Oleh Jefri Al Malay
Surat yang tergenggam di tangannya belum jua sempat untuk dibaca.
Tampaknya ada hal yang mengganggu perhatiannya saat ini. Wajahnya yang
risau dan bimbang itu adalah pembuktian kecintaanya terhadap pulau yang
selama ini adalah tanah kelahirannya, tanah nenek moyangnya yang
ternyata beberapa hari belakangan ini tidak lagi aman dan damai. Tapi
sebagai perempuan kampung yang tak begitu mengerti dengan segala sesuatu
tentang sistem pemerintahan, dia hanya bisa menjadi penonton pasif.
Teriakan demi teriakan itu sungguh tak dapat mengobati kebimbangannya.
Siapakah yang salah? Benarkah masyarakat di pulaunya tidak lagi
sejahtera? Benarkah roda pemerintahan terkesan lamban seperti yang
dilaungkan? Apakah benar bahwa yang sedang memegang tampuk kekuasaan di
pulaunya ini sudah melakukan praktik korupsi, kolusi dan nepostisme?
Entahlah. Akhirnya ia berusaha mengabaikan segala sesuatu yang mulai
menyesak di kepalanya.
Perlahan-lahan ia mulai meninggalkan kerumunan massa yang begitu ramai di sebuah gedung perwakilan rakyat tersebut. Di telinganya masih terdengar teriakan dan pekikan orang-orang menuntut keadilan. Dia yang bernama Alifya, hanya bisa berkata di dalam hati bahwa tak ada keadilan yang mutlak dalam hidup ini. Dialah perempuan yang hampir saja tidak menyakini adanya keadilan secara menyeluruh. Baginya keadilan itu hanya dapat ditafsirkan sebagai buah tangan yang dapat digenggam oleh segelintir orang yang memang diberi kesempatan pada batas waktu tertentu kemudian jika keadilan itu seperti bola maka ia akan menggelinding kembali ke tempat yang lain pula. Demikianlah akhirnya ia menjalani hidup ini dengan tidak berharap sepenuhnya pada kata keadilan akan tetapi berjalan dengan kemantapan hati untuk menunggu kesempatan dan meyakini ada hari esok untuk kita semua menikmati yang namanya kebahagiaan.
Alifya, seorang gadis kampung yang belajar banyak tentang kehidupan melalui kisah cintanya yang menurutnya sedang tidak berpihak. Seorang yang dikasihi harus pergi jauh meninggalkannya hanya dikarenakan dendam antara kedua orangtuanya. Tapi kemudian hidup harus tetap dijalani meski tidak sesuai dengan kehendak hati.
Surat yang di tangannya adalah kata-kata azimat dari sang terunanya yang telah ditunggui beberapa purnama. Hari ini, surat itu sampai jua di pangkuan meskipun dalam kondisi pikiran serba bimbang. Akhirnya setelah sampai di rumah dan berusaha menenangkan pikiran, ia pun mulai membuka sampul surat tersebut. Dengan hati yang bergemuruh menahan rindu, Alifya pun mulai membacanya.
Puan...cahayaku
Entah sudah berapa lama-tak dapat kupastikan-aku tidak berkabar kepadamu, Dinda.. Jangan ada sak wasangka bahwa aku telah lupa, tidak! Tidak ada ruang di ingatan dan perasaan untuk sejenak saja melupakanmu, Alifya. Hanya saja seperti yang telah kukatakan kepadamu di surat sebelumnya, aku akan berangkat menuju ke pulau yang bernama Pulau Asap. Demikianlah akhirnya kami memulai sebuah pelayaran. Aku dan beberapa orang yang nekat untuk mengejar impian atau yang ingin lari dari kepura-puraan peradaban, mungkinkah bisa? Entahlah Alifya. Kami bagaikan jelma menjadi sekumpulan orang yang tidak lagi memiliki rasa takut. Seperti katamu, bukankah masa depan itu hanya untuk si pemberani.
