguh aku tak dapat me­ngerti kalau menjadi batu sebagai suatu pilihan.”

Apa yang dapat dilakukan dengan menjadi batu, semen­tara sekian pertanyaanku kepada Niru ha­nya­lah sia-sia. Ia sedikit pun tak mau menjawab perta­nya­anku. Ia hanya mau mengenang ma­sa-masa lam­pau, soal-soal kemesraan, dan berc­e­rita tentang ka­yang­an yang sudah hilang,” kata Jim dalam telepon sebentar tadi yang kembali terngiang-ngiang dalam telingaku. “Ini sungguh amat me­nakut­­­­­kan aku. Aku takut,” sam­bung Jim, terdengar suar­a­nya tersendat-sendat.


***

Sampai menjelang subuh, telepon masih ter­len­tang. Belum ada lagi panggilan dari Jim, tapi aku yakin bahwa ia segera menelepon. Barangkali selama me­nung­­gu ini aku sempat tertidur dan terjaga karena su­ara batuk istriku. Kudengar juga suara anakku me­nge­rang. Kendaraan mulai lewat di depan rumah. Dari jen­dela, aku melihat bulan tergantung yang caha­ya­nya pucat karena disambar cahaya merkuri di tengah jalan. Bayangan Jim menyeruak di antara cahaya re­mang-remang di dalam rumah ini. Ia seperti duduk di ruang tengah, membaca majalah berita yang kubeli sore tadi. Kakinya ter­ke­pang, kadang-kadang bergoyang-goyang se­ba­gai tanda bahwa ia me­nyenangi bacaan itu.

“Mengapa kau tak per­nah bercerita tentang ham­­­­­­­­­­paran batu yang ber­ben­tuk manusia dan per­alatan hidupnya sehari-hari di sini?” tanya Jim su­atu malam, mungkin tu­­­­juh tahun yang lalu. Ia me­lihat halaman majalah yang memuat tulisan itu dan menyodorkan ke­pa­da­ku. Pandangannya ti­dak lepas dari mataku me­s­­­­kipun aku sudah meng­­­­­­­ambil majalah ter­sebut sambil lewat saja, tak sedikit pun mem­ba­canya kecuali me­man­dang gambar-gambar ham­­paran batu tersebut. Dari mata Jim aku tahu ia sebenamya berkali-kali melontarkan pertanyaan serupa, “Mengapa kau tak pernah cerita ada ham­paran batu yang berbentuk manusia dan peralatan hi­dupnya sehari-hari di sini?”

Sebagai jawabannya aku memandang langit-la­ngit, kemudian kembali memandang majalah itu dan men­cari nama penulisnya. Tanpa sengaja aku me­man­dang gambar batu-batu yang berbentuk manusia, tilam, sendok, lesung, bantal, bahkan alat kelamin le­laki maupun perempuan, yang pernah kusaksikan beberapa kali. Ada juga batu berbentuk kapal, limau, dan entah apa lagi. Konon, batu-batu tersebut adalah wujud dari tindakan sekelompok manusia yang tak mungkin lagi berbuat lain dalam menghadapi ge­lom­bang hidup terutama dalam menolak perintah raja. Sekarang batu-batu itu membesar dan konon pada suatu saat kelak akan memakan lahan sehingga mem­persempit dan semakin mempersempit lahan yang ada. Setahuku, ada dua hamparan batu-batuan seperti itu di sini. Satu hamparan di pinggir pantai dan satu hamparan lagi di dalam sebuah goa di hutan lebat.

