Oleh Jefri Al Malay
Setelah merasa tidak memiliki apa-apa selain kata-kata, akhirnya
kuputuskan saja menulis surat ini padamu, Alifya. Hanya ini yang kubisa.
Sedikit banyak, ianya mampu mengobati kerinduan yang tertancap di hati.
Serupa pancang yang terpacak menjulang bertahun-tahun di tepian jambat,
hanya berteman gelombang pasang surut, arus, terpaan angin, juga kebat
tali sampan atau pompong yang melingkarinya. Sesekali singgah juga
burung raja udang sekedar menjengah mangsanya kemudian terbang lagi,
senyap lagi. Aku risau Alifya, takut kalau-kalau kerinduan itu menjadi
usang, lapuk dan rapuh disebabkan terlalu lama meniti waktu yang tak
pasti.
Tapi kau tahu, kenangan yang tak bisa kuungkai dalam pikiran ini
kadangkala menjelma impian, seringkali membuat aku menginginkan segala
hal yang paling mungkin kulakukan bersamamu meski kutahu itu bisa saja
hanya menjadi sesuatu yang disebut mustahil.
Begitulah, akhirnya yang lebih berharga di sini, di keterasingan ini,
kesepian ini, hanya kata-kata. Barangkali juga ianya tidak mampu
merubah apa-apa, selain hanya serak dan remah yang kian lama tertimbun
membusuk. Tapi sudah mutlak benarkah bahwa kata-kata tidak ada gunanya
dan hanya sia-sia disebabkan terlalu banyak orang yang cuma bisa
berkata-kata? Kemudian siapakah yang sudi mendengarkan dan
mempercayainya? Siapakah yang peduli?
Entahlah. Setahuku, di dunia yang pernah kita ciptakan berdua dari
untaian sajak-sajak cinta, dari kejujuran yang bersemayam di ceruk jiwa
terdalam, roh kasih mencuat ke permukaan menjelma bahasa-bahasa kalbu,
aku masih yakin, setidak-tidaknya engkau masih setia mendengarkan
kata-kata serta mampu mengucapkannya sekaligus memahami maknanya.
Bukankah itu lebih penting ketimbang terlalu banyak yang berkata-kata
tanpa peduli dengan apa yang diucapkannya. Dan kau juga pernah berkata
terlalu banyak kepedulian yang hanya sebatas ucapan ketimbang dilakukan.
Aku setuju itu, mungkin ini jugalah alasan salah satunya kenapa
kutuliskan surat ini untukmu, Alifya. Karena hanya engkau yang mungkin
bisa percaya.
Akan kulanjutkan isi surat ini dengan menyebutkan kepadamu bahwa aku
telah pun menemukan tujuan dari perjalananku selama ini. Perjalanan
yang mengakibatkan cinta kita harus kandas sebatas cerita-cerita asmara
di bawah batang getah, di dalam kebun ubi, atau di celah-celah kayu
bakau di pantai. Tapi seperti yang telah kukatakan padamu perpisahan
hanya butuh waktu untuk mengobatinya, percayalah.
Tetapi kalau sekiranya diperkenankan aku kembali bisa mengulang
waktu, maka aku memilih menanti daripada pergi dengan memikul beban
cinta dan setia. Apalagi kepergian yang tidak ada kepastian kapan bisa
pulang membangun keping-keping rindu untuk utuh kembali menjadi cinta
yang berujung kepada dermaga kebahagiaan. Dalam perjalan inilah kusadari
satu hal. Dengan janji yang terlanjur terucap, aku telah mempertaruhkan
“kebebasanku” sebagai seorang lelaki lajang untuk menutup rapat-rapat
bilik asmara yang sejatinya pasti dimiliki oleh setiap manusia.
Adakalanya hal tersebut mengganggu keseimbanganku, Alifya.
Tapi kau harus percaya. Itu tidak lagi menjadi persoalan. Lagi-lagi
kukatakan hanya butuh waktu untuk membiasakannya. Jika kita ikhlas dan
sabar menjalani hidup dan persoalan yang ada, tanpa disadari sebenarnya
waktulah yang mampu mengobati segalanya.
Baiklah, akan kuceritakan bagaimana akhirnya aku mampu memutuskan
untuk pergi ke suatu tempat, suatu tujuan yang jelas meskipun
kedengarannya mustahil tapi tekadku telah bulat. Barangkali saja inilah
tujuan terakhirku hingga sesudahnya bisa kutemui dirimu, dengan kesiapan
yang mantap untuk bisa menerima apapun yang berlaku atas dirimu dan
cinta yang sekian lama kutitipkan. Setidaknya kita bisa bertemu, bukan?
