Oleh : Taufik Ikram Jamil
Dinihari.
“Pasti dari Jim,” kata hatiku.
Sambil mengangkat gagang telepon itu, aku membayangkan Jim kembali tercungap-cungap menceritakan keluarga Niru menjadi batu. Lalu ia bertanya bagaimana hal itu bisa terjadi, mengapa harus menjadi batu, dan apa yang dapat dilakukan untuk membantu mereka. Berkali-kali ia ulangi pertanyaan tersebut, ditingkahi desah ketakutan dan keasingannya menghadapi kenyataan itu.
“Ketika kutinggalkan sekejap tadi, hanya leher sampai kepala mereka saja yang belum menjadi batu,” kata Jim seperti yang sudah kuduga, ya seperti yang sudah kuduga. “Aku kira sebentar lagi semua tubuh mereka akan menjadi batu, tergolek bagai barang tak berguna. Tapi mereka manusia kan?”
Aku diam, tetapi aku sudah membayangkan, pertanyaan terakhir itu akan dijawab oleh Jim sendiri dengan mengatakan bahwa memang benarlah mereka manusia. Tetapi manusia yang telah menjadi batu tidak akan dapat memfungsikan dirinya, padahal bagian terpenting dalam hidup adalah memfungsikan diri. Sampai pada kalimat tersebut, Jim akan tersentak sendiri karena ia mafhum bahwa memfungsikan diri adalah sesuatu yang abstrak. Jangan-jangan menjadi batu merupakan upaya memfungsikan diri juga.
“Tapi mengapa harus menjadi batu?” tanya Jim. “Bagaimana caranya mereka menjadi batu?” lanjutnya. “Tak masuk akal, menjadi batu membiarkan diri melakoni benda mati,” kata Jim.
Beberapa saat ia terdiam.
“Ya, mereka membunuh diri,” simpul Jim. Cepat-cepat ia mengatakan, “Oh, betapa mengerikan. Aku takut....”
“Jim...!” panggilku. Tak ada jawaban. “Jim!” ulangku.
“Kau kan tahu betapa Niru adalah bagian dari keluargaku juga. Lima belas tahun yang lalu, bukan rentang waktu yang panjang untuk menelusuri hubungan kami. Ketika ia masih bujang lagi dan kini punya anak bersusun paku,” kata Jim datar. “Niru telah mengantarkan aku ke jenjang karier seperti sekarang dan menjadi modal besar bagiku sampai diangkat menjadi profesor. Ia dan keluarganya —sebelum kawin— memang pohon penelitianku, tetapi aku tak pemah menganggapnya sebagai sesuatu yang berasal dari luar diriku, sehingga ketika aku menelitinya atau orang kampung sekalian, aku merasa meneliti diriku sendiri,” kata Jim.
Tentu saja aku tahu karena akulah yang membawa Jim pertama kali ke desa Niru, sekitar 150 km dari sini, lantas berkenalan dengan Niru. Ya, Niru masih bujang bedengkang waktu itu; tak lama setelah berkawan akrab dengan Jim, ia yang kawin dengan orang sekampungnya, tetap memandu Jim di lapangan. Tak mengherankan kalau di antara keduanya terjalin hubungan antara pemandu dengan peneliti sampai di luar batas. Ketika Jim kembali ke negeri asalnya setelah tiga tahun menetap di desa Niru, aku menjadi perantara hubungan mereka berdua. Ketika Jim dikukuhkan sebagai doktor di bidang yang ditelitinya yakni antropologi ekonomi, Niru dan aku diundang menghadiri acara tersebut. Sayang, Niru tak mau datang dengan alasan yang tidak jelas walaupun segala sesuatunya ditanggung oleh Jim.