Sebelum aku menceritakan kisah pelayaranku, setidaknya izinkanlah terlebih dahulu aku mengutarakan rinduku padamu. Asal kau tahu Alifya, jika kutuliskan baris-baris rindu ini seluruhnya, kurasa tak cukup tiga atau empat buah buku yang di dalamnya tertera beragam rasa rindu yang tak pernah terkelupas walau setipis apapun. Seiring itu juga aku menyadari, perlu waktu untukmu mempercayainya. Suatu waktu nanti akan kubuktikan keseluruhan rasa ini. Aku akan datang padamu Alifya dengan memikul berkebat rindu dan kasih. Semoga engkau telap memangkunya. Atas nama lelaki Melayu, janji ini menjadi tameng bagiku untuk mempertahankan kesucian cinta kita dan kau kekasihku, hendaknya demikian pula.
Tapi perlu kau tahu, Alifya. Pelayaran yang dilalui tidaklah seperti yang dibayangkan. Patut diakui bahwa kami mengalami ketercengangan sehingga kami seolah menjadi bisu dalam kesendirian yang mutlak. Bagaimana tidak, Adindaku. Kecipak serta arus air di lautan yang terdengar, tak dapat dijadikan petunjuk, apakah kami berada di lautan yang luas atau tidak. Hanya ada kabut mengelilingi. Jarak pandang berkisar antara delapan atau sepuluh meter. Yang membuat takjub tentu saja kecipak gelombang yang senantiasa menjadi irama tersendiri dalam pelayaran ini. Selain itu kicau burung camar terdengar begitu dekat di telinga namun tak satupun yang dapat ditangkap oleh penglihatan. Aku sungguh tercengang tatkala merasakan bahwa ini adalah kenyataan, aku sedang berlayar, dibelai gelombang, disaput angin, air yang memuncratkan buih berwarna keperakan. Sedang di atas sana tidak terlihat awan. Di kiri dan kanan tak tampak daratan. Di manakah kami?
Tapi kau pasti tahu bagaimana aku, Intan Payungku. Tak bisa disangkal, ketika bisa berpergian ke manapun adalah hal yang paling kusenangi.Walau tak mendapatkan kebebasan sepenuhnya tetapi serasa ada yang terbebaskan. Dan ternyata lautan memiliki kekuatan-kekuatan yang tak dapat diprediksi. Dari pelayaran yang tak bertuju ini, aku mengetahui seharusnya kita tidak selalu berpikir untuk menjadi kuat melainkan sesekali perlu merasa kuat. Melawan segala ketakutan dengan kemampuan yang kita miliki. Di sinilah aku akhirnya, berada entah di sudut dunia yang mana. Aku merelakan keberadaanku saat ini, sayangku.
Seperti yang kau ketahui Alifya. Bukan cinta namanya jika tidak ada perjuangan dan pengorbanan. Cinta kita yang telah digariskan membuak di antara dendam sesama orangtua yang akhirnya merendam keseluruhan dari kisah yang kita punya. Kita menjadi korban dari keegoan mereka. Kita terseok-seok dan tertatih-tatih mengeja rindu. Kerapkali kita bagaikan merapah kisah sejarah mereka yang pada gilirannya menenggelamkan puncak asmara. Sungguh memilukan jika dikenang. Tapi begitulah kehidupan berjalan, aku yakin ada rahasia yang perlu kita sibak atas semuanya.
Dalam suratku kali ini, hendak ceritakan sebuah kenyataan yang kusaksikan. Sungguh mengingatkan aku pada kisah cinta kita yang terbengkalai untuk waktu yang cukup lama hanya diakibatkan sengkarut dendam itu. Dendam yang tak berkesudahan. Baiklah Alifya, akan kuceritakan kepadamu persingahan kami yang pertama adalah sebuah pulau yang dikutuk. Tapi sebelumnya aku meminta maaf tidak bisa menyebutkan dengan pasti semua hal yang berkenaan tempat dan waktu kejadian. Karena selain tak mengetahui di mana keberadaan kami, juga tidak diketahui kapan siang dan malam. Aku hanya mengikuti naluri, ketika mataku mulai mengantuk, kuanggap hari sudah malam dan ketika mataku tercelik, kutetapkan bahwa hari sudah pagi.
