30 Jan 2013

Kelembak Sejarah

0 komentar
Oleh Jefri Al Malay


Pagi tersibak. Cahaya surya perlahan merangkak. Di tempat tidur, Umar belum juga bergerak. Dalam kerebahan, samar-samar ia tatap seekor kelembak. Terbang menari-nari, mengelilingi seisi kamar yang masih berserak. Sementara anaknya yang berumur dua tahun masih tampak tidur sangat nyenyak. Berpikir sejenak sembari mengembalikan ingatan sepenuhnya, ia pun beranjak.

Setelah mandi dan berpakaian, Umar ke dapur bersarapan. Juadah telah pun dipersiapkan. Istrinya memang cekatan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, Umar pun dilayani dengan semestinya sebagai suami idaman. Ia selalu memulai percakapan di meja makan. Mulai dari gurau senda sampai ke hal pekerjaan.

Tak jarang juga Umar memulai dengan keluhan. Tapi istrinya Fatimah setia mendengarkan. Bagai mana tidak? Semenjak dua menjak, terkadang Umar tak dapat bertindak selain bersungut layaknya anjing menyalak. Sebagai guru seni budaya di sekolah, ada hal yang menurutnya menyalah. Seorang guru seni dituntut bisa semuanya, tak bisa mengelak. Harus bisa mengajar musik, tari, teater, lukis dan sastra sekaligus.

Jika sudah demikian, kopi segelas pun disodorkan. Fatimah pun memaklumi, bahwa perbincangan itu pasti ujung-ujungnya tak bisa berbuat apa-apa. Seringkali Fatimah menyarankan agar tak usah banyak keluhan. Sudah bersyukur diberi pekerjaan dan dibayar gaji meski tak tiap bulan.

Selalu Umar jelaskan pada istrinya, bahwa seni itu sebuah ilmu. Ia memiliki cabang-cabangnya. Masing-masing cabang memiliki disiplin ilmu yang beda pula. Layaknya ilmu eksakta, ada matematika, fisika, kimia dan bilogi. Bukankah masing-masing punya pencapaian tersendiri dan tenaga pengajar tersendiri pula.

Begitulah seharusnya pelajaran seni diberlakukan. Tapi apa hendak dikata, segalanya tergantung para pembuat kebijakan. Ia hanya bisa berharap suatu ketika nanti ada kesadaran bahwa seni budaya bukanlah cuma pelajaran hiburan. Bahkan di belahan bumi yang lain, kemajuan seni budaya justru dapat membuat negeri mereka tercatat dalam sejarah dan ternama hingga masa ke masa.

Kalau sudah sampai di sana pembicaraannya, Fatimah bergegas mengambilkan tas kerja sebagai isyarat untuk waktunya Umar berangkat. Mungkin juga istrinya berupaya agar keluhan suaminya tak sampai melarat, ia sangat percaya bahwa keluhan hanya akan membuat orang jadi penyakitan kalau tak disampaikan pada yang berpatutan. Umar pun segera berangkat tentu saja setelah di dahi istrinya kecupan mendarat.

‘’Oya, nanti sambil bereskan kamar, jangan lupa keluarkan kelembak yang ada di dalam kamar ya, mana tahu ada racunnya, tak sehat untuk anak,’’ Umar pun melangkah ke luar rumah menuju kendaraan.

Tapi sejenak Umar dibuat terperangah. Ternyata kelembak sudah pula berada di tanah. Ia mengitari kendaraannya tak tentu arah. Ada gerangan apakah?

Tapi pagi yang cerah, hendaknya tak memulai pikiran dengan masalah, pikir Umar. Kelembak hanya binatang yang pagi ini kebetulan terbang bersenang-senang di sekitaran rumahnya. Memang, menurut orang tua-tua dulu, jika ada kupu-kupu atau kelembak masuk dalam rumah, akan ada tamu jauh yang datang. Itu dulu, sekarang binatang seperti itu malah sudah jadi peliharaan segelintir orang. Dari pada waktunya terbuang, langsung saja Umar meluncur menuju tempatnya mengajar layaknya seorang pejuang.

Sekolah masih lengang. Umar memang agak cepat datang. Terkadang benar juga apa yang dikatakan orang, segala sesuatu yang dikerjakan hendaknya tak setengah hati, mulai dengan mencintai, kelak mendatangkan nikmat tak terperi. Hari ini, Umar bersemangat sekali karena materi yang diberi sesuai disiplin ilmu yang dimiliki. Semester ini, saatnya murid-muridnya mengenal sebuah teater tradisi yang dulunya di Bengkalis ini merupakan salah satu kawasan di mana berkembangnya Sandiwara Bangsawan. Inilah yang ia ajarkan. Telah berbulan-bulan Umar perintahkan mereka membuat garapan tentang cerita-cerita sejarah yang berlatar belakang kerajaan. Ya, hari ini jugalah mereka semua menunjukkan kebolehan.

Seperti biasa sebelum bertugas, Umar siapkan segala keperluan untuk memberi penilaian nantinya. Di luar tampak para siswa mulai meramaikan sekolah. Satu per satu guru sudah pula duduk di meja sambil berbenah. Tatkala bel sudah berbunyi nyaring, semua menuju ke kelas masing-masing. Tapi Umar masih tetap di tempat. Dalam sigaunya tadi, tiba-tiba ia menatap heran pada seekor kelembak yang terbang mengitari seisi kantornya. Ya... kelembak yang ia jumpai di rumahnya, di kendaraannya tadi juga. Seekor kelembak yang berwarna abu-abu lusuh bebercak-bercak.

