Oleh Jefri Al Malay
Lelakiku yang terlahir dari simbah
keringat yang kukenal seperti apa baunya, dari lendir yang serupa dan
darah yang sama asinnya kini kepalanya bagaikan terpenggal, dijadikan
tumbal tunggal yang mengatasnamakan kemajuan peradaban.
Masihkah pantas aku sembunyikan
perasaan sedih ini sementara berita pembunuhan yang terjadi padamu bukan
lagi jadi rahasia? Telepon yang masih kugenggam menyisakan erangan
tepat jelang ajal menjemputmu. Aku mulai berpikir, sampai bilakah
pembantaian terhadap manusia dan kemanusiaan harus dikubur dalam-dalam?
Sementara di depan mata
begitu berserak kesewenangan itu. Ah... tragedi orang-orang biasa
seperti lelakiku, tak selamanya dapat direkayasa untuk dilupakan. Inilah
kisahnya!
Sebagai seorang lelaki yang begitu
kudamba keberaniannya, maka tak salah akhirnya kunamai kau sebagai
Jelaga. Begitu angkuhnya perawakanmu, betapa sepinya duniamu ternyata
setelah mengenalmu lebih jauh tak sedemikian pula halnya. Kekar tubuhmu
ditatap dengan mata telanjang ini, membangkitkan gairah untuk menyelami
seluk beluk tubuhmu yang menyamudera makna. Tatapanmu mengejewantahkan
warta tentang kerinduan dan tertukik di sana sebuah harapan tentang hari
depan. Ucapmu bagai ramalan yang dapat menyejuk bagi sesiapa yang
mendengarkan. Kau sempurna untuk seorang lelaki idaman. Kau masa lalu
sekaligus masa depan. Berjalanlah waktu tapi selalu aku memilih untuk
tetap diam dalam pelukanmu. Dari sekian banyak pilihan yang menebar di
muka bumi maka kau telah kupilih untuk dijadikan sandingan hati. Kaulah
Jelaga, lelaki dengan recup-recup energi tak berkesudahan.
Tapi kau akan mati dicincang di depan
keramaian dan hiruk pikuk kota metropolitan. Kabar itulah yang kudengar
dari sepenggal pesan yang sampai di pangkuan sedang aku masih perempuan
yang menyimpan perawan.
Malam itu kamarku tak lagi mewangi tapi
aroma kematian tiba-tiba menjalari setiap inci ruangan. Aku dengan sisa
kerinduan tak dapat membayangkan wajah pembunuh yang setega itu
merubuhkan pilar-pilar ingatan tentang lelakiku. Atau penguasa seperti
apakah kiranya yang rela membiarkan kau tercincang jadi keping-keping
tubuh lusuh. Berkecai dipijak-pijak keangkuhan serupa bara ingatan yang
luncas seketika tatkala disiram hujan kepongahan.
Awalnya aku masih curiga, jangan-jangan
berita kematianmu itu hanya untuk segelintir orang yang tak memahami
apa itu investasi, komersialisasi, elitisasi lahan kota. Tapi tidak!
Engkau benar-benar akan dibunuh. Bukan hanya desas-desus tapi pesan yang
masuk ke telepon genggamku itu berkali-kali menyatakan kebenarannya.
Salah apa dirimu Jelaga? Sungguh
berkali-kali aku masih coba meyakinkan diri bahwa ini bukanlah realita.
Bahwa kau tak mungkin dibunuh setelah berpuluh tahun turut memberi warna
dan haruman, mulai dari ceruk kampung hingga memacak tugu sejarah di
tengah-tengah kota. Memang kerjamu belum tuntas Jelaga, semua orang tahu
itu. Pekerjaanmu tak mudah dengan hanya merancang-rancang belaka tapi
harus dibuktikan dengan tindakan, itulah tekadmu.
Lalu, apakah karena pekerjaan tak
selesai itu lantas kau disingkirkan begitu saja? Dipelanyak dalam riuh
rendahnya bandar? Tentu saja aku tak menerimanya sekaligus tak bisa
berbuat apa-apa karena aku wanita, ya aku rakyat biasa serupa denganmu.