Demikianlah situasinya Alifya. Hingga di suatu waktu, kabut yang menelingkupi pelayaran kami perlahan menguak sedikit demi sedikit sehingga membuka dan memperluas jarak pandang lalu sayup-sayup terlihatlah sebuah dermaga. Setelah juru kemudi sekaligus juru kunci menuju Pulau Asap-tentu saja orang tua yang pernah kuceritakan pada suratku yang pertama dulu-mengisyaratkan bahwa kami akan singgah di dermaga itu untuk membeli perbekalan yang kian menipis. Betapa ketika itu, setelah perahu kami merapat dan menambatkan talinya di dermaga tersebut, kami seolah-olah seperti terjaga dari tidur yang panjang. Tentu saja setelah lama terombang-ambing dalam pelayaran maka pemberhentian menjadi sebuah teduhan yang bisa merebahkan segala kelelahan.
Namun ternyata apa yang disaksikan tidak seperti yang diperkirakan. Kami justru dihadapkan dengan sebuah kenyataan yang tak bisa diterima oleh akal sehat. Percaya atau tidak, kami berlabuh di sebuah pulau yang terendam air. Awalnya kami menyangka air yang ketinggiannya mencapai paha itu hanya tergenang di sekitar dermaga. Tidak Alifya, pulau tersebut terendam keseluruhan. Sejauh mata memandang hanyalah genangan air yang berwarna coklat keruh dan baunya amis. Memang selebihnya, kehidupan di pulau itu semuanya tampak wajar. Gedung-gedung berdiri megah, ruko-ruko memanjang di setiap jalanan tetapi air itu Alifya, ada di mana-mana. Kau akan menyaksikan kehidupan yang terseok-seok dalam rutinitasnya. Kendaraan baik roda dua atau empat tampak bagaikan kerumunan mesin lamban yang berjuang mengarungi genangan air. Para pejalan kaki yang merapah air, kelelahan di setiap langkahnya. Tapi jika diperhatikan dengan lebih seksama, kelihatannya kondisi seperti itu tidak lagi menjadi persoalan bagi mereka. Mungkin kejanggalan bagi kita yang baru pertama kali menyaksikan telah menjadi kebiasaan yang lumrah pula bagi mereka.
Keinginanku untuk mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi atas pulau tersebut tak terbendung lagi. Diam-diam aku memisahkan diri dari rombongan. Lalu kuharungi saja air yang mencapai sepangkal paha itu. Semakin lama baunya minta ampun, Alifya. Sungguh kian menjauh dari dermaga, air itu semakin pekat, menghitam dan berlendir. Tapi tiba-tiba pundak kiriku disentuh oleh lengan seseorang. Langkahku pun terhenti. Ternyata Pak Tua si juru kemudi sudah ada di belakangku.
‘’Tidak dibenarkan untuk berpisah jauh dari rombongan kalau tak mau kutinggalkan di pulau terkutuk ini,’’ katanya sembari menatapku tajam. aku hanya terpaku, Alifya. ‘’Tak kan kautemui orang yang dapat menjawab semua kenyataan yang sedang kau saksikan. Mereka tak akan memberikan jawaban.’’
‘’Tapi aku...’’