Dalam keterpanaannya itu, sang kelembak menghampirinya. Bagai tersentak, Umar serasa hendak berteriak. Tapi terlanjur sekujur tubuhnya meriang. Ia merasakan ada yang datang. Menghampirinya serupa bayang-bayang. Antara percaya dan tidak, ia dikerumuni sejumlah persitiwa. Peristiwa sejarah yang serasa mulai tumpah.

Peristiwa masa lampau mengayau payau. Tak ada yang dapat diupayakannya selain pasrah. Kemudian peristiwa yang seakan-akan hidup menggeliat itu mejelma wajah-wajah. Sungguh ia tak mengenalnya. Di antara banyak wajah yang terpampang silih berganti di pandangannya itu, ada satu wajah yang kemudian betah ditatapnya. Lalu, wajah itu jualah tiba-tiba menyemburkan aroma sejarah, memuntahkan remah-remah peradaban. Dalam satu sentakan, wajah itu yang telah berubah seekor kelembak, ya kelembak sejarah terbang mendesup ke dalam diri Umar yang kini bagai tak memiliki pegangan. Apakah Umar kemasukan?

Tersadar dari ketakberdayaannya, cericau suara tertangkap di telinga. ‘’Pak Umar kenapa? Kurang sehat? Sebaiknya Pak Umar, istirahat saja dulu’’. Umar yang kini terkapar di lantai, menyadari tubuhnya bersimbah peluh dan melihat beberapa guru telah mengelilinginya.

Setelah berupaya bangkit, Umar memperbaiki penampilannya yang kusut masai. Ia pun minta guru-guru besurai. ‘’Tidak mengapa, hamba sehat...ya hamba mungkin saja hanya sedikit penat, persilahlah semua berundur ke masing-masing tempat.’’ Bahasa ucapnya itu membuat para guru mengernyit kening tanda ketidakmengertian sekaligus heran. Demikian juga Umar yang antara sadar atau tidak melafaskan kata-kata sedemikian.

Ia tergopoh-gopoh melangkah. Meninggalkan kebingungan yang masih bergelayut di benak tiap-tiap guru. Ia terus melangkah gagah menuju ke suatu arah. Ke manakah?

Sesungguhnya telah terjadi sesuatu dalam diri Umar. Ia seumpama berada di dua dimensi yang berbeda. Dalam pandangan yang kian tak dapat dimengerti oleh dirinya, terkadang ia menyaksikan dirinya berada di sebuah kampung dengan setting masa lalu. Namun pada detik lainnya, ia masihlah Umar seorang guru seni budaya yang sedang menuju ke kelas tempat ia mengajar.

Di dalam diri Umar dirasakan ada yang bergejolak. Perasaan senang untuk mengajar dan diselingi perasaan asing tentang sengkarut dendam dan kebencian tapi tak tahu dialamatkan kemana rasa itu. Kesemua rasa saling tumpang tindih, membuat Umar tampak ingin berteriak supaya apa yang dirasakan dalam dirinya segera tumpah berserak.

Tapi akhirnya sampai jua Umar di tempat tujuan. Begitu langkah pertamanya menginjak lantai kelas, yang ia lihat adalah ratusan kelembak memenuhi ruangan. Masing-masing terbang mengepakkan sayap sembari mengeluarkan serbuk-serbuk coklat dari tiap kepaknya. Umar terkesiap seketika. Pandangannya kembali kabur tapi tak lama berselang ketika mata terbuka, tak ditemukan wajah-wajah siswanya seperti biasa. Tak ada lagi doa dan salam hormat dari suara murid-muridnya.

Sekolah dan tentang segala hal yang berkaitan dengan itu semua seolah dirasakan Umar serupa dejavu, sesuatu yang terjadi entah bila, masa depan atau masa lalu. Kini Umar berada di sebuah rumah panggung. Merenung di sebuah tingkap sembari menatap jauh ke depan. Niur menjulang tinggi, kicau burung di pagi hari, kampung yang menyergam di depan mata dengan keasliannya tak membuat hati Umar tenang. Sepertinya ada yang sedang bertelagah di dalam dirinya.

‘’Ampun Panglima Umar. Semua persiapan sudah pun dilaksanakan. Tinggal menunggu perintah untuk segera kita bertolak.’’ Seseorang masuk menghadap, serta merta lamunan Panglima Umar lesap. Ya, Umar seorang guru sekolah kini telah menjelma sebagai seorang panglima. Sosok diri yang sebenarnya bagaikan ditarik waktu ke suatu masa jauh sebelumnya. Tapi hal itu tak lagi dirasakan dan terpikirkan oleh Umar, ia benar-benar berdiri segak sebagai Panglima Umar lengkap dengan pakaiannya.

Sejenak ia menghembuskan nafas sembari melihat raut wajah anak buahnya itu. ‘’Ya...kita memang harus segera bertolak, itulah yang semolek-moleknya.’’ Kemudian ia memberi isyarat pada anak buahnya agar menunggu di luar.

Sejenak masih tampak Panglima Umar ragu-ragu untuk beranjak. Keraguannya itu berkaitan dengan peristiwa sekitar tiga tahun lalu. Setelah ia meninggalkan Bukit Batu disebabkan beberapa hal yang membuat ia tak setuju. Abangnya bernama Encik Khamis yang bergelar Datuk Laksamana Raja Dilaut telah membuat kesilapan dengan memberi pinjaman Koto Bejalan pada pihak kerajaan Siak. Tak hanya itu, pelariannya itu juga diakibatkan Datuk Laksamana Raja Dilaut memberi izin pada orang-orang Salowatang untuk menetap di Bukit Batu bahkan mereka diberi kepercayaan untuk menjaga daerah laut. Itulah yang menyebabkan Panglima Umar merasa tersinggung sebagai kepala dari semua Panglima. Sakit hatinya itulah yang dibawanya sampai ke Pulau Merbau.