Sore itu aku duduk santai di sebuah jambat reot yang terdapat tidak
jauh dari tempatku bekerja. Jambat yang senantiasa setia menerima
keberadaanku untuk menumpahkan segala kisah dalam kesendirian ini. Di
situlah aku mengungkai segala kenangan sambil menggoreskan bahasa
kerinduan. Di jambat yang batang sungainya bermuara entah sampai di
mana, yang airnya keruh, kuning kecoklatan, budak-budak yang menceburkan
tubuh ke dalamnya, membasuh hari-hari mereka menjadi gelak dan tawa.
Kadang aku larut bersamanya, seolah-olah ikut dalam ritual alam
tersebut. Tentu saja aku juga menyaksikan orang-orang mendayung sampan,
menumpangi harapan dari wajah-wajah mereka yang lelah. Tetapi air sungai
itu, meski keruh dan berlinyang tetap saja sejuk sekaligus memberiku
harapan ketika kususupkan kaki ke dalamnya.
Kemudian tiba-tiba saja aku melihat seseorang. Lelaki paruh baya yang
setiap hari menghalakan sampannya ke arah timur, ke arah matahari
terbit. Ya, setiap hari pula ia melambaikan tangannya kepadaku seraya
menunjukan satu arah dengan memberikan isyarat dari telunjuknya itu.
Selama ini memang tidak pernah kugubris tetapi hari itu saat dimana
gerimis jatuh dari langit aku membalas lambaianya. Entah kenapa itu
kulakukan, yang jelas lelaki itu kemudian mendayungkan sampannya ke
arahku. Air sungai ketika itu naik pasang, sehingga dengan mudah ia
merapatkan sampannya. Setelah bersalaman ia langsung mengambil tempat
duduk disebelahku.
“Setiap hari aku melihat engkau duduk di sini, Nak?” ia memulai bicara.
“Mhhm…” anggukku singkat.
“Kerja di mana, Nak?” ia bertanya dengan ramah.
“Di pelabuhan itu, Pak…” sambil mengarahkan telunjukku ke pelabuhan
satu-satunya yang memunggah penumpang di kota ini. “Sebagai cleaning
service,” tambahku pula.
Ia hanya mengangguk beberapa kali. Kemudian dengan nada yang agak
berat ia melanjutkan. “Di kota mencari kerja tidak mudah, apalagi bagi
orang-orang yang tidak memiliki saudara atau kenalan yang mempunyai
pengaruh atau jabatan. Skill dan ijazah saja tidak menjamin untuk
mendapatkan pekerjaan yang layak. Tetapi pasti engkau juga mengetahuinya
Nak, setiap hari selalu saja ramai orang datang ke kota walau hanya
dengan modal nekat, mereka datang untuk memburu sesuatu, entah itu
impian, cita-cita atau apa sajalah yang ada dalam pikiran mereka. Dan
kita tentu memakluminya itu sebagai perjuangan.” Lalu ia tertawa kecil.
“Itulah hidup, harus diperjuangkan Nak…”
Gerimis masih berjatuhan menciptakan riak kecil di air sungai serupa
jarum-jarum halus yang turun dari langit. Alifya kekasihku, akhirnya
seperti yang telah kuduga sebelumnya, ia menceritakan banyak hal
kepadaku. Meski menurutku tidak ada satupun yang menarik, tetap saja
aku menjadi pendengar yang setia. Ia terus sibuk bercerita dan tak
menghiraukan sekeliling, hingga sampailah akhirnya ia menceritakan
sebuah pulau yang terbungkus kabut asap. Pulau itu sudah ada sejak
dahulu kala, katanya. Meski tak terdeteksi abad ke berapa ianya mulai
dihuni namun tak pernah terjamah oleh manusia kebanyakan kecuali
orang-orang pilihan.
“Pulau yang terbungkus kabut asap?” aku memotong ceritanya. “Bagaimana bisa?”
“Apa yang tidak bisa di alam yang luas terbentang ini, Nak? Khayalan
yang ada dalam pikiranmu bisa saja menjadi kenyataan di lain tempat atau
di lain waktu, siapa yang tahu? Pernahkah suatu saat kau ingin
melarikan diri dari berbagai persoalan yang dihadapi. Lari ke suatu
tempat, di dalamnya terdapat kehidupan serupa taman. Dengan bunga yang
dipinang cinta dan kejujuran, bangku-bangku, meja dan pot bunga serta
pohon-pohon rindang yang ditata dalam kesetaraan. Orang-orang saling
berbincang dalam kesopanan, berkata sambil menghayati kata-katanya,
peduli dan segera melakukan apa yang diucapkan, kemudian ada banyak
waktu untuk meresapi wajah mentari dan rembulan di balik tahta kerajaan
alam, pernahkah Nak?”