Hanya bisa menampung isak tangis sambil menghidupkan irama langgam dalam
nada-nada yang meluluhlantakkan jiwa.
Ada desah napas yang tak putus setelah
nyawamu meregang. Tubuhmu telah telanjang. Bibirmu katanya masih
mengguratkan senyum segar walau kau mati menggenaskan. Mungkin itulah
pesan! Pembunuhan tak selamanya menewaskan dan hati-hatilah
tangan-tangan kekuasaan, pembunuhan selalu berbuntut amukan dan
kehancuran.
Aku tiba-tiba tersentak. Mengingat
gambaran peristiwa demi peristiwa yang sempat kita lewati di detik
jelang berpisah. Aku yang dulu adalah pribadi kaku, tapi tidak setelah
kedekatan kita. Engkau memang Jelaga, seorang lelaki yang kemudian hari
dikenal banyak orang sebagai sosok yang bisa berubah rupa. Kadang
seorang laksamana atau kadang pula kau jelma tuan putri berselendang
kain sutera. Bagiku itupun tak jadi masalah tersebab kukenal engkau
walau terlambat dan kurekatkan kuat-kuat di hati ini sebagai Jelaga.
Lelaki yang tak tergantikan.
Aku tersentak berkali-kali. Entah
kenapa seiring berita kematianmu yang begitu dekat, serapat itu pula
kurasa kenangan bersamamu. Tapi kenangan itu rasanya telah kau bungkus
pepat dalam sebuah bungkusan kusam. Sepertinya kau memang telah
bersiap-siap sebelum buku hantam pembunuhan itu membubuhkan tikam ke
liang perutmu. ‘’Ai... Jelaga...entah bagaimanakah tragisnya
kematianmu?’’ desahku makin menipis di pecahan bibir yang mengering ini.
Pesan singkat itu masuk lagi ke layar
telepon genggamku. Katanya air mata sedemikian tumpah ruah melaman
ketika semua orang yang mengenalmu menghabiskan sisa waktu bersamamu.
Aku yang sudah terlanjur jauh darimu hanya menggelinjang sendiri di
bilik kamar. Mengikis sisa kecup yang masih melekat di tubuhku.
Bukan aku tak berusaha menghubungimu
tapi tiap kulakukan panggilan melalui telepon jarak jauh, ya malam itu.
Justru aku hanya dengar gumammu Jelaga. Gumam yang tak jelas. Kadang
bunyinya serupa air terjun jatuh ke jurang maha dalam dengan desis yang
kian menderas, hanya rasa sayup bila terus mendengarkan. Di menit
berikutnya tatkala kuulangi panggilan, terdengar pula suara lolong dan
pekik dari sisa reruntuhan peradaban, suara kau kah itu Jelaga?
Menangiskah engkau sebelum meregang nyawa?
Tapi yang kutahu, engkau adalah
keberanian yang mutlak. Bersandar di sanalah cintaku padamu Jelaga. Kau
selalu diibaratkan sebuah gedung tua yang berdiri tetap menyisakan
megah, bukan karena bentuk dan ukiran yang ada tapi kenangan dan sejarah
yang kau papah tak dapat dinilai dengan harga. Seharusnya tak dapat
ditawar-tawar hanya dengan janji-janji para penguasa. Sudah berapa
banyak anak yang terlahir dari keringatmu menahan gelora di kelengkang
waktu? Sudah berapa tujah terang yang memancut dari silau cahaya, tempat
kau memulai menetaskan percik api? Siapa yang bisa menjawabnya atau
bergunakah jika ditanyakan pada mereka yang selama ini sengaja
memejamkan mata?