‘’Sudah! Cukup, simpan semua rasa ingin tahumu kalau kau tak ingin ikut terkutuk di sini.’’ Langkahnya terhenti dan sekali lagi ia menatapku dengan pandangan yang tegas. Aku tentu tak bisa berbuat apa-apa Alifya. Kusadari dalam pelayaran ini serupalah dengan kehidupan, banyak hal tak terduga terjadi di sekitar kita sehingga kemungkian-kemungkinan yang tidak kita ingini hendaknya dapat disikapi dengan bijak. Aku pun segera kembali bergabung dengan rombongan. Berbelanja sealakadarnya dan setelah selesai, kami semua kembali ke perahu untuk melanjutkan pelayaran.
Begitu tali tambat terlepas dari pancangnya, perahu kamipun perlahan-lahan mulai bergerak menjauh. Aku masih terpana di depan haluan sembari menatap pulau yang penuh misteri itu. Dari kejauhan ianya tampak begitu indah, Alifya. Sungguh disayangkan ketika mendapati kenyataan bahwa pulau itu telah dikutuk. Di benakku bergumpal pertanyaan yang terus menggeliat.
‘’Pulau itu telah dikutuk,’’ suara Pak Tua si juru kemudi setengah berbisik, mengusik ketermanguangku. Aku hanya mengangguk kepala tanpa alasan. ‘’Dulu pulau itu sungguh makmur, memiliki kekayaan alam yang berlimpah ruah, sebuah negeri yang bertamadun, yang berpotensi memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya tapi ketahuilah olehmu, apa yang kita miliki tak menjamin untuk tercapainya sebuah kemakmuran. Begitulah, seiring berjalannya waktu, manusia yang dipercayakan sebagai khalifah di muka Bumi ini seolah-olah lupa dengan kodratnya. Kau tahu! Pulau itu dikutuk akibat dendam yang bersengkarut dari manusia-manusia yang dipercayakan sebagai pemegang kekuasaan. Akibat dendam sesama mereka yang berebut kekuasaan dengan mengatasnamakan kepentingan rakyatlah yang mengakibatkan lumpuh segala sisi kehidupan.’’
‘’Maksudmu?’’ aku mulai penasaran.
‘’Dendam itu serupa benalu yang akan membunuh induk semang sampai ke akar-akarnya. Demikianlah yang kau saksikan,dendam membuat orang lupa apa yang seharusnya dilakukan selain dari pada harus saling membenci, saling menjatuhkan, dan pada akhirnya kekuasaan menjadi wujud monster yang menakutkan, kekuasaan tidak lagi berpihak kepada kepentingan orang banyak.’’
Aku mulai mengerti arah pembicaraan Pak Tua itu, Alifya. Sempat pula kuberpikir, jika kehidupan hanya dikendalikan dengan pikiran licik semata, sungguh umur kehidupan itu sangat singkat.
Ia menarik napas dalam-dalam ‘’Ya...dendam yang kian menggenang telah pula merebak sampai kepada masyarakatnya. Apa yang bisa diharapkan dengan kehidupan sedemikian. Sesama kita saling menjatuhkan, saling membenci, saling curiga. Kecintaan bukan lagi untuk kebersamaan, bukan lagi untuk kemakmuran negeri tetapi menyelamatkan diri sendiri, menumpuk kekayaan, membangun istana pribadi, , ahhh...!’’
Alifya kekasihku. Ketercenganganku atas apa yang berlaku saat itu seiring dengan perenunganku terhadap diri sendiri. Apakah aku layak mengikuti pelayaran ini setelah meninggalkan kau jauh di kampung sana yang setiap hari tergenang dalam buak dendam. Penakutkah aku, Alifya?
Entahlah...yang kutahu, aku terus menginginkan dirimu untuk menjadi bidadari hidupku. Engkau pertama dan yang terakhir.
Tuan Junjunganmu
Wahidin
Alifya mengakhiri pembacaan surat dari kekasihnya dengan menghela napas panjang. Kemudian ia melipat rapi-rapi dan menyimpannya di tempat yang menurutnya aman dan terjaga seperti halnya ia menyimpan nama sang pujaannya rapi di ceruk hatinya yang paling dalam. Lalu kemudian sayup-sayup masih terdengar teriakan-terikan dari pendemo yang menuntut turunnya kepala pemerintahan yang sedang menjabat di negerinya.