Tak ada tanggapan Jim terhadap jawabanku itu. Tapi ia tidak meneruskan bacaannya, malahan masuk ke dalam kamar yang memang kusediakan untuknya kalau ia datang ke sini. Tak lama kemudian ia sudah keluar lagi dengan amat necis. Bau parfumnya me­nye­­ngat sampai aku harus mendengus-denguskan hidung. Seperti biasa ia hanya tersenyum kecil me­li­hat kelakuanku itu sambil meng­­angkat bahu. Me­nyu­­lut rokok sebatang dan menghisapnya dalam-dalam, ia kemudian me­nga­takan ingin keluar. Tak di­ajak­nya aku, tetapi aku menawarkan diri untuk menemaninya sekedar ba­sa-basi karena malam itu aku menunggu tamu, se­orang teman lama. Dini ha­ri, ketika mataku sudah terlayang, baru Jim pulang dengan bau penuh bir.

Keesokannya, pagi-pa­gi lagi Jim mengatakan akan pulang ke Tanah Air­nya. Aku agak terkejut ka­re­na hal ini di luar prog­ram­nya semula. Katanya, ia akan berada di sini ba­rang sepekan dalam urus­an apa yang disebutnya sebagai mengecas baterai, tetapi baru tiga hari ia su­dah merindukan keluar­ga­nya. Aku tak banyak tanya saat itu dan apa pula gunanya karena Jim tidak pemah dapat dihalangi. Niatnya ke desa Niru dengan sen­diri­nya batal walaupun aku sudah mengingatkannya. Sejak saat itu Jim tidak pernah lagi ke sini dan kabar mengenainya kudengar sekali-sekali. Sampailah be­berapa hari lalu saat ia meneleponku dan me­nya­ta­kan keinginannya untuk datang ke sini.

“Aku ingin reuni di Montai, tentu terutama dengan Niru dan keluarganya,” kata Jim seraya tidak lupa mengatakan bahwa ia sudah diangkat menjadi pro­fe­sor. Di bandar udara Jim mengoceh banyak hal me­nge­nai kedatangannya sekali ini terutama tentang penghormatannya atas Montai dan Niru khususnya yang mengantarkannya ke jenjang karier seperti se­karang.

Di desa itu sebagaimana diungkapkannya lewat te­lepon, Niru maupun orang sedesanya tetap seperti da­hulu. Tak ada perubahan. Kalaupun ada peru­bah­an, kelapa sawit di sana sudah menghasilkan sekian kali panen, jalan yang lebar, dan tanah yang kelihatan semakin tandus. Bangunan-bangunan kilang minyak makin menjulang, kendaraan tiada henti-hentinya lalu-lalang di desa itu. Persekitaran desa Niru se­ma­kin terang benderang dengan berbagai fasilitas, ter­ma­suk hotel dan warung telepon yang boleh dika­ta­kan tidak begitu jauh dari rumah Niru.

Di sisi lain untuk menggambarkan keadaan tempat yang didiami Niru dan keluarganya, Jim cukup mengatakan bahwa rumah Niru masih terbuat dari kulit kayu dan tidak memiliki listrik. Rumah atau lebih tepat dikatakan pondok itu pun sudah mundur sampai tujuh kali, sehingga makin terpuruk ke dalam hutan karena pengembangan ladang minyak dan perkebunan. Jim juga mengatakan, tanah yang dibe­linya seluas dua hektar untuk Niru dan sejumlah orang sebagai tanda mata itu sudah berpindah tangan tanpa ganti rugi sepeser pun dan di atasnya telah ber­diri berdegam sebuah hotel. “Ketika kutanyakan hal ini, Niru hanya mengatakan: payah, payah...,” kata Jim.

Waktu itu aku tak sem­­­­­pat mengatakan apa saja yang telah dilakukan Niru dan warga kam­pung itu, bahkan kami di kota ini. Perlu waktu khu­sus untuk meng­a­ta­kannya kepada Jim, tidak cukup hanya melalui te­lepon. Aku berniat se­kali mengatakan hal ini kepa­danya ketika ia pu­lang nanti. Tak ada mak­sud apa-apa kecuali agar ia paham bahwa kami tidak pernah menyerah kepada keadaan. Baik­lah, setidak-tidaknya aku akan katakan sepatah dua kata tentang hal itu ketika Jim menelepon lagi yang kini sedang kutunggu-tunggu.