Lalu air mata yang mengayau di malam
terakhir itu, kan bermuara di mana Jelaga? Beri aku penjelasannya! Aku
di kejauhan ini akhirnya hanya bisa bersak wasangka bahwa barangkali
saja kebersamaanmu di detik-detik terakhir itu hanyalah bersama
sekawanan perempuan seperti diriku yang tetap tak dapat berbuat apa-apa.
Ah... aku jadi makin cemburu memikirkannya. Pastilah ketika itu adalah
ritual perpisahan dengan segenap kemesraan kemudian diselingi
pelukan-pelukan, sedu-sedan dan jabat tangan serta diakhiri pidato
kerelaan. Demikianlah yang bisa dilakukan bila berhadapan dengan
kekuasaan. Apalagi sosokmu yang memang selama ini hanya menumpang di
lahan orang. Bila tiba masanya tuan tanah meminta, tak ada yang bisa
dilakukan selain menyerahkannya. Tapi yang kukesalkan, tak semestinya
diakhiri dengan tragedi pembunuhan.
Entahlah... dalam pikiranku yang sempit
ini, rasanya semua akan jadi mudah jika hendak duduk membicarakannya.
Mencari mana yang terbaik dan mana yang patut. Tapi barangkali beginilah
cara kerja yang namanya kekuasaan. Bila semua telah diputuskan tak ada
lagi yang perlu dibicarakan. Harus menurut bila tak mau dicap
pembangkang yang akhirnya harus disingkirkan layaknya seperti dirimu
Jelaga. Atau mungkin saja terlalu banyak yang kau sangkal selama ini
sehingga hidupmu harus diakhiri dengan cara yang telah mereka tentukan.
Ya... kekuasaan tetaplah kekuasaan. Dengan sayap keangkuhannya yang
merasa bisa melakukan apa saja di dunia ini. Mungkin ada benarnya juga
bahwa adakalanya kekuasaan jadi sosok yang sangat menakutkan.
Baiklah...aku yang berada di ejaan
paling terakhir di daftar namamu, akan mengisahkan kepergianmu Jelaga.
Aku tahu pula, di sana meski kau bersimbah darah suci tetapi kau tentu
saja tak kesepian. Anak-anakmu ya... mungkin juga anak-anakku (hasil
buah cinta kita) tak membiarkan kau terkapar dalam kematian yang
menyesatkan. Itu yang paling penting!
‘’Jangan bunuh anak saya...’’
‘’Jangan bunuh anak saya...’’
Pekikan itulah yang kudengar dari
telepon genggam saat kulakukan panggilan kembali. Mungkin saja itu
suaramu, parau dan lengkingnya tak ubah serupa sekali dengan suaramu
dulu ketika kau marah-marah padaku. Dan setelah itu yang terdengar
adalah suara berdebam. Suara kejatuhan. Meski samar-samar terdengar tapi
demikianlah kepergianmu tak hanya dihantar dengan doa-doa tapi juga
rangkaian nada, selentik tarian dan bahasa tubuh serta azimat-azimat
turut pula menggenangi tanah kelahiranmu.
‘’Inilah kelak sejarah kematian yang demikian berdengung,’’ suara orang-orang saling berbisik sesamanya.
‘’Bukan! Ini kematian yang paling fenomenal. Kematian yang dikelilingi para kekasih hati,’’ sambung yang lainnya.
‘’Ini kematian yang paling sempurna keindahannya. Lihat! Berapa luas tanah yang akan menjadi kuburannya’’.
‘’Tidak! Kalian semua silap. Ini
kematian yang disertai penghinaan. Memanipulasi pembangunan dan kemajuan
dengan harus menebus segalanya meski nyawa sekalipun.’’
Semua omongan akhirnya terdengar jelas
di speaker telepon genggamku. Aku seperti mendengar siaran radio.
Sesekali mengelap hidungku yang mulai tersumbat karena menahan sebak di
dada. Sebagai wanita, aku menangis tentu saja, Jelaga. Lalu di ujung
pertemuan jarak jauh itu aku seperti memasuki sebuah dimensi yang
menggambarkan peristiwa pembunuhanmu yang sesungguhnya. Engkau yang
telah terbaring di atas ranjang kayu berukiran selembayung, seulas
senyum yang begitu pasrah melekat di bibirmu. Lalu tikaman yang
menghujah ke seluruh bagian tubuhmu kau sambut dengan senyuman yang
sangat singkat.