Sejenak dia tercengang dan kembali bimbang, manakah yang harus dia percayai antara cerita dari surat yang baru saja dibaca ataukah realita yang melanda pulaunya saat ini?
Pulau Rindu, 2011-2012
Perlahan-lahan ia mulai meninggalkan kerumunan massa yang begitu ramai di sebuah gedung perwakilan rakyat tersebut. Di telinganya masih terdengar teriakan dan pekikan orang-orang menuntut keadilan. Dia yang bernama Alifya, hanya bisa berkata di dalam hati bahwa tak ada keadilan yang mutlak dalam hidup ini. Dialah perempuan yang hampir saja tidak menyakini adanya keadilan secara menyeluruh. Baginya keadilan itu hanya dapat ditafsirkan sebagai buah tangan yang dapat digenggam oleh segelintir orang yang memang diberi kesempatan pada batas waktu tertentu kemudian jika keadilan itu seperti bola maka ia akan menggelinding kembali ke tempat yang lain pula. Demikianlah akhirnya ia menjalani hidup ini dengan tidak berharap sepenuhnya pada kata keadilan akan tetapi berjalan dengan kemantapan hati untuk menunggu kesempatan dan meyakini ada hari esok untuk kita semua menikmati yang namanya kebahagiaan.
Alifya, seorang gadis kampung yang belajar banyak tentang kehidupan melalui kisah cintanya yang menurutnya sedang tidak berpihak. Seorang yang dikasihi harus pergi jauh meninggalkannya hanya dikarenakan dendam antara kedua orangtuanya. Tapi kemudian hidup harus tetap dijalani meski tidak sesuai dengan kehendak hati.
Surat yang di tangannya adalah kata-kata azimat dari sang terunanya yang telah ditunggui beberapa purnama. Hari ini, surat itu sampai jua di pangkuan meskipun dalam kondisi pikiran serba bimbang. Akhirnya setelah sampai di rumah dan berusaha menenangkan pikiran, ia pun mulai membuka sampul surat tersebut. Dengan hati yang bergemuruh menahan rindu, Alifya pun mulai membacanya.
Puan...cahayaku
Entah sudah berapa lama-tak dapat kupastikan-aku tidak berkabar kepadamu, Dinda.. Jangan ada sak wasangka bahwa aku telah lupa, tidak! Tidak ada ruang di ingatan dan perasaan untuk sejenak saja melupakanmu, Alifya. Hanya saja seperti yang telah kukatakan kepadamu di surat sebelumnya, aku akan berangkat menuju ke pulau yang bernama Pulau Asap. Demikianlah akhirnya kami memulai sebuah pelayaran. Aku dan beberapa orang yang nekat untuk mengejar impian atau yang ingin lari dari kepura-puraan peradaban, mungkinkah bisa? Entahlah Alifya. Kami bagaikan jelma menjadi sekumpulan orang yang tidak lagi memiliki rasa takut. Seperti katamu, bukankah masa depan itu hanya untuk si pemberani.
Sebelum aku menceritakan kisah pelayaranku, setidaknya izinkanlah terlebih dahulu aku mengutarakan rinduku padamu. Asal kau tahu Alifya, jika kutuliskan baris-baris rindu ini seluruhnya, kurasa tak cukup tiga atau empat buah buku yang di dalamnya tertera beragam rasa rindu yang tak pernah terkelupas walau setipis apapun. Seiring itu juga aku menyadari, perlu waktu untukmu mempercayainya. Suatu waktu nanti akan kubuktikan keseluruhan rasa ini. Aku akan datang padamu Alifya dengan memikul berkebat rindu dan kasih. Semoga engkau telap memangkunya. Atas nama lelaki Melayu, janji ini menjadi tameng bagiku untuk mempertahankan kesucian cinta kita dan kau kekasihku, hendaknya demikian pula.