***

Ternyata penantianku tidak sia-sia. Persis saat azan subuh mulai berkumandang, telepon berderak. Suara napas Jim yang kukenal segera menyambar telingaku, sementara benakku membayangkan bahwa Jim akan mengabarkan kisah baru yang jauh lebih seru. Dari desah napasnya pula aku dapat meraba bagaimana Jim tercungap-cungap, menelan air liurnya beberapa kali, dan tak henti-hentinya mengusap mu­ka. Ketika kutanyakan khabarnya, Jim menjawab dengan sedu-sedan.

“Sudahlah Jim, bawa bertenang.”

Lama tidak ada jawaban dan aku terus-menerus memintanya untuk bertenang.

“Bertenang?” tanyanya kemudian.

“Pulanglah dulu ke sini.”

“Bertenang dan pulang?”

Aku mengogam.

“Bagaimana aku dapat bertenang dan pulang dalam keadaan seperti ini?”

“Ya, memang sulit. Aku akan menjemputmu.”

“Kemudian membawa aku pulang?”

“Ya.”

“Bagaimana aku dapat melakukan hal itu, ke­tika....” Kalimat Jim terputus.

“Ketika kau melihat semua orang di desa itu men­jadi batu?” aku memotong kalimat Jim. Tapi aku me­nyesal karena berkata seperti itu. Untunglah Jim tidak menangkap kelalaian tersebut, bahkan men­ja­dikan­nya sebagai titik awal untuk menceritakan pe­nga­­lamannya yang lain menjelang subuh itu.

“Ya. Ketika itu tanpa seizin Niru aku pergi ke rumah Bontik. Tetapi aku melihat, Bontik dan ke­luar­ganya juga sudah menjadi batu. Aku pergi ke rumah Tuk Batin, ia dan keluarganya juga begitu. Da­­ri sinilah kemudian aku tahu bahwa semua pen­duduk desa ini sudah men­­jadi batu yang pro­ses­nya sama dengan apa yang dialami Niru dan kusaksikan langsung. Ki­ni mereka semuanya su­dah menjadi batu,” kata Jim.

Bermacam-macam su­­­­­­­­sunan orang-orang yang sudah menjadi batu itu. Pada beberapa rumah yang penghuninya tak dikenal Jim, orang yang men­jadi batu terlihat di halaman itu pun dalam berbagai pose. Ada yang sedang mencangkung, berdiri berce­kak pinggang, dan entah macam mana lagi. Bontik, kawan Niru sejak kecil dan cukup dikenal Jim, salah se­orang manusia yang menjadi batu di halaman, se­dang­kan istri dan tiga orang anaknya berada di be­lakang rumah. Tiga anak mereka yang lain berada di dalam rumah dengan berbagai macam pose. Begitu pula Tuk Batin yang terlihat duduk di bendul dengan mu­ka tegang, sedangkan istri dan anak-anaknya tergelimpang di halaman.

Barangkali dipengaruhi oleh kedekatan hati, ia melihat Niru yang sudah menjadi batu lebih dulu. Lelaki ini beserta anggota keluarganya berada dalam rumah. Tetapi Niru setengah duduk: kaki sampai ping­­gangnya sejajar dengan lantai kaki kanan meng­him­pit kaki kiri; sedangkan pinggang sampai kepa­la­nya membuat garis 120 derajat. Tangan kanan me­no­­pang kepalanya, sementara tangan kiri melempai meng­­ikuti bentuk pinggang. Tetapi mata Niru.... Ma­ta­nya memandang tembus ke langit. Atap rumah yang terbuat dari daun nipah yang seharusnya menghalangi mata Niru memandang ke luar, ternyata bocor. Cahaya bulan sepenggal yang masuk ke dalam rumah melalui lubang itu tepat menimpa mata Niru, se­hing­ga alat indera tersebut seperti menyala dan me­lahir­kan suasana yang sungguh sulit dilukiskan kata-kata.