Dan ternyata apa yang disangsikan Panglima Umar benar adanya. Setelah beberapa waktu kemudian, Bukit Batu berhasil diduduki orang Salowatang. Kabar yang didengar dari saudagar yang datang ke Merbau mengatakan bahwa Abangnya Datuk Laksamana Raja Dilaut kini harus menyelamatkan diri entah ke mana sedang saudaranya,  Panglima Ayat harus terbunuh tatkala melakukan perlawanan dengan orang-orang Salowatang.

Dan kini kenyataan jadi lain, sakit hati Panglima Umar  pada abangnya itu justru telah menjadi dendam dan amarah pada orang-orang Salowatang. Sungguh, marwahnya sebagai anak watan terkoyak. Tanah kelahirannya telah pula dirampas orang lain. Tak semestinya ia berdiam diri lagi. Apapun yang terjadi ia harus menuntut bela. Para perampas itu harus diusir dari tanah Bukit Batu meski sampai titik darah penghabisan. Lalu sambil menggenggam Keris Tabik Alam, Panglima Umar pun melangkah dengan gagah.

Lancang kepunyaan Panglima Umar pun berlayar menghala ke Bukit Batu. Dengan berbekal sekebat niat untuk merebut kembali tanah kelahirannya serta hendak menuntut balas atas kematian Panglima Ayat saudaranya. Panglima Umar berdiri gagah di haluan. Lancang Bayan miliknya itu terus membelah arus dan riak. Bendera berwarna putih dan layar sepasang putih itu terus berkibar ditampar angin seolah-olah menjadi saksi atas keteguhan hatinya.

Semakin mendekati Bukit Batu, semakin pula melecit kerinduan dalam dirinya. Rindu pada saudara-saudara, rindu akan tanahnya. Kini tak ada yang lebih memalukan daripada membiarkan orang-orang asing memerintah di tanah datuk nenek moyangnya. Barangkali inilah yang namanya marwah tergadai berkecai. Panglima Umar benar-benar telah memaafkan kesilapan abangnya Encik Khamis alias Datuk Laksamana Raja Dilaut itu. Justru yang terbayangkan saat ini adalah ketika saudara-saudaranya beserta panglima yang ada di Bukit Batu berjuang untuk mempertahankan marwah kampung dan pada akhirnya harus menerima kekalahan. Di satu sisi, sebagai seorang Panglima, sudah sepantasnya ia merasa bersalah sekaligus malu karena membiarkan hal itu terjadi.

Namun ternyata berita kedatangan Panglima Umar ke Bukit Batu telah diketahui orang-orang Salowatang. Dan dengan segera mereka semua mempersiapkan diri untuk angkat kaki dari Bukit Batu. Mereka merasa gentar lantaran tak hanya takut pada kegagahan dari Panglima Umar tapi juga yang ditakuti adalah Keris Tabe Alam yang dipakai Panglima Umar sebagai senjata ampuh yang tak ada tandingannya.

Begitu berlabuh, darah Panglima Umar pun berbuncah. Sudah tak sabar rasanya ia membuktikan bahwa anak watan Bukit Batu tidaklah lemah dengan begitu saja menerima kekalahan tanpa berbuat apa-apa. Tapi kemudian yang disaksikan justru lengang. Tampaknya tak ada lagi orang-orang Salowatang yang kelihatan.

Keris masih tergenggam di tangan. Panglima Umar menyikat pandangan pada keseluruhan celah kampung dan kemudian ia ternampak sebuah perahu orang Salowatang yang tak berapa jauh di laut. Karena rasa benci dan dendam yang berkecamuk, maka dikejarnya perahu itu dengan lancang Bayannya. Begitu merapat, ia pun mengamuk sejadi-jadinya. Dengan tangkas ia melompat kesana kemari, menusuk siapa saja yang ada di dalam perahu itu, menerjang dan memporak-porandakan seisi perahu.

Tak perlu waktu yang panjang untuk Panglima Umar menuntaskan segalanya. Dalam keadaan terengah-engah, masih tertangkap di mata, ada sekumpulan orang-orang yang tersudut menepi dengan muka merintih kesakitan. Tapi entah kenapa kemudian matanya kian kabur. Tubuhnya bergetar. Kepalanya seperti tertusuk-tusuk. Serasa ada sesuatu yang akan lepas luncas dalam dirinya. Ia meronta-ronta, menjerit serupa orang kerasukan.

‘’Bangsaaat...Keparaaat..Laknaaat...!  Mika kira kami semua takuuut!’’

Kejap kemudian tubuhnya rubuh di lantai. Seiring itu juga dirasakannya ada bayang berkecai. Sejumlah ingatan masa lalu berangkat pergi. Yang tinggal kini suara rintih dan sisa tangis. Ia coba membuka mata lalu semua serba tak diduga. Ia kini adalah Umar seorang guru seni budaya. Apa yang terjadi pada dirinya, sungguh tak dapat untuk dikata. Ia perhatikan sekeliling. Meja kursi bagai habis dibanting. Wajah murid-muridnya yang menyimpan runsing. Semuanya tampak ketakutan bagai habis melihat setan. Dari kejauhan, tampak guru-guru berlarian ke arahnya, ke kelas yang kini semrawutan.

