Oleh Jefri Al MalayBeginilah kenangan. Muncul dalam
kesederhanaannya. Bisa saja lewat sepatah kata, cuplikan peristiwa,
suasana hati, ataupun sepotong lagu.
Seperti biasa, pagi ini aku kembali harus menjalani rutinitas sehari-hari sebagai seorang yang bekerja di sebuah lembaga yang menanggulangi AIDS. Bagiku kerja adalah sebuah tuntutan hidup yang mau tidak mau mesti dilakukan. Bukan hanya persoalan uang atau pendapatan yang didapat setiap bulan tetapi bagaimana aku mempertanggung jawabkan hidupku selama masih menyandang gelar sebagai manusia yang bernafas, memiliki kebutuhan, kewajiban dan tuntutan hidup lainnya.
Seperti biasa, pagi ini aku kembali harus menjalani rutinitas sehari-hari sebagai seorang yang bekerja di sebuah lembaga yang menanggulangi AIDS. Bagiku kerja adalah sebuah tuntutan hidup yang mau tidak mau mesti dilakukan. Bukan hanya persoalan uang atau pendapatan yang didapat setiap bulan tetapi bagaimana aku mempertanggung jawabkan hidupku selama masih menyandang gelar sebagai manusia yang bernafas, memiliki kebutuhan, kewajiban dan tuntutan hidup lainnya.
Pekerjaanku hanya berkutat di depan layar komputer, memasukkan data orang-orang yang terjangkiti virus HIV terutama di Kabupaten Bengkalis atau orang yang sudah meninggal diakibatkan penyakit yang berbahaya tersebut. Data itulah kemudian dijadikan laporan per bulannya untuk dikirimkan ke pusat. Betapa mudahnya sehingga terkadang aku menjalani pekerjaanku tersebut dengan sangat santai.
Berbeda halnya dengan istriku. Ia seorang yang super sibuk. Di samping sebagai Pegawai Negeri Sipil di kantor camat, ia juga mengurusi berbagai organisasi kewanitaan, entah apalah namanya aku tak dapat menyebut satu pun saking banyaknya. Pagi-pagi sekali, setelah mengantar anak kami ke sekolah ia pun langsung menuju ke kantornya yang sebenarnya tidak berjauhan dengan tempat kediaman kami di kelurahan Sungai Pakning ini. Sedangkan kantorku berada di kabupaten kota yakni Bengkalis. Aku harus menyeberang dengan menggunakan feri untuk sampai ke tempat kerja. Setidaknya butuh waktu sekitar satu jam untuk penyebrangan tersebut, mulai dari proses memuat penumpang hingga sampailah menurunkannya. Untung saja tidak ada aturan yang ketat di kantorku itu terutama mengenai jam masuk dan jam pulang sehingga aku bisa agak berlengah-lengah dalam hal yang satu ini.
Demikianlah, di pagi yang cerah, aku pun berada di dalam feri. Di antara rutinitas yang kujalani setiap hari, pada bagian inilah menjadi bagian yang amat menyenangkan. Waktu satu jam untuk sampai ke pulau seberang menjadi ajang petualangan pikiran bagiku. Selalu saja kubiarkan pikiranku menerawang ke masa-masa yang pernah aku singahi.
Memang kuakui kenangan adalah hal yang sering kali membuat hidupku bergairah. Dengan begitu bukan berarti aku tidak memikirkan masa depan atau jangan pula dinilai aku tidak berhasil hari ini sehingga menyenangi masa lalu. Tidak, tidak demikian halnya. Ketika kususuri setiap inci kenangan, seringkali kutemui ruang-ruang yang terkadang begitu penting tetapi justru aku abaikan begitu saja. Atau terkadang aku menemukan hal-hal yang kulakukan dulunya tidak berharga tetapi hari ini ianya menjadi begitu besar efeknya dalam hidupku. Banyak lagi ragam peristiwa yang muncul begitu saja tatkala kubuka kembali lembar kenangan, yang jelas inilah eksistensiku atas semua yang telah kulakukan semasa hidupku sampailah dengan saat ini. Kemudian pada ujung dari petualangan pikiran tersebut selalu saja muncul pertanyaan, apa saja yang telah kulakukan? Apa saja keinginan yang belum tercapai? Berapa banyak waktu yang telah aku pergunakan dengan benar atau malah sudah berapa banyak waktu yang kusia-siakan?