‘’Tak usah bersedih sayang... aku telah
mengalami kematian berkali-kali. Tikaman yang bertubi ini tak
menghalangi aku untuk berenkernasi dalam wujud yang lain di masa yang
lain pula,’’ ucapmu seolah-olah ditujukan padaku. Ya... dalam situasi
serba tak mungkin itu kau menatapku. Lalu beberapa detik senyap dan
setelah itu sebelah tanganmu terjuntai jatuh ke lantai menandakan semua
telah tamat.
Aku yang terpaku tak lupa pula memotret
momen terakhir itu. Memotret kepercayaan pada hidup yang telah
dikalahkan. Memotret keadaan sesungguhnya bahwa besok tak ada lagi
lelaki yang tersimpan sempurna di kepalaku yang bernama Jelaga. Aku
tiba-tiba merasa menjelma seorang pengembara yang tak tau lagi di mana
alamat untuk pulang, menyandarkan lelah dan sisa energi petualangan. Aku
juga menyerupai budak-budak yang dahulu pernah mengaji di sebuah surau
namun pada hari berikutnya tak menemukan bekas tempat biasa mengulang
kaji. Haruskah aku berputus asa?
Dengar sayang...ini aku Jelaga. Jika
kau terbangun dari tidur dan merasa sia-sia disebabkan hari itu kau
menyadari adalah akhir dari hidupmu jelang esoknya sementara kau belum
berbuat apa-apa dalam hidup ini, maka di sisa waktunya mulailah berbuat
sesuatu yang berarti.
Suara terakhir dari panggilan terakhir
pula untukmu, aku menangkap pesan itu. Sunyi. Malam dengan dengung
kematian yang tersisa menggumpalkan kenang pada sesuatu yang telah
tiada. Lalu aku mengambil celenganku yang berbentuk topeng mak yong.
Kupecahkan seraya menghitung jumlah uang yang terkumpul. Besok aku harus
berangkat ke kotamu. Aku yakin mayatmu takkan sempat mereka urus untuk
dikebumikan. Aku maklum sekali di kotamu dengan hidup yang serba
tergesa-gesa tak punya waktu untuk hal-hal demikian. Tak lupa kubawa
batu nisan dengan namamu beserta alamat kematian dengan
selengkap-lengkapnya. Supaya tak ada yang bisa disembunyikan dari siapa
saja bahwa kau pernah ada di sana. Di antara kepongahan orang-orang yang
memaknai peradaban.
Kau lahir dan mati di sana, ya akan
kuukir alamatmu itu dengan ukiran kaligrafi yang paling indah. ‘’Jelaga
(kekasih hati) lahir dan mati di Komplek Bandar Seni Raja Ali Haji. Jl
Jend Sudirman Pekanbaru-Riau’’.
Handphone yang masih tergenggam ini
yang masih menyisakan kisah berdarahmu akhirnya kusimpan di dalam lemari
bersama setumpuk surat cintamu dulu. Biarkan kau tetap tertumpuk rapi
meski hanya dalam sejarah. Aku takkan mengucap salam perpisahan sebab
aku percaya perkataanmu bahwa tikaman bertubi tak membuat kau mengalami
kematian sebab kematian adalah kebiasaan bagimu. Ya..kau telah mengalami
kematian berkali-kali tapi hidup lagi dalam wujud yang lain dan waktu
yang lain.***
Pulau Rindu, 07-14 Febuari 2012
Jefri al Malay, Lahir Sungai Pakning. Ia menulis puisi dan cerpen dan kini tercatat sebagai mahasiswa Universitas Lancang Kuning Jurusan Sastra Melayu serta tercatat sebagai guru di SMA Negeri 2 Bengkalis.