‘’Astaghfirullah...Pak Umar kemasukan...’’

‘’Pak Umar kemasukan...’’

‘’Ya...Pak Umar kemasukan...setan’’

Sementara Umar hanya berkedipan. Ia tersandar bagai tidak terjadi apa-apa kejadian. Matanya kini tertuju pada seekor kelembak yang terbang keluar melalui tingkap. Lalu kemudian di udara, kelembak sejarah itu pun lesap.

Pulau Rindu, Febuari-Maret 2012


Jefri al Malay
Lahir Sungai Pakning 16 Oktober 1979. Menulis cerpen, puisi dan esai. Kini tercatat sebagai mahasiswa Universitas Lancang Kuning jurusan Sastra Melayu dan Tenaga Pengajar di SMA Negeri 2 Bengkalis.
Continue reading →

Hantu Duit

0 komentar
 Oleh Hang Kafrawi 


‘’Masalah ini tidak bisa dibiarkan begitu saja, harus ada penanggulangan khusus untuk menyelesaikannya!’’ ujar Ketua Hantu Duit geram.

‘’Tapi...’’

‘’Siapa nama manusia itu?’’ Ketua Hantu Duit memotong kalimat anak buahnya. Ia tak mau dipusingkan dengan laporan kegagalan. Ketidakbecusan anak buahnya membuat dirinya terhina. Sebenarnya, Ketua Hantu Duit heran juga, ketika dapat laporan dari anak buahnya tentang seseorang menolak bujuk rayu Hantu Duit untuk memanfaatkan duit sebagai senjata paling ampuh. Selama ia menjabat ketua perkumpulan Hantu Duit, itu kira-kara 100 abad yang lalu, belum pernah manusia menolak duit sebagai keperkasaan.

‘’Manusia seperti apa itu?’’ tanya Ketua Hantu Duit dalam hati. Keheranannya tak pernah disampaikan pada anak buahnya. Ini untuk menjaga kestabilan perkumpulan yang ia ketuai.

‘’Orang memanggilnya Atah Roy, Pak Ketua,’’ ucap salah seorang anak buah.

‘’Atah Roy? Di negara mana Atah Roy itu hidup?’’ Ketua Hantu Duit coba menelusuri manusia aneh itu.

‘’Indonesia, Pak Ketua,’’ tambah salah seorang anak buahnya yang lain.

Mendengar kata Indonesia, Ketua Hantu Duit tertawa sejadi-jadinya, bahkan sampai berguling-guling. Ia merasakan dadanya mau pecah karena tertawa terbahak-bahak. Baru kali ini ia dapat laporan orang Indonesia tak suka dengan duit. Padahal sebelumnya di Indonesia itulah para Hantu Duit sangat perkasa. Para Hantu Duit yang bertugas di Indonesia selalu dapat penghargaan tertinggi dari perkumpulan ini. Bahkan menurut pembesar-pembesar yang pernah bertugas di Indonesia, di sanalah pekerjaan Hantu Duit sangat mudah.  Tentu saja laporan anak buahnya tak masuk akal di benak Ketua Hantu Duit. Namun demikian, Ketua Hantu Duit coba menenangkan diri. Ia betul-betul merasa aneh. Dengan sekuat tenaga, Ketua Hantu Duit meredam tawanya, walaupun di bibirnya senyum masih meregah, tanda menahan tawa.

‘’Ini laporan yang sangat menarik...,’’ ujar Ketua Hantu Duit menahan tawa. ‘’Aku benar-benar ingin tahu sosok Atah Roy itu. Siapa yang bisa menceritakan padaku?’’ pinta Ketua Hantu Duit masih menahan tawa.

Seluruh Hantu Duit yang berada di aula pertemuan itu, kira-kira berjumlah 150 hantu, menunjukkan tangan mereka. Mereka sangat antusias ingin menceritakan pada ketua mereka tentang sosok Atah Roy ini. Ada yang sampai berdiri ke atas meja pertemuan, ada pula yang maju ke depan mendekati Ketua Hantu Duit.

Melihat antusias yang luar biasa dari anak buahnya untuk menceritakan sosok Atah Roy, muka Ketua Hantu Duit berubah. Ia benar-benar tak menyangka bahwa sosok Atah Roy meninggalkan bekas di hati anak buahnya. Ia dengan kewibawaan sebagai ketua, menenangkan anak buahnya.

‘’Tenang, tenang dan harap tenang. Aku minta, kalian duduk kembali,’’ Ketua Hantu Duit serius. ‘’Aku akan menunjuk langsung siapa yang akan menceritakan pada aku mengenai Atah Roy ini,’’ kata Ketua Hantu Duit dengan mata menyapu semua anak buahnya yang ada di aula itu.

Mata Ketua Hantu terbuka lebar. Ia betul-betul tak menyangka bahwa seluruh anak buah terbaik yang dimiliki perkumpulan, berada di pertemuan ini. Senyum yang tadi menghiasi mulutnya, kini berubah jadi cemas. Ia berpikir, tak mungkin anak buahnya yang terhebat dan selalu berpretasi bagus ini, tak mampu membujuk seorang Atah Roy. ‘’Siapa kali Atah Roy itu?’’ pikir Ketua Hantu Duit dalam hati.

Anak buahnya makin ribut, karena terlalu lama ia memutuskan siapa yang dipersilakan untuk menceritakan tentang Atah Roy. Mereka semua ingin berbagi cerita pada ketua, bagaimana pengalaman mereka berhadapan dengan manusia satu itu.