Hasil penelitian Jim di desa Niru sebenarnya tidaklah terlalu istimewa bagiku, barangkali disebabkan perhatian kami yang berbeda dan semua permasalahan di dalam penelitiannya sekaligus kualami sendiri dalam bentuk lain. Dalam kerangka yang lebih kecil dan sederhana dapatlah disebutkan bahwa penelitian Jim menggambarkan bagaimana di desa Niru terdapat berbagai hal yang teramat luar biasa secara ekonomi, tetapi masyarakatnya terbelakang. Suku Montai, begitu orang menamakan asal Niru, sebenarnya hampir tergolong primitif, tetapi hidup di tengah ladang minyak yang kaya raya dengan peralatan canggihnya. Belum lagi pembangunan perkebunan besar-besaran yang tak terbayangkan sebelumnya. Suku Montai berdampingan dengan hal-hal yang wah itu, namun jarak di antara keduanya sangat jauh seperti tak dapat diukur lagi secara metrik, tetapi oleh waktu. Sesuatu yang sebenamya secara umum dinikmati tidak saja oleh Niru dan Suku Montai, tetapi banyak orang lain lagi termasuk aku. Mereka dalam keadaan yang tidak bisa membela diri terlebih lagi tidak punya sembarang pembela pun.
“Halo..., Hallo...,” Jim agak berteriak. “Kau dengar atau tidak?”
“Teruskan, teruskan....”
“Aku takut, sangat takut. Aku belum pernah setakut ini.”
Aku menarik napas. Tampaknya aku harus melakukan tindakan karena sudah tiga kali ia menelepon, ketakutannya terasa semakin besar. Tetapi belum sempat aku menyelidiki keberadaannya seperti tindakan apa yang diharapkannya dariku, hubungan kami terputus. Cukup lama aku membiarkan gagang telepon melekap di telingaku dengan harapan Jim berbicara lagi, tetapi yang terdengar hanya tut ... tut ... tut....
***
Dinihari.
Aku membayangkan saat ini Jim berlari dari warung telepon yang seingatku terletak sekitar dua kilometer dari rumah Niru kalau mungkin ia menelepon dari tempat itu, menuju rumah sahabat kami tersebut. Keringat sebesar jagung segera saja mengalir di tubuhnya, dimulai dari puncak hidungnya yang tercacak. Sebentar ia tercegat di pintu dan sedikit saja ia menolak daun pintu dengan ujung telunjuk, cahaya pelita sudah menyergap mukanya. Wajahnya kelihatan menyala karena butir-butir keringat seperti tersimbah cahaya pelita yang merah kekuning-kuningan. Angin berkibar, wajahnya pun terlihat berayun. Jim kembali memutarkan badannya, turun ke tanah. Ia mencangkung pada pipa minyak yang bergaris tengah sekitar 80 sentimeter dan membentang tak sampai 15 meter dari rumah Niru. Menengadah. Cahaya bulan sepenggal dan kerlip-kerlip bintang yang tersapu awan hitam tidak menimbulkan sembarang kesan elok di hatinya, malah ia semakin gelisah.
Jim tak tahu apa yang harus dilakukannya. Kakinya tiba-tiba saja tertuntun kembali masuk ke dalam rumah Niru. Berat. Langsung saja matanya menyergap Niru yang tergolek di sudut. Kaki sampai dada lelaki itu sudah membatu, tinggal mukanya yang ranum seperti tidak mengalami apa-apa, mengajak Jim berbincang. Tak jauh dari Niru, enam anak kecil juga dalam keadaan demikian, menusuk-nusuk hati Jim. Juga Siah istri Niru yang tergeletak dekat dapur, membuat pemandangan di dalam rumah ini bagaikan satu hamparan yang terasa amat asing.
“Aku panggil Tuk Batin ke sini,” kata Jim.
“Jangan!”
“Bontik?”
“Jangan. Duduk saja di sini, sebelum fajar menyingsing,” kata Niru.
“Atau Katik, Leman, Raut, dan... .”
Terdengar Niru ketawa kecil. Matanya yang bundar memandang tubuhnya yang sudah membatu. Jim mengikuti arah mata itu dengan pandangan tanpa ia tahu apa maksudnya. Terasa begitu cepat waktu berlalu, padahal baru beberapa jam sebelumnya Jim dan Niru masih berbicara perkara biasa-biasa saja. Siah dan anak-anaknya ikut terlibat dalam pertemuan dua sahabat lama itu. Jim menyadari keberadaan Niru dan keluarganya seperti sekarang tak lama setelah ia mengajak Niru berjalan untuk makan angin di luar. Dulu, menjelang dini hari mereka selalu berjalan ke luar, ke pinggir hutan selatan. Sinar maupun cahaya dari maskapai minyak dan pabrik-pabrik sawit serta bedeng-bedengnya yang dipandang dari kegelapan kampung ini meskipun membuat hati mereka sayup, juga mampu menghidangkan suasana lain. Sesuatu yang sulit diterjemahkan kalau tidak berdiri pada bidang Niru maupun Jim.