Ia menerangkan tentang bagaimana ia berlari dari satu rumah ke rumah lain dengan napas terengah-engah. Tidak sekali dua ia tersampuk benda-benda yang tak sempat dilihatnya sehingga ia tersungkur ke tanah. Luka pada beberapa bagian tubuhnya tak terasakan lagi. Ia berharap agar semuanya ini hanya mimpi kosong belaka, tetapi semakin besar harapan itu bergumul dalam pikiran dan perasaannya, semakin besarlah kesadarannya tentang kenyataan ini. Di antara rentangan sikap semacam itulah ia tergantung dan saling tarik-menarik. Ketika ia sampai pada ujung rentangan menolak, dengan cepat ia meluncur ke rentangan menerima kenyataan tersebut. Sebalik­nya belum sempat ia menyadari keadaan dirinya me­ne­rima kenyataan itu dengan hati jernih, ia meluncur pu­la ke rentangan yang menolak.

Entah berapa kali Jim bolak-balik di antara satu rumah ke rumah lain yang sekaligus menyaksikan orang-orang sudah menjadi batu tanpa mengerti mengapa ia bertindak demikian. Seolah-olah bagian-bagian tubuhnya bekerja sendiri-sendiri. Ketika kakinya melangkah sesungguhnya tangannya hanya ingin berdiam, bahkan kadang-kadang terasa kalau kaki kanan ingin ke depan, kaki kirinya ingin ke belakang atau ke samping kanan maupun ke samping kiri, sementara otaknya melayang entah ke mana. Walhasil ia harus mengeluarkan tenaga sedemikian banyaknya dengan sia-sia. Ia merasa amat letih, tetapi ia tidak dapat mengenal keletihan itu sehingga tidak mampu pula diatasinya. Ia seperti orang sasau --di antara gila dengan waras.

Ia kemudian terhenyak di anak tangga ru­mah Ni­ru tanpa dapat membagi perasaan. Dengan sedikit si­sa kesadaran sebagai orang waras, selanjutnya ia memekik keras berkali-kali. Entah apa yang dipe­kik­nya, ia tak tahu. Pekikan itu pulalah yang seolah-olah mengan­tar­kan kakinya melangkah ke warung telepon dan kembali menelepon aku.

“Tapi aku bertambah kecewa, bertambah kecewa karena kau menyuruh aku pulang; seolah-olah tidak ada kejadian apa-apa di sini. Seharusnya, kita berbuat sesuatu menghadapi kenyataan ini. Bukan bermaksud men­jem­put­ku pulang. Di mana letak dirimu sebagai ma­nu­sia?”

Aku diam.

“Kemanusiaanmu sudah tak berguna. Kau sudah mati. Kau sedikit pun tidak memiliki perasaan,” Jim marah besar. Suaranya lantang ber­kumandang, terasa seperti jarum menusuk telingaku.

“Kau bangsat, taik kucing!” Jim menghempaskan gagang telepon.

Tanpa merasa tersinggung sedikit pun, aku juga meletakkan gagang telepon. Meraih kursi dan pelan-pelan meletakkan tongkeng di kursi, kemudian me­nyan­darkan tubuhku ke sandarannya sehingga aku benar-benar rebah. Memandang ke langit-langit, aku berkata pelan, “Kalau saja Jim tahu bahwa nanti malam, giliranku, keluargaku, dan para tetangga yang menjadi batu seperti sudah dialami sekian banyak warga sebelumnya. Kalau saja Jim tahu, semuanya ini sudah direncanakan secara detil sejak dua tahun lalu sehingga aku mengetahui apa-apa saja yang di­alaminya di desa Niru walaupun ia tidak menelepon.”

Sungguh, hanya dengan menjadi batu saja kami dapat bertahan.***


(Dimuat dalam Horison, September 1997)

Leave a Reply

Berikutnya Kembali

Kategori Koran