Kini pikiranku melayang tanpa dapat kucegah setelah melihat bentangan laut yang tidak begitu luas. Aku sangat suka dengan laut. Ombak yang menari-nari, angin sepoi, burung-burung beterbangan yang tak henti berkicau, sampan nelayan yang ditimang-timang gelombang, suara gemericik air laut, kayu-kayu bakau dengan akar yang bersigau, pantai dan sesai. Kesemua itu memberikan inspirasi bagiku. Selalu saja setelah kunikmati laut dan seisinya, aku seperti telah memuntahkan segala perasaan dan pikiran yang membebani.
Dan kenangan itu datangnya menyerupai cuplikan-cuplikan di dalam film. Kubiarkan saja pikiranku berkuasa atas pilihannya. Secara tiba-tiba ada instrumen yang tertangkap oleh indera pendengaranku. Musik itu! ya, musik itu menjadi pemicunya. Aku mempercepat langkah untuk masuk ke dalam, ke tempat duduk penumpang yang telah disediakan.
Agak nyaman di sini. Selain terpasang AC, juga disediakan layar televisi yang sedang memutar lagu-lagu dengan menggunakan VCD. Aku memilih tempat duduk yang berada di pinggir, tepatnya sebelah bagian kanan feri yang tentu ada jendelanya. Sembari menikmati suguhan musik yang sedang diputar dapat pula aku tetap menikmati suasana di luar. Lalu musik disco remix yang sedang berdentum-dentam keluar dari speaker di dalam feri itu secara spontan mengingatkan aku pada seseorang. Kepada sahabatku yang sangat akrab sekali. Sebut saja namanya Megat karena begitulah sapaan yang kerap kami gunakan untuk menunjukan identitas dirinya yang sangat menganggumi cerita sejarah dari alam Melayu yaitu Megat Sri Rama. Seorang Laksemana yang berani tampil ke depan merebut keadilan atas perlakuan Sultan yang semena-mena terhadap rakyat jelata. Kononya Sultan telah membunuh istri Megat Sri Rama hanya dikarenakan istrinya memakan seulas nangka milik sang sultan. Bagi kawanku itu Megat Sri Rama adalah tokoh pembaruan dalam sejarah Melayu.
Megat temanku itu adalah seorang aktivis kebudayaan. Ia anti kemapanan. Di dalam pikirannya selalu saja meluncur pikiran-pikiran baru yang menentang kebijakan yang telah ada. Apa yang dipikirkannya itu kemudian dituangkan ke dalam tulisan. Dia adalah kakak tingkat di tempatku kuliah. Aku mengenalnya ketika dalam sebuah forum peluncuran buku yang ditaja oleh kampusku. Megat salah seorang pembicaranya. aku cukup terpukau dengan caranya berbicara dan menyampaikan pikiran-pikirannya yang cukup cemerlang di dalam forum tersebut. Setelah acara selesai, kuhampiri dia. Kami pun memulai perkenalan itu dengan saling menyebut asal nama kampung yang ternyata sama. Hanya saja ia sejak dari umur enam tahun sudah hijrah ke Pekanbaru mengikuti orang tuanya. Begitulah mulanya, mungkin dikarenakan banyak kesamaan sehingga akhirnya kami pun begitu akrab.
Persahabatan kami kekal hingga sekarang. Mulai dari masih sesama bujang sampailah aku sudah beranak satu dan dia beranak dua. Walaupun sudah jarang sekali bertemu disebabkan ia menetap di Pekanbaru sedang aku harus pulang ke kampung tetapi kami masih sering kontak melalui via SMS atau handphone.
Musik disco remix itu masih mengutak-atik segala kenangan terhadap Megat. Sebenarnya bukan dikarenakan Megat menyenangi musik itu, begitu juga denganku yang juga tidak suka jika ada orang yang mengatakan aku tagih mendengar musik tersebut. tetapi di balik semuanya, ada persitiwa atau momen dalam kebersamaan kami di mana ternyata kami juga butuh musik-musik seperi itu. “Musik kebebasan untuk satu malam” kata Megat suatu ketika dulu.
Tapi sebentar. Lihatlah disekelilingku. Musik yang berdentum-dentam ini ternyata sedang dinikmati orang-orang di sekitarku. Wajah mereka yang ceria, goyangan kecil kaki yang mengikuti rentak irama, tangan yang mengempang di jok kursi dengan jari-jemari yang mengikuti tempo, ibu yang sedang menggendong anaknya dan membiarkan tubuhnya bergoyang perlahan mengikuti gerak penari di layar televisi. Sungguh musik, apa pun jenisnya tanpa disadari mampu memicu orang untuk berekspresi. Apakah mereka juga seperti aku yang kini sedang mengingat sesuatu?