Saat pertarna kali menelepon dini hari tadi, Jim memang mengatakan bahwa apa yang terjadi sekarang pada Niru dan keluarganya seperti tiba-tiba. Setelah berkali-kali mengajak berjalan ke luar yang dengan senyum ditolak Niru, lelaki itu akhimya mengeluarkan kakinya. Mengeluarkan kaki yang sudah menjadi batu. Jim terpelanting, tetapi tak lama kemudian ia cepat menguasai. Ketika Niru menunjuk kaki anak-anak dan istrinya, Jim pun sadar bahwa sesuatu telah terjadi pada keluarga ini. Kesimpulan menjadi batu dibuat Jim setelah ia melihat makin malam semakin banyak bagian tubuh Niru maupun anggota keluarganya yang menjadi batu.
“Tapi Niru, anak-anak, dan istrinya seperti tidak mengalami apa-apa,” kata Jim lewat telepon beberapa jam lalu. “Sungguh, semula aku tak percaya. Tetapi mana mungkin aku mempertahankan ketidakpercayaan itu kalau aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana perlahan-lahan badan mereka berubah menjadi batu. Aku memegang batu itu, keras sebagaimana layaknya batu. Kau tahu bagaimana batu kan?” kalimat Jim bertubi-tubi. Cepat pula ia bertanya, “Kau percaya cerita ini?”
“Percaya.”
“Kau percaya?”
“Karena kau tak mungkin berbohong.”
“Ya, aku tak mungkin berbohong.”
“Dan kau mendengar bagaimana Niru terus berbicara seperti biasa. Ia akan menceritakan ikan yang menghilang dari sungai, damar yang sulit dicari, dan....”
“Bagaimana kau tahu?”
Aku berdehem.
“Bagaimana kau tahu?” desak Jim.
“Lantas, apa lagi yang dapat dikatakan Niru?”
“Dan menjadi batu sebenarnya bukan pilihan kan? Tetapi mengapa mereka menjadi batu?”
Aku ingin menjawab pertanyaan itu, tetapi hujatan Jim _ya, aku katakan sebagai hujatan_ tentang menjadi batu tersebut terus saja meluncur dari mulutnya. Aku ingin mengatakan, tapi nantilah .... Ya, nanti saja. Apalagi waktu itu, tiba-tiba saja sambungan telepon terputus dan aku hanya dapat mendengar suara tut ... tut ... tut ....
“Sungguh aku tak dapat mengerti kalau menjadi batu sebagai suatu pilihan.”
Apa yang dapat dilakukan dengan menjadi batu, sementara sekian pertanyaanku kepada Niru hanyalah sia-sia. Ia sedikit pun tak mau menjawab pertanyaanku. Ia hanya mau mengenang masa-masa lampau, soal-soal kemesraan, dan bercerita tentang kayangan yang sudah hilang,” kata Jim dalam telepon sebentar tadi yang kembali terngiang-ngiang dalam telingaku. “Ini sungguh amat menakutkan aku. Aku takut,” sambung Jim, terdengar suaranya tersendat-sendat.
***
Sampai menjelang subuh, telepon masih terlentang. Belum ada lagi panggilan dari Jim, tapi aku yakin bahwa ia segera menelepon. Barangkali selama menunggu ini aku sempat tertidur dan terjaga karena suara batuk istriku. Kudengar juga suara anakku mengerang. Kendaraan mulai lewat di depan rumah. Dari jendela, aku melihat bulan tergantung yang cahayanya pucat karena disambar cahaya merkuri di tengah jalan. Bayangan Jim menyeruak di antara cahaya remang-remang di dalam rumah ini. Ia seperti duduk di ruang tengah, membaca majalah berita yang kubeli sore tadi. Kakinya terkepang, kadang-kadang bergoyang-goyang sebagai tanda bahwa ia menyenangi bacaan itu.
“Mengapa kau tak pernah bercerita tentang hamparan batu yang berbentuk manusia dan peralatan hidupnya sehari-hari di sini?” tanya Jim suatu malam, mungkin tujuh tahun yang lalu. Ia melihat halaman majalah yang memuat tulisan itu dan menyodorkan kepadaku. Pandangannya tidak lepas dari mataku meskipun aku sudah mengambil majalah tersebut sambil lewat saja, tak sedikit pun membacanya kecuali memandang gambar-gambar hamparan batu tersebut. Dari mata Jim aku tahu ia sebenamya berkali-kali melontarkan pertanyaan serupa, “Mengapa kau tak pernah cerita ada hamparan batu yang berbentuk manusia dan peralatan hidupnya sehari-hari di sini?”
Sebagai jawabannya aku memandang langit-langit, kemudian kembali memandang majalah itu dan mencari nama penulisnya. Tanpa sengaja aku memandang gambar batu-batu yang berbentuk manusia, tilam, sendok, lesung, bantal, bahkan alat kelamin lelaki maupun perempuan, yang pernah kusaksikan beberapa kali. Ada juga batu berbentuk kapal, limau, dan entah apa lagi. Konon, batu-batu tersebut adalah wujud dari tindakan sekelompok manusia yang tak mungkin lagi berbuat lain dalam menghadapi gelombang hidup terutama dalam menolak perintah raja. Sekarang batu-batu itu membesar dan konon pada suatu saat kelak akan memakan lahan sehingga mempersempit dan semakin mempersempit lahan yang ada. Setahuku, ada dua hamparan batu-batuan seperti itu di sini. Satu hamparan di pinggir pantai dan satu hamparan lagi di dalam sebuah goa di hutan lebat.
Tak ada tanggapan Jim terhadap jawabanku itu. Tapi ia tidak meneruskan bacaannya, malahan masuk ke dalam kamar yang memang kusediakan untuknya kalau ia datang ke sini. Tak lama kemudian ia sudah keluar lagi dengan amat necis. Bau parfumnya menyengat sampai aku harus mendengus-denguskan hidung. Seperti biasa ia hanya tersenyum kecil melihat kelakuanku itu sambil mengangkat bahu. Menyulut rokok sebatang dan menghisapnya dalam-dalam, ia kemudian mengatakan ingin keluar. Tak diajaknya aku, tetapi aku menawarkan diri untuk menemaninya sekedar basa-basi karena malam itu aku menunggu tamu, seorang teman lama. Dini hari, ketika mataku sudah terlayang, baru Jim pulang dengan bau penuh bir.
Keesokannya, pagi-pagi lagi Jim mengatakan akan pulang ke Tanah Airnya. Aku agak terkejut karena hal ini di luar programnya semula. Katanya, ia akan berada di sini barang sepekan dalam urusan apa yang disebutnya sebagai mengecas baterai, tetapi baru tiga hari ia sudah merindukan keluarganya. Aku tak banyak tanya saat itu dan apa pula gunanya karena Jim tidak pemah dapat dihalangi. Niatnya ke desa Niru dengan sendirinya batal walaupun aku sudah mengingatkannya. Sejak saat itu Jim tidak pernah lagi ke sini dan kabar mengenainya kudengar sekali-sekali. Sampailah beberapa hari lalu saat ia meneleponku dan menyatakan keinginannya untuk datang ke sini.
“Aku ingin reuni di Montai, tentu terutama dengan Niru dan keluarganya,” kata Jim seraya tidak lupa mengatakan bahwa ia sudah diangkat menjadi profesor. Di bandar udara Jim mengoceh banyak hal mengenai kedatangannya sekali ini terutama tentang penghormatannya atas Montai dan Niru khususnya yang mengantarkannya ke jenjang karier seperti sekarang.
Di desa itu sebagaimana diungkapkannya lewat telepon, Niru maupun orang sedesanya tetap seperti dahulu. Tak ada perubahan. Kalaupun ada perubahan, kelapa sawit di sana sudah menghasilkan sekian kali panen, jalan yang lebar, dan tanah yang kelihatan semakin tandus. Bangunan-bangunan kilang minyak makin menjulang, kendaraan tiada henti-hentinya lalu-lalang di desa itu. Persekitaran desa Niru semakin terang benderang dengan berbagai fasilitas, termasuk hotel dan warung telepon yang boleh dikatakan tidak begitu jauh dari rumah Niru.