Mereka sudah tak tahan lagi memeram kisah-kisah selama bertugas menghasut Atah Roy.

‘’Putuskan sekarang Pak Ketua, kami sudah tak tahan menyimpannya di dalam dada kami ini,’’ teriak salah satu anak buah. Anak buah yang lain ikut berteriak.

‘’Cepat Ketua, kami sudah tak tahan lagi.’’

‘’Betul Pak Ketua,’’ teriak yang lain serentak.

Ketua Hantu Duit betul-betul dibuat bingung. Matanya masih memandang semua anak buah di aula itu. Ia betul-betul tak percaya, tak mungkin anak buahnya merekayasa cerita tentang Atah Roy untuk menurunkan pamor dirinya sebagai Ketua Hantu Duit.

Dan dengan turun pamornya, maka dengan mudah lawan politiknya menjatuhkannya dari jabatan ketua. ‘’Ini bukan rekayasa. Tidak mungkin mereka mau mengkudeta aku,’’ ucap Ketua Hantu Duit dalam hati.

Semakin anak buahnya berteriak, semakin lincah pula bola mata Ketua Hantu Duit bergerak menyapu seluruh anak buahnya di aula itu. Tiba-tiba mata Ketua Hantu Duit berhenti ke salah seorang anak buahnya yang selama ini memiliki prestasi sungguh menganggumkan.

Anak buahnya ini pernah meluluhkan hati seorang guru yang berpegang teguh pada kejujuran, harus menghambakan diri pada duit. Sekarang guru itu kaya raya, tapi kejujurannya semakin miskin. Prestasi besar lainnya adalah menghasut seorang presiden untuk berpihak pada yang berduit saja, sehingga di negara itu rakyatnya miskin, sementara pejabat-pejabat dan orang yang dekat dengan penguasa hidup serba mewah.

‘’Kamu, saya percayakan untuk menceritakan tentang Atah Roy itu,’’ Ketua Hantu Duit menunjuk anak buahnya yang berprestasi mengagumkan itu.

‘’Bapak Ketua takkan percaya dengan apa yang saya ceritakan. Semuanya di luar jangkauan kita selama ini,’’ ujar anak buah yang berprestasi itu.

‘’Maksud kamu?’’

‘’Betul-betul tak masuk akal, Pak.’’

‘’Ceritakan sedikit saja,’’ pinta Ketua Hantu Duit.

‘’Ketika anak saudaranya sakit dan Atah Roy sangat butuh duit untuk pengobatan anak saudaranya. Ia ditawari mengatasi masalah duit dengan mengatakan bahwa tokoh si anu, tokoh politik yang ingin jadi gubernur Pak, adalah tokoh yang telah berjasa di kampungnya. Atah Roy menolak dengan tegas, Pak,’’ anak buah yang berprestasi itu mulai bercerita.

‘’Siapa betul Atah Roy itu, sehingga orang berharap ia bicara?’’ tanya Ketua Hantu Duit penasaran.

‘’Atah Roy itu di kampungnya terkenal sebagai tokoh yang jujur, Pak. Apapun yang dikatakan Atah Roy, orang kampung pasti mengikutinya. Dia juga terkenal taat beribadah, tak pernah berbuat kesalahan yang merugikan orang kampung, Pak. Pokoknya Atah Roy itu seperti dewa,’’ tambah anak buah berprestasi itu lagi.

‘’Bagaimana kehidupan Atah Roy itu?’’ Ketua Hantu Duit menyelidiki.

‘’Biasa Pak, seperti kebanyakan manusia lainnya.’’

‘’Maksudku kerjanya.’’

‘’Subuh sudah bangun. Setelah Salat Subuh berjamaah di masjid, ia langsung ke kebun karet...,’’

‘’Maksudku kekayaannya?’’ potong Ketua Hantu Duit agak emosi.

‘’Tidak kaya dan tidak juga miskin, Pak. Tapi dia berkeyakinan bahwa duit bukanlah segala-galanya,’’ anak buah berprestasi itu menambah.

‘’Aku jadi bingung. Maksudmu seperti apa?’’

‘’Pernah perusahaan besar bergerak di bidang hutan, mau menyogok dia agar menandatangani persetujuan hutan di kampungnya dikelola perusahaan itu, namun Atah Roy menolaknya. Padahal kalau Atah Roy menandatangani persetujuan tersebut, pasti orang kampung juga ikut menandatangani. Berbagai usaha dilakukan perusahaan itu, termasuk memberinya duit berlimpah, tapi Atah Roy tetap menolak. Pada saat itu, Atah Roy sangat butuh duit untuk membiayai operasi adik kandungnya,’’ panjang lebar anak buah yang berprestasi itu bercerita pada Ketua Hantu Duit.

‘’Kenapa Atah Roy menolak?’’ Ketua Hantu Duit makin penasaran.

‘’Itu saya tidak tahu, Pak. Bukankah kerja saya cuma menghasut manusia menerima duit. Kalau masalah itu Bapak tanyakan pada saya, tidak tepat Pak, karena ada hantu lain yang bertugas masalah itu,’’ jelas hantu berprestasi dengan polos.

‘’Baik, aku yang akan turun langsung mengatasi Atah Roy itu,’’ ujar Ketua Hantu Duit yakin.

***

‘’Tah, kami berharap Atah menerima duit ini,’’ ucap lelaki tampan dengan pakaian necis di ruang tamu rumah Atah Roy, sambil menyodorkan duit hampir satu koper.