Dengan suasana seperti ini, ingatanku kepada Megat semakin jelas. Suatu hari aku mendapat telepon darinya. Ia menyebutkan dengan suara agak berat bahwa ia sudah bercerai dengan istrinya. Aku tertegun sejenak tak dapat mencari kata-kata yang tepat untuk merespon pernyataannya itu. Agak lama kami tak bersuara. Kemudian ia pun melanjutkan perkataannya “Menikah itu tidak semudah yang dibayangkan. Ada banyak hal yang harus dipersiapkan. Bukan hanya semata-mata perasaan cinta tetapi lebih dari pada itu adalah menjaga kesepakatan yang tak tampak sebelumnya di antara sepasang kekasih setelah mereka resmi menjadi suami istri.” Percakapan lewat handphone tersebut tidak belangsung lama. Bukan karena aku tidak begitu tanggap terhadap masalah yang sedang dihadapi Megat tetapi memang ia sendiri yang memutuskan percakapan itu dengan alasan yang tak jelas. Tetapi sebagai sahabat tentu saja aku mengetahui betapa saat itu ia sedang tidak tenang.
Akhirnya, di sela-sela waktu bekerja, kusempatkan untuk berkunjung ke Pekanbaru dalam rangka bertemu dengan seorang sahabat yang kini harus bercerai dengan istri dan juga dengan dua orang anaknya.
Hari sudah hampir gelap ketika aku sampai di Pekanbaru. Kami lalu berjanji ketemu di sebuah kafe di sekitaran jalan Riau. Begitu aku sampai di tempat yang dijanjikan, ternyata Megat sudah lama menunggu. Pertama kali bersua setelah hampir satu tahun tidak bertatap muka, aku hampir tidak percaya melihat Megat. Seseorang yang dulu begitu tegar menghadapi caci-maki dari orang yang tidak menyenangi tulisannya di koran bahkan begitu tenangnya ia menghadapi teror baik dari handphone maupun secara langsung akibat pemikirannya yang selalu mengganggu ketenangan orang lain. Tapi tampangnya yang kusut masai berada di depanku, apakah Megat?
Setelah berpelukan, ia pun berkata seolah-olah mengerti dengan tatapan aneh dariku. “Jangan kau kira penampilanku begini diakibatkan perceraian dengan istriku. Tidak! Itu tidak sedikitpun berpengaruh dalam hidupku tapi anak!” katanya singkat.
Kami pun duduk dan memesan makanan ketika itu. Aku masih menatapnya dengan kerinduan seorang sahabat berbancuh dengan perasaan haru. Setelah menyalakan rokok dan meneguk sisa bir yang ada di dalam kaleng, ia pun kembali berkata.
“Kau tak perlu menunjukan ekspresi terharumu itu, aku tidak butuh. Kau kira aku ini siapa? Aku masih Megat yang dulu. Tapi jika kau bertanya penyebabnya aku akan mejawab bahwa perempuan sekarang sudah tercerabut dari kodratnya. Itulah penyebab utama hancurnya rumah tanggaku.” Megat memang selalu mendahului jawaban sebelum pertanyaan aku sodorkan. Itulah kelebihannya yang paling aku suka. Katanya dia tidak mengalami kesulitan membaca pikiran orang dengan hanya melihat mata orang tersebut.
“Jadi di mana istrimu sekarang?”
“Mantan istri”
“Ya. Maksudku mantan istrimu?”
“Pulang ke kampungnya”
“Sekalian dengan anak-anakmu?”
“Ya”
“Kenapa?”
“Dia membawa anak-anaku lari tanpa sepengetahuanku. Kau tahu! Betapa tersiksanya diri dilanda rindu bila tak dapat bertemu dengan anak-anak? Ianya mengalahkan kerinduan kepada seorang kekasih sekalipun yang paling kau cintai. Hati ini bagai diiris-iris pisau sepi. Hari-hari seperti didera sekarung hampa yang jatuh menimpa kepala. Ya. Jika kau punya anak, kelak kau kan merasa.”
Waktu itu aku mendengarkan segala luapan emosi Megat ketika menceritakan semua yang dialaminya. Megat yang merasa kesepian diakibatkan kesibukan istrinya yang seperti tak ada habisnya. Megat juga akhirnya mengutuk emansipasi wanita yang justru menurut istrinya adalah tuntutan yang layak bagi wanita di zaman modern sekarang ini.
Ada satu hal yang menarik dari apa yang dibeberkan megat. Dia merujuk kepada zaman dahulu. Kenapa misalnya rumah tangga orang tua-tua kita dulu jarang sekali terjadi perceraian. Selain perceraian adalah hal yang tidak disenangi oleh Allah, juga sekaligus merupakan aib, tentu saja dulu istri-istri mereka selalu ada di setiap suaminya membutuhkan. Tidak melalak ke sana ke mari seperti perempuan di zaman sekarang ini.