Di sisi lain untuk menggambarkan keadaan tempat yang didiami Niru dan keluarganya, Jim cukup mengatakan bahwa rumah Niru masih terbuat dari kulit kayu dan tidak memiliki listrik. Rumah atau lebih tepat dikatakan pondok itu pun sudah mundur sampai tujuh kali, sehingga makin terpuruk ke dalam hutan karena pengembangan ladang minyak dan perkebunan. Jim juga mengatakan, tanah yang dibelinya seluas dua hektar untuk Niru dan sejumlah orang sebagai tanda mata itu sudah berpindah tangan tanpa ganti rugi sepeser pun dan di atasnya telah berdiri berdegam sebuah hotel. “Ketika kutanyakan hal ini, Niru hanya mengatakan: payah, payah...,” kata Jim.
Waktu itu aku tak sempat mengatakan apa saja yang telah dilakukan Niru dan warga kampung itu, bahkan kami di kota ini. Perlu waktu khusus untuk mengatakannya kepada Jim, tidak cukup hanya melalui telepon. Aku berniat sekali mengatakan hal ini kepadanya ketika ia pulang nanti. Tak ada maksud apa-apa kecuali agar ia paham bahwa kami tidak pernah menyerah kepada keadaan. Baiklah, setidak-tidaknya aku akan katakan sepatah dua kata tentang hal itu ketika Jim menelepon lagi yang kini sedang kutunggu-tunggu.
***
Ternyata penantianku tidak sia-sia. Persis saat azan subuh mulai berkumandang, telepon berderak. Suara napas Jim yang kukenal segera menyambar telingaku, sementara benakku membayangkan bahwa Jim akan mengabarkan kisah baru yang jauh lebih seru. Dari desah napasnya pula aku dapat meraba bagaimana Jim tercungap-cungap, menelan air liurnya beberapa kali, dan tak henti-hentinya mengusap muka. Ketika kutanyakan khabarnya, Jim menjawab dengan sedu-sedan.
“Sudahlah Jim, bawa bertenang.”
Lama tidak ada jawaban dan aku terus-menerus memintanya untuk bertenang.
“Bertenang?” tanyanya kemudian.
“Pulanglah dulu ke sini.”
“Bertenang dan pulang?”
Aku mengogam.
“Bagaimana aku dapat bertenang dan pulang dalam keadaan seperti ini?”
“Ya, memang sulit. Aku akan menjemputmu.”
“Kemudian membawa aku pulang?”
“Ya.”
“Bagaimana aku dapat melakukan hal itu, ketika....” Kalimat Jim terputus.
“Ketika kau melihat semua orang di desa itu menjadi batu?” aku memotong kalimat Jim. Tapi aku menyesal karena berkata seperti itu. Untunglah Jim tidak menangkap kelalaian tersebut, bahkan menjadikannya sebagai titik awal untuk menceritakan pengalamannya yang lain menjelang subuh itu.
“Ya. Ketika itu tanpa seizin Niru aku pergi ke rumah Bontik. Tetapi aku melihat, Bontik dan keluarganya juga sudah menjadi batu. Aku pergi ke rumah Tuk Batin, ia dan keluarganya juga begitu. Dari sinilah kemudian aku tahu bahwa semua penduduk desa ini sudah menjadi batu yang prosesnya sama dengan apa yang dialami Niru dan kusaksikan langsung. Kini mereka semuanya sudah menjadi batu,” kata Jim.
Bermacam-macam susunan orang-orang yang sudah menjadi batu itu. Pada beberapa rumah yang penghuninya tak dikenal Jim, orang yang menjadi batu terlihat di halaman itu pun dalam berbagai pose. Ada yang sedang mencangkung, berdiri bercekak pinggang, dan entah macam mana lagi. Bontik, kawan Niru sejak kecil dan cukup dikenal Jim, salah seorang manusia yang menjadi batu di halaman, sedangkan istri dan tiga orang anaknya berada di belakang rumah. Tiga anak mereka yang lain berada di dalam rumah dengan berbagai macam pose. Begitu pula Tuk Batin yang terlihat duduk di bendul dengan muka tegang, sedangkan istri dan anak-anaknya tergelimpang di halaman.