Aku hanya melongo sambil melihat wajah lelaki itu. Ada energi aneh
yang menarikku sehingga seolah-olah aku masuk ke dalam tatapannya.
Tatapan kebahagian yang mengatasi keduniawian. Samar-samar aku seperti
dapat melihat sebuah pulau yang terbungkus kabut asap. Dari jauh ia
berbentuk seperti gumpalan-gumpalan awan sementara disekelilingnya
adalah samudera maha luas.
Benarkah itu sebuah pulau?
Sayangnya aku tidak dapat melihat lebih banyak lagi Alifya. Lelaki
itu buru-buru berkata dan tiba-tiba saja penglihatanku itu lenyap dalam
sekejap. “Itulah pulau yang disebut sebagai Pulau Asap.”
Tapi kau jangan berpikiran asap yang mengelilingi pulau itu seperti
kabut asap yang ada di tempat kita, Alifya. Ianya bukan asap yang
ditimbulkan dari pembakaran hutan. Bukan kabut asap yang dapat
menyebabkan kita terserang Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), bukan
pula kabut asap yang datang selayaknya musim panas atau musim hujan
yang menjadi ritual tahunan di negeri kita ini, tidak Alifya.
Menurut lelaki itu, asap yang menyelubungi pulau tersebut hanya
serupa gumpalan asap namun tidak memiliki resiko apa-apa bagi yang
menghirup udara di sana. Bahkan konon asap tersebut menjadi perisai agar
sesuatu yang buruk, baik itu manusia dan niatnya maupun hal-hal yang
tidak baik tidak bisa dan tak akan pernah sampai ke sana.
“Ini aneh, jika pulau itu memang ada, bagaimana mungkin tidak banyak
orang tahu tentang pulau asap itu?” tanyaku penuh curiga, jangan-jangan
lelaki paruh baya ini hanya bersenda-gurau atau malah mau
mempermainkanku.
Ia diam sejenak, menatapku dan sepertinya ingin meluruskan
keraguanku. “Hanya orang-orang pilihan yang bakal tahu sebab aku tahu
dengan siapa saja boleh kuberitakan hal itu, dan aku adalah juru kunci
menuju pulau asap, akulah yang mengangkut para penumpang yang
benar-benar siap berangkat menuju ke sana, tentunya dengan beberapa
syarat, bijak dan jujur, ingat itu!” ia segera turun ke sampan dan
meraih dayung, memutar haluan lalu berkayuh.
Aku ditinggalkannya dengan sejuta tanya di kepala, tapi kemudian
kudengar ia berseru, “Kalau Anak hendak ke sana, siap-siaplah jam dua
belas malam ini, aku jemput engkau di jambatmu itu,” lalu ia menolehku
sambil tersenyum penuh misteri. Kemudian ia melaju dalam kayuhnya,
menghilang ditelan rintik gerimis yang belum jua berhenti.
Alifya, seperti kataku tadi, tekadku telah bulat. Aku akan berkemas
dan segera berangkat menuju ke Pulau Asap. Sebuah pulau di mana
kata-kata tidak hanya jadi slogan, tidak hanya sebatas semboyan dan
janji-janji belaka. Di mana kata-kata diucapkan untuk segera dilakukan,
tidak terbiar begitu saja menjadi baliho-baliho usang, spanduk-spanduk
lapuk dan undang-undang yang berkarat seperti di negeri kita ini.
Selamat tinggal Alifya. Ingat selalu padaku. Berilah doa restu. Jika
kelak aku kembali, pasti kuceritakan perihal negeri asap itu dan jika
ada kesempatan mungkin saja aku akan membawamu ke sana. Ke pulau impian
seperti yang pernah kita bayangkan, sebuah negeri yang tidak hanya
dimabukkan dengan sebatas kata-kata belaka.
Pekanbaru, 9 April 2009
Tuan Junjunganmu, Wahidin
Tuan Junjunganmu, Wahidin
***
Jefri al Malay, Lahir Sungai Pakning. Ia menulis puisi dan cerpen dan kini tercatat sebagai mahasiswa Universitas Lancang Kuning Jurusan Sastra Melayu serta tercatat sebagai guru di SMA Negeri 2 Bengkalis.