‘’Aku ini memang orang miskin, tapi aku tidak akan mengadaikan tanah aku ini disebabkan duit,’’ tegas Atah Roy menolak pemberian lelaki tersebut.

‘’Tapi Tah, dengan duit ini, Atah bisa melakukan kebaikan yang lebih banyak lagi untuk orang kampung,’’ tambah kawan lelaki berpakaian necis itu. Lelaki itu juga berpakaian necis, bahkan lengkap pakai dasi.

‘’Sudah aku cakap, tidak mungkin aku ini menggadaikan tanah kelahiran aku gara-gara duit. Aku memang perlu duit, tapi tidak begini caranya aku dapat duit. Tanah kami ini harus ada sampai kiamat, kami tak ingin tanah kami hilang disebabkan kerakusan,’’ jawab Atah Roy tegas.

Ketua Hantu Duit keluar dari duit di koper itu. Dengan memasang tampang ramah, Hantu Duit mulai berbisik di telinga Atah Roy.

‘’Roy, duit ini bukan hanya untuk kepentingan engkau seorang. Engkau harus membuka diri sedikit saja untuk membantu keluarga engkau dan orang kampung. Dengan duit sebanyak itu, dapat engkau gunakan menyelamatkan orang kampung, sekaligus diri engkau dan keluarga,’’ bujuk Ketua Hantu Duit.

‘’Astaqfirullahalazim,’’ Atah Roy mengucap.

‘’Sesekali Roy, bukan sering engkau berbuat seperti ini. Aku yakin, orang-orang tidak akan memandang rendah pada engkau, sebab duit ini akan engkau gunakan untuk membantu orang-orang kampung. Orang kampung memerlukan pertolongan engkau, Roy. Tengoklah Usup Lebam, anaknya sudah 4 bulan sakit dan terbaring di rumah, tanpa dibawa ke rumah sakit, karena tidak memiliki biaya. Begitu juga Siti Kasmah, suaminya sudah bertahun-tahun tak balik, sehingga ke 5 anaknya tak terurus. Banyak lagi orang kampung engkau terbantu dengan duit yang engkau terima itu. Jangan tunggu lagi Roy, inilah kesempatan engkau menolong mereka,’’ Ketua Hantu Duit makin gencar merayu Atah Roy.

Air mata Atah Roy mengalir di pipinya. Atah Roy benar-benar tak mampu membuang bayangan orang-orang terdekatnya yang sedang dilanda kesusahan di benaknya.

Atah Roy pun terkenang pada Syuib Lebah yang kakinya digiling mesin sagu 7 bulan lalu dan sampai sekarang tak diobati. Pikiran Atah Roy juga berjalan ke masalah Kasmah dan anak-anaknya, karena suaminya Gani Engkang menghilang ketika pergi menjaring.

Atah Roy betul-betul berada dalam keadaan yang sangat membingungkan.

Berkali-kali Atah Roy menatap duit di dalam koper itu. Berkali-kali pula ia membuang muka. Kalau diterima duit ini, maka tanah kelahirannya dikuasai orang lain dan orang kampung akan teraniaya sampai ke anak cucu mereka. Kalau tak diterima, orang kampung memerlukan bantuan untuk mengatasi masalah yang sedang mereka hadapi.

Atah Roy berada di dua masalah yang sangat membingungkannya, namun ia harus membuat keputusan, walaupun keputusan itu nantinya menyakitkan. Atah Roy memandang kedua orang yang berada di depannya dengan berlinang air mata. Ia menarik napas panjang.

‘’Dengan berat hati, aku harus...,’’ air mata terus membasahi pipi Atah Roy.

‘’Tunggu apa lagi Roy, ini kesempatan membantu orang-orang kampung engkau, duit ini bukan untuk engkau sediri,’’ bujuk Ketua Hantu Duit.

‘’Aku tak mau menggadai tanah ini, bawak balik duit kalian ini!’’ ujar Atah Roy tegas.

Ketua Hantu Duit pun terkejut, dan langsung menghilang dalam tumpukan duit di koper itu.

‘’Masih adakah manusia seperti ini? Ah, mati aku,’’ suara Ketua Hantu Duit terdengar lirih.
***

Hang Kafrawi, Ketua Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya, Unilak. Selain menulis karya sastra ia juga sutradara teater di komunitas Teater MATAN.
Continue reading →

Menjadi Batu

0 komentar
Oleh : Taufik Ikram Jamil

Dinihari.

“Pasti dari Jim,” kata hatiku.

Sambil mengangkat gagang telepon itu, aku membayangkan Jim kembali tercungap-cungap menceritakan keluarga Niru menjadi batu. Lalu ia bertanya bagaimana hal itu bisa terjadi, mengapa harus menjadi batu, dan apa yang dapat dilakukan untuk membantu mereka. Ber­kali-kali ia ulangi pertanyaan tersebut, ditingkahi desah ketakutan dan keasingannya menghadapi kenyataan itu.

“Ketika kutinggalkan sekejap tadi, hanya leher sampai kepala mereka saja yang belum menjadi batu,” ka­ta Jim seperti yang sudah kuduga, ya seperti yang sudah kuduga. “Aku kira sebentar lagi semua tubuh me­reka akan menjadi batu, tergolek bagai barang tak berguna. Tapi mereka manusia kan?”