Tapi perlu kau tahu, Alifya. Pelayaran yang dilalui tidaklah seperti yang dibayangkan. Patut diakui bahwa kami mengalami ketercengangan sehingga kami seolah menjadi bisu dalam kesendirian yang mutlak. Bagaimana tidak, Adindaku. Kecipak serta arus air di lautan yang terdengar, tak dapat dijadikan petunjuk, apakah kami berada di lautan yang luas atau tidak. Hanya ada kabut mengelilingi. Jarak pandang berkisar antara delapan atau sepuluh meter. Yang membuat takjub tentu saja kecipak gelombang yang senantiasa menjadi irama tersendiri dalam pelayaran ini. Selain itu kicau burung camar terdengar begitu dekat di telinga namun tak satupun yang dapat ditangkap oleh penglihatan. Aku sungguh tercengang tatkala merasakan bahwa ini adalah kenyataan, aku sedang berlayar, dibelai gelombang, disaput angin, air yang memuncratkan buih berwarna keperakan. Sedang di atas sana tidak terlihat awan. Di kiri dan kanan tak tampak daratan. Di manakah kami?
Tapi kau pasti tahu bagaimana aku, Intan Payungku. Tak bisa disangkal, ketika bisa berpergian ke manapun adalah hal yang paling kusenangi.Walau tak mendapatkan kebebasan sepenuhnya tetapi serasa ada yang terbebaskan. Dan ternyata lautan memiliki kekuatan-kekuatan yang tak dapat diprediksi. Dari pelayaran yang tak bertuju ini, aku mengetahui seharusnya kita tidak selalu berpikir untuk menjadi kuat melainkan sesekali perlu merasa kuat. Melawan segala ketakutan dengan kemampuan yang kita miliki. Di sinilah aku akhirnya, berada entah di sudut dunia yang mana. Aku merelakan keberadaanku saat ini, sayangku.
Seperti yang kau ketahui Alifya. Bukan cinta namanya jika tidak ada perjuangan dan pengorbanan. Cinta kita yang telah digariskan membuak di antara dendam sesama orangtua yang akhirnya merendam keseluruhan dari kisah yang kita punya. Kita menjadi korban dari keegoan mereka. Kita terseok-seok dan tertatih-tatih mengeja rindu. Kerapkali kita bagaikan merapah kisah sejarah mereka yang pada gilirannya menenggelamkan puncak asmara. Sungguh memilukan jika dikenang. Tapi begitulah kehidupan berjalan, aku yakin ada rahasia yang perlu kita sibak atas semuanya.
Dalam suratku kali ini, hendak ceritakan sebuah kenyataan yang kusaksikan. Sungguh mengingatkan aku pada kisah cinta kita yang terbengkalai untuk waktu yang cukup lama hanya diakibatkan sengkarut dendam itu. Dendam yang tak berkesudahan. Baiklah Alifya, akan kuceritakan kepadamu persingahan kami yang pertama adalah sebuah pulau yang dikutuk. Tapi sebelumnya aku meminta maaf tidak bisa menyebutkan dengan pasti semua hal yang berkenaan tempat dan waktu kejadian. Karena selain tak mengetahui di mana keberadaan kami, juga tidak diketahui kapan siang dan malam. Aku hanya mengikuti naluri, ketika mataku mulai mengantuk, kuanggap hari sudah malam dan ketika mataku tercelik, kutetapkan bahwa hari sudah pagi.