Aku mencoba merespon apa yang diucapkan Megat ketika itu dengan mengatakan bahwa zaman dahulu dengan sekarang tentu jauh berbeda. Dahulu kebutuhan hidup tidak rumit seperti sekarang ditambah lagi biaya hidup yang cukup tinggi sehingga banyak wanita yang akhirnya harus membantu suaminya untuk menutupi segala kekurangan yang ada.
Tak dapat kulupakan Megat jadi meradang atas responku itu. Dia mengatakan bahwa tidak ada yang berbeda dari zaman ke zaman. Lelaki tetap lelaki dan perempuan tetap perempuan. Dan dia juga tidak menyalahkan jika wanita harus bekerja tapi ingat, ada batasnya. Jangan sampai kebablasan. Jangan sampai lupa bahwa di rumah anak-anaknya menunggu untuk dibelai, dicium, diperhatikan. Jangan sampai lupa di tempat tidur suaminya mengharapkan kehangatan dan kasih sayang dari seorang istri yang siap melayani tanpa ada kesan terpaksa karena lelah.
Megat melanjutkan panjang lebar “Kau tau, akibat kesepian yang kualami, akibat kodratku sebagai suami tidak berjalan dengan semestinya, akhirnya sudah tidak terhitung berapa kali aku harus tercebur dalam dunia malam yang menggairahkan sekaligus menghiburku untuk melupakan sejenak kesepian yang begitu menyesakkan.” Megat kembali menyedot asap rokoknya dengan nikmat sekali sedang aku segera menghabiskan makanan yang telah terbiar sejuk akibat percakapan malam itu. Malam semakin merayap, sepoi angin dan taburan bintang seakan-akan menambah suasana pertemuan di antara kami. Tidak berapa lama berselang itu, Megat mengajakku ke suatu tempat. Kami pun pergi.
“Kau dengar… inilah musik kebebasan untuk satu malam!” kata Megat kepadaku setelah akhirnya aku tak bisa menolak ajakannya untuk pergi ke salah satu tempat karaoke yang ada di ibu kota provinsi ini. “Bernyanyilah, menarilah agar kau tahu apakah itu kebebasan yang dicari oleh kebanyakan orang. Padahal ianya tidak ada sama sekali…hanya kesenangan sesaat. Ya, seperti yang kita rasakan sekarang ini. Katanya sambil menenggak bir yang memang telah disediakan di atas meja.
Sebelum ia menuju ke lantai untuk menari dengan seorang wanita yang telah dipesannya, Megat berbisik kepadaku “Di sini aku merasa impas. Ada puluhan perempuan yang terjebak bekerja di sini diakibatkan ulah lelaki dan tak sedikit pula lelaki yang terpaksa harus kemari mencari sesuatu karena tidak mendapatkan apa yang seharusnya didapat sebagai seorang suami di rumah, termasuk aku salah satunya. Impaskan?” ia pun tertawa berdekah-dekah sambil bergoyang mengikuti irama musik disco remix yang seakan-akan membenamkan segala persoalan yang sedang dialaminya. Begitulah Megat.
Suara sirinei pertanda hampir sampai ke seberang membuyarkan segala apa yang aku kenang. Aku pun bangkit berdiri, bersiap-siap untuk menuju ke kendaraan dan segera meluncur ke tempat kerjaku. Setelah aku keluar dari ruang penantian penumpang, sayup-sayup masih terdengar olehku musik disco remix yang masih diputar. Tiba-tiba saja ada perasaan ganjil yang kurasakan. Sesudah beberapa menit terkenang Megat, wajah istriku pun samar-samar tergambar dalam pikiranku. Betapa sebenarnya aku hampir tidak dapat mengingat seperti apa tepatnya letak tahi lalat di kening istriku yang dulu sering ku kecup karena sudah hampir sekitar setahun lebih aku tidak memperhatikannya. Sejujurnya tidak ada waktu untuk itu karena malamnya setelah aku pulang dari kerja terkadang istriku yang belum pulang. Atau ketika aku agak telat, justru istriku telah mendengkur di tempat tidur. Apakah tidak lucu apabila aku harus mengingatmu Megat?
Pulau Rindu, 28 September-02 Oktober 2010.
Jefri al Malay, lahir di Sungai Pakning 16 Oktober 1979, adalah alumni Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR), Jurusan Teater. Menulis cerpen dan puisi. Saat ini menjalani profesi sebagai guru di SMAN 2 Bengkalis. E-mail: al_malay@yahoo.com