Aku diam, tetapi aku sudah membayangkan, pertanyaan terakhir itu akan dijawab oleh Jim sendiri dengan mengatakan bahwa memang benarlah mereka manusia. Tetapi manusia yang telah menjadi batu tidak akan dapat memfungsikan dirinya, padahal bagian terpenting dalam hidup adalah memfungsikan diri. Sampai pada kalimat tersebut, Jim akan ter­sen­tak sendiri karena ia mafhum bahwa memfungsikan diri adalah sesuatu yang abstrak. Jangan-jangan men­jadi batu merupakan upaya memfungsikan diri juga.

“Tapi mengapa harus menjadi batu?” tanya Jim. “Bagaimana caranya mereka menjadi batu?” lan­jut­nya. “Tak masuk akal, menjadi batu membiarkan diri melakoni benda mati,” kata Jim.

Beberapa saat ia terdiam.

“Ya, mereka membunuh diri,” simpul Jim. Cepat-cepat ia mengatakan, “Oh, betapa mengerikan. Aku takut....”

“Jim...!” panggilku. Tak ada jawaban. “Jim!” ulangku.

“Kau kan tahu betapa Niru adalah bagian dari ke­luargaku juga. Lima belas tahun yang lalu, bukan rentang waktu yang panjang untuk menelusuri hu­bungan kami. Ketika ia masih bujang lagi dan kini pu­nya anak bersusun paku,” kata Jim datar. “Niru telah mengantarkan aku ke jenjang karier seperti sekarang dan menjadi modal besar ba­giku sampai diangkat menjadi profesor. Ia dan ke­luarganya —sebelum kawin— memang po­hon penelitianku, tetapi aku tak pemah meng­ang­gap­nya sebagai sesuatu yang ber­asal dari luar diriku, sehingga ke­tika aku me­ne­li­ti­nya atau orang kampung se­ka­lian, aku me­rasa meneliti diriku sen­diri,” kata Jim.

Tentu saja aku tahu karena akulah yang membawa Jim pertama kali ke desa Niru, se­kitar 150 km dari sini, lan­tas berkenalan dengan Niru. Ya, Niru masih bu­jang bedeng­kang waktu itu; tak lama se­­telah ber­kawan akrab de­ngan Jim, ia yang kawin de­ngan orang se­kam­pungnya, tetap meman­du Jim di la­pang­an. Tak meng­he­rankan kalau di antara ke­duanya terjalin hu­bung­an an­­­­­tara pemandu dengan peneliti sampai di luar batas. Ketika Jim kembali ke negeri asalnya se­te­lah tiga tahun menetap di desa Ni­ru, aku menjadi pe­rantara hubungan mereka ber­dua. Ketika Jim dikukuhkan sebagai doktor di bidang yang ditelitinya yak­ni antropologi ekonomi, Niru dan aku diundang meng­hadiri acara tersebut. Sayang, Niru tak mau da­tang dengan alasan yang tidak jelas walau­pun segala sesuatunya ditanggung oleh Jim.

Hasil penelitian Jim di desa Niru sebenarnya ti­dak­lah terlalu istimewa bagiku, barangkali di­se­bab­kan perhatian kami yang berbeda dan semua per­masalahan di dalam penelitiannya sekaligus kualami sendiri dalam bentuk lain. Dalam kerangka yang lebih kecil dan sederhana dapatlah disebutkan bahwa pe­nelitian Jim menggambarkan bagaimana di desa Niru terdapat berbagai hal yang teramat luar biasa secara ekonomi, tetapi masyarakatnya terbelakang. Suku Montai, begitu orang menamakan asal Niru, se­be­narnya hampir tergolong primitif, tetapi hidup di te­ngah ladang minyak yang kaya raya dengan per­alatan cang­gihnya. Belum lagi pembangunan per­ke­bunan besar-besaran yang tak terbayangkan se­be­lum­nya. Suku Montai berdampingan dengan hal-hal yang wah itu, namun jarak di antara keduanya sangat jauh seperti tak dapat diukur lagi secara metrik, tetapi oleh waktu. Sesuatu yang sebenamya secara umum di­nik­mati tidak saja oleh Niru dan Suku Montai, tetapi ba­nyak orang lain lagi termasuk aku. Mereka dalam keadaan yang tidak bisa membela diri terlebih lagi tidak punya sembarang pembela pun.

“Halo..., Hallo...,” Jim agak berteriak. “Kau dengar atau tidak?”

“Teruskan, teruskan....”

“Aku takut, sangat takut. Aku belum pernah setakut ini.”

Aku menarik napas. Tam­paknya aku harus mela­kukan tindakan karena sudah tiga ka­li ia menel­epon, keta­kut­annya terasa semakin besar. Tetapi belum sem­­­pat aku me­nye­lidiki keberadaannya se­per­ti tin­dakan apa yang di­ha­rap­­kannya dariku, hubungan ka­mi terputus. Cukup lama aku mem­biar­kan gagang telepon melekap di telingaku dengan harapan Jim berbicara lagi, tetapi yang terdengar hanya tut ... tut ... tut....


***

Dinihari.

Aku membayangkan saat ini Jim berlari dari warung telepon yang seingatku ter­le­tak sekitar dua kilometer dari rumah Niru kalau mungkin ia menelepon dari tempat itu, menuju rumah sahabat kami tersebut. Keringat sebesar jagung segera saja mengalir di tubuhnya, dimulai dari puncak hidungnya yang tercacak. Se­bentar ia tercegat di pintu dan sedikit saja ia me­no­lak daun pintu dengan ujung telunjuk, cahaya pelita sudah menyergap mukanya. Wajahnya kelihat­an menyala karena butir-butir keringat seperti tersim­bah cahaya pelita yang merah kekuning-ku­ningan. Angin berkibar, wajahnya pun terlihat berayun. Jim kembali memutarkan badannya, turun ke tanah. Ia me­n­cang­kung pada pipa minyak yang bergaris tengah sekitar 80 sentimeter dan mem­ben­tang tak sampai 15 meter dari rumah Niru. Me­ne­nga­dah. Cahaya bulan se­peng­gal dan kerlip-kerlip bin­tang yang ter­sapu awan hitam tidak menimbulkan sembarang ke­san elok di hatinya, malah ia semakin gelisah.