Demikianlah situasinya Alifya. Hingga di suatu waktu, kabut yang menelingkupi pelayaran kami perlahan menguak sedikit demi sedikit sehingga membuka dan memperluas jarak pandang lalu sayup-sayup terlihatlah sebuah dermaga. Setelah juru kemudi sekaligus juru kunci menuju Pulau Asap-tentu saja orang tua yang pernah kuceritakan pada suratku yang pertama dulu-mengisyaratkan bahwa kami akan singgah di dermaga itu untuk membeli perbekalan yang kian menipis. Betapa ketika itu, setelah perahu kami merapat dan menambatkan talinya di dermaga tersebut, kami seolah-olah seperti terjaga dari tidur yang panjang. Tentu saja setelah lama terombang-ambing dalam pelayaran maka pemberhentian menjadi sebuah teduhan yang bisa merebahkan segala kelelahan.
Namun ternyata apa yang disaksikan tidak seperti yang diperkirakan. Kami justru dihadapkan dengan sebuah kenyataan yang tak bisa diterima oleh akal sehat. Percaya atau tidak, kami berlabuh di sebuah pulau yang terendam air. Awalnya kami menyangka air yang ketinggiannya mencapai paha itu hanya tergenang di sekitar dermaga. Tidak Alifya, pulau tersebut terendam keseluruhan. Sejauh mata memandang hanyalah genangan air yang berwarna coklat keruh dan baunya amis. Memang selebihnya, kehidupan di pulau itu semuanya tampak wajar. Gedung-gedung berdiri megah, ruko-ruko memanjang di setiap jalanan tetapi air itu Alifya, ada di mana-mana. Kau akan menyaksikan kehidupan yang terseok-seok dalam rutinitasnya. Kendaraan baik roda dua atau empat tampak bagaikan kerumunan mesin lamban yang berjuang mengarungi genangan air. Para pejalan kaki yang merapah air, kelelahan di setiap langkahnya. Tapi jika diperhatikan dengan lebih seksama, kelihatannya kondisi seperti itu tidak lagi menjadi persoalan bagi mereka. Mungkin kejanggalan bagi kita yang baru pertama kali menyaksikan telah menjadi kebiasaan yang lumrah pula bagi mereka.
Keinginanku untuk mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi atas pulau tersebut tak terbendung lagi. Diam-diam aku memisahkan diri dari rombongan. Lalu kuharungi saja air yang mencapai sepangkal paha itu. Semakin lama baunya minta ampun, Alifya. Sungguh kian menjauh dari dermaga, air itu semakin pekat, menghitam dan berlendir. Tapi tiba-tiba pundak kiriku disentuh oleh lengan seseorang. Langkahku pun terhenti. Ternyata Pak Tua si juru kemudi sudah ada di belakangku.
‘’Tidak dibenarkan untuk berpisah jauh dari rombongan kalau tak mau kutinggalkan di pulau terkutuk ini,’’ katanya sembari menatapku tajam. aku hanya terpaku, Alifya. ‘’Tak kan kautemui orang yang dapat menjawab semua kenyataan yang sedang kau saksikan. Mereka tak akan memberikan jawaban.’’
‘’Tapi aku...’’
‘’Sudah! Cukup, simpan semua rasa ingin tahumu kalau kau tak ingin ikut terkutuk di sini.’’ Langkahnya terhenti dan sekali lagi ia menatapku dengan pandangan yang tegas. Aku tentu tak bisa berbuat apa-apa Alifya. Kusadari dalam pelayaran ini serupalah dengan kehidupan, banyak hal tak terduga terjadi di sekitar kita sehingga kemungkian-kemungkinan yang tidak kita ingini hendaknya dapat disikapi dengan bijak. Aku pun segera kembali bergabung dengan rombongan. Berbelanja sealakadarnya dan setelah selesai, kami semua kembali ke perahu untuk melanjutkan pelayaran.
Begitu tali tambat terlepas dari pancangnya, perahu kamipun perlahan-lahan mulai bergerak menjauh. Aku masih terpana di depan haluan sembari menatap pulau yang penuh misteri itu. Dari kejauhan ianya tampak begitu indah, Alifya. Sungguh disayangkan ketika mendapati kenyataan bahwa pulau itu telah dikutuk. Di benakku bergumpal pertanyaan yang terus menggeliat.