Barangkali dipengaruhi oleh kedekatan hati, ia melihat Niru yang sudah menjadi batu lebih dulu. Lelaki ini beserta anggota keluarganya berada dalam rumah. Tetapi Niru setengah duduk: kaki sampai pinggangnya sejajar dengan lantai kaki kanan menghimpit kaki kiri; sedangkan pinggang sampai kepalanya membuat garis 120 derajat. Tangan kanan menopang kepalanya, sementara tangan kiri melempai mengikuti bentuk pinggang. Tetapi mata Niru.... Matanya memandang tembus ke langit. Atap rumah yang terbuat dari daun nipah yang seharusnya menghalangi mata Niru memandang ke luar, ternyata bocor. Cahaya bulan sepenggal yang masuk ke dalam rumah melalui lubang itu tepat menimpa mata Niru, sehingga alat indera tersebut seperti menyala dan melahirkan suasana yang sungguh sulit dilukiskan kata-kata.
Ia menerangkan tentang bagaimana ia berlari dari satu rumah ke rumah lain dengan napas terengah-engah. Tidak sekali dua ia tersampuk benda-benda yang tak sempat dilihatnya sehingga ia tersungkur ke tanah. Luka pada beberapa bagian tubuhnya tak terasakan lagi. Ia berharap agar semuanya ini hanya mimpi kosong belaka, tetapi semakin besar harapan itu bergumul dalam pikiran dan perasaannya, semakin besarlah kesadarannya tentang kenyataan ini. Di antara rentangan sikap semacam itulah ia tergantung dan saling tarik-menarik. Ketika ia sampai pada ujung rentangan menolak, dengan cepat ia meluncur ke rentangan menerima kenyataan tersebut. Sebaliknya belum sempat ia menyadari keadaan dirinya menerima kenyataan itu dengan hati jernih, ia meluncur pula ke rentangan yang menolak.
Entah berapa kali Jim bolak-balik di antara satu rumah ke rumah lain yang sekaligus menyaksikan orang-orang sudah menjadi batu tanpa mengerti mengapa ia bertindak demikian. Seolah-olah bagian-bagian tubuhnya bekerja sendiri-sendiri. Ketika kakinya melangkah sesungguhnya tangannya hanya ingin berdiam, bahkan kadang-kadang terasa kalau kaki kanan ingin ke depan, kaki kirinya ingin ke belakang atau ke samping kanan maupun ke samping kiri, sementara otaknya melayang entah ke mana. Walhasil ia harus mengeluarkan tenaga sedemikian banyaknya dengan sia-sia. Ia merasa amat letih, tetapi ia tidak dapat mengenal keletihan itu sehingga tidak mampu pula diatasinya. Ia seperti orang sasau --di antara gila dengan waras.
Ia kemudian terhenyak di anak tangga rumah Niru tanpa dapat membagi perasaan. Dengan sedikit sisa kesadaran sebagai orang waras, selanjutnya ia memekik keras berkali-kali. Entah apa yang dipekiknya, ia tak tahu. Pekikan itu pulalah yang seolah-olah mengantarkan kakinya melangkah ke warung telepon dan kembali menelepon aku.
“Tapi aku bertambah kecewa, bertambah kecewa karena kau menyuruh aku pulang; seolah-olah tidak ada kejadian apa-apa di sini. Seharusnya, kita berbuat sesuatu menghadapi kenyataan ini. Bukan bermaksud menjemputku pulang. Di mana letak dirimu sebagai manusia?”
Aku diam.
“Kemanusiaanmu sudah tak berguna. Kau sudah mati. Kau sedikit pun tidak memiliki perasaan,” Jim marah besar. Suaranya lantang berkumandang, terasa seperti jarum menusuk telingaku.
“Kau bangsat, taik kucing!” Jim menghempaskan gagang telepon.
Tanpa merasa tersinggung sedikit pun, aku juga meletakkan gagang telepon. Meraih kursi dan pelan-pelan meletakkan tongkeng di kursi, kemudian menyandarkan tubuhku ke sandarannya sehingga aku benar-benar rebah. Memandang ke langit-langit, aku berkata pelan, “Kalau saja Jim tahu bahwa nanti malam, giliranku, keluargaku, dan para tetangga yang menjadi batu seperti sudah dialami sekian banyak warga sebelumnya. Kalau saja Jim tahu, semuanya ini sudah direncanakan secara detil sejak dua tahun lalu sehingga aku mengetahui apa-apa saja yang dialaminya di desa Niru walaupun ia tidak menelepon.”
Sungguh, hanya dengan menjadi batu saja kami dapat bertahan.***
(Dimuat dalam Horison, September 1997)