Jim tak tahu apa yang harus dilakukannya. Ka­ki­nya tiba-tiba saja tertuntun kembali masuk ke dalam rumah Niru. Berat. Langsung saja matanya menyer­gap Niru yang tergolek di sudut. Kaki sampai dada lelaki itu sudah membatu, tinggal mukanya yang ranum seperti tidak mengalami apa-apa, mengajak Jim berbincang. Tak jauh dari Niru, enam anak kecil juga dalam keadaan demikian, menusuk-nusuk hati Jim. Juga Siah istri Niru yang tergeletak dekat dapur, membuat pemandangan di dalam rumah ini bagaikan satu hamparan yang terasa amat asing.

“Aku panggil Tuk Batin ke sini,” kata Jim.

“Jangan!”

“Bontik?”

“Jangan. Duduk saja di sini, sebelum fajar me­nying­sing,” kata Niru.

“Atau Katik, Leman, Ra­ut, dan... .”

Terdengar Niru ketawa kecil. Matanya yang bundar memandang tubuhnya yang sudah membatu. Jim meng­ikuti arah mata itu dengan pan­dangan tanpa ia tahu apa maksudnya. Terasa begitu cepat waktu berlalu, padahal baru beberapa jam sebe­lum­nya Jim dan Niru masih berbicara perkara biasa-biasa saja. Siah dan anak-anaknya ikut terlibat dalam pertemuan dua sahabat lama itu. Jim me­nyadari ke­beradaan Niru dan keluarganya seperti se­k­a­­­­rang tak lama setelah ia mengajak Niru berjalan untuk makan angin di luar. Dulu, menjelang dini hari mereka selalu ber­jalan ke luar, ke pinggir hutan se­latan. Sinar mau­pun cahaya dari maskapai minyak dan pabrik-pabrik sawit serta be­deng-be­deng­nya yang di­pan­dang dari kegelapan kampung ini meskipun membuat hati mereka sayup, juga mampu menghidangkan suasana lain. Sesuatu yang sulit diterjemahkan kalau ti­dak berdiri pada bidang Niru maupun Jim.

Saat pertarna kali menelepon dini hari tadi, Jim me­mang mengatakan bahwa apa yang terjadi se­ka­rang pada Niru dan keluarganya seperti tiba-tiba. Se­telah berkali-kali mengajak berjalan ke luar yang de­ngan senyum ditolak Niru, lelaki itu akhimya menge­luar­kan kakinya. Mengeluarkan kaki yang sudah men­jadi batu. Jim terpelanting, tetapi tak lama kemudian ia cepat menguasai. Ketika Niru menunjuk kaki anak-anak dan istrinya, Jim pun sadar bahwa sesuatu te­lah terjadi pada keluarga ini. Kesimpulan menjadi batu dibuat Jim setelah ia melihat makin malam se­ma­kin banyak bagian tubuh Niru maupun anggota keluarganya yang menjadi batu.

“Tapi Niru, anak-anak, dan istrinya seperti tidak mengalami apa-apa,” kata Jim lewat telepon beberapa jam lalu. “Sungguh, semula aku tak percaya. Tetapi ma­na mungkin aku mempertahankan ketidak­per­ca­ya­an itu kalau aku melihat dengan mata kepalaku sen­­diri bagaimana perlahan-lahan badan mereka berubah menjadi batu. Aku memegang batu itu, keras sebagaimana layaknya batu. Kau tahu bagaimana batu kan?” kalimat Jim bertubi-tubi. Cepat pula ia ber­tanya, “Kau percaya cerita ini?”

“Percaya.”

“Kau percaya?”

“Karena kau tak mungkin berbohong.”

“Ya, aku tak mungkin berbohong.”

“Dan kau mendengar bagaimana Niru terus ber­bi­cara seperti biasa. Ia akan menceritakan ikan yang meng­­hilang dari sungai, damar yang sulit dicari, dan....”

“Bagaimana kau tahu?”

Aku berdehem.

“Bagaimana kau tahu?” desak Jim.

“Lantas, apa lagi yang dapat dikatakan Niru?”

“Dan menjadi batu se­be­narnya bukan pilihan kan? Te­tapi mengapa mereka men­jadi batu?”

Aku ingin menjawab per­ta­nyaan itu, tetapi hujatan Jim _ya, aku katakan se­ba­gai hujatan_ tentang men­ja­di batu tersebut terus sa­ja me­lun­cur dari mulutnya. Aku ingin mengatakan, tapi nan­­ti­lah .... Ya, nanti saja. Apa­lagi waktu itu, ti­ba-tiba sa­­ja sambungan telepon ter­putus dan aku hanya dapat men­­­de­ngar suara tut ... tut ... tut ....

“Sungguh aku tak dapat me­ngerti kalau menjadi batu sebagai suatu pilihan.”

Apa yang dapat dilakukan dengan menjadi batu, semen­tara sekian pertanyaanku kepada Niru ha­nya­lah sia-sia. Ia sedikit pun tak mau menjawab perta­nya­anku