‘’Pulau itu telah dikutuk,’’ suara Pak Tua si juru kemudi setengah berbisik, mengusik ketermanguangku. Aku hanya mengangguk kepala tanpa alasan. ‘’Dulu pulau itu sungguh makmur, memiliki kekayaan alam yang berlimpah ruah, sebuah negeri yang bertamadun, yang berpotensi memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya tapi ketahuilah olehmu, apa yang kita miliki tak menjamin untuk tercapainya sebuah kemakmuran. Begitulah, seiring berjalannya waktu, manusia yang dipercayakan sebagai khalifah di muka Bumi ini seolah-olah lupa dengan kodratnya. Kau tahu! Pulau itu dikutuk akibat dendam yang bersengkarut dari manusia-manusia yang dipercayakan sebagai pemegang kekuasaan. Akibat dendam sesama mereka yang berebut kekuasaan dengan mengatasnamakan kepentingan rakyatlah yang mengakibatkan lumpuh segala sisi kehidupan.’’
‘’Maksudmu?’’ aku mulai penasaran.
‘’Dendam itu serupa benalu yang akan membunuh induk semang sampai ke akar-akarnya. Demikianlah yang kau saksikan,dendam membuat orang lupa apa yang seharusnya dilakukan selain dari pada harus saling membenci, saling menjatuhkan, dan pada akhirnya kekuasaan menjadi wujud monster yang menakutkan, kekuasaan tidak lagi berpihak kepada kepentingan orang banyak.’’
Aku mulai mengerti arah pembicaraan Pak Tua itu, Alifya. Sempat pula kuberpikir, jika kehidupan hanya dikendalikan dengan pikiran licik semata, sungguh umur kehidupan itu sangat singkat.
Ia menarik napas dalam-dalam ‘’Ya...dendam yang kian menggenang telah pula merebak sampai kepada masyarakatnya. Apa yang bisa diharapkan dengan kehidupan sedemikian. Sesama kita saling menjatuhkan, saling membenci, saling curiga. Kecintaan bukan lagi untuk kebersamaan, bukan lagi untuk kemakmuran negeri tetapi menyelamatkan diri sendiri, menumpuk kekayaan, membangun istana pribadi, , ahhh...!’’
Alifya kekasihku. Ketercenganganku atas apa yang berlaku saat itu seiring dengan perenunganku terhadap diri sendiri. Apakah aku layak mengikuti pelayaran ini setelah meninggalkan kau jauh di kampung sana yang setiap hari tergenang dalam buak dendam. Penakutkah aku, Alifya?
Entahlah...yang kutahu, aku terus menginginkan dirimu untuk menjadi bidadari hidupku. Engkau pertama dan yang terakhir.
Tuan Junjunganmu
Wahidin
Alifya mengakhiri pembacaan surat dari kekasihnya dengan menghela napas panjang. Kemudian ia melipat rapi-rapi dan menyimpannya di tempat yang menurutnya aman dan terjaga seperti halnya ia menyimpan nama sang pujaannya rapi di ceruk hatinya yang paling dalam. Lalu kemudian sayup-sayup masih terdengar teriakan-terikan dari pendemo yang menuntut turunnya kepala pemerintahan yang sedang menjabat di negerinya.
Sejenak dia tercengang dan kembali bimbang, manakah yang harus dia percayai antara cerita dari surat yang baru saja dibaca ataukah realita yang melanda pulaunya saat ini?
Pulau Rindu, 2011-2012
Jefri al Malay
Anak jati Sei Pakning-Bengkalis yang rajin menulis berbagai karya sastra dari puisi, cerpen dan esai budaya. Karya-karyanya dimuat di berbagai media massa. Dia juga tercatat sebagai staf pengajar di SMA 2 Bengkalis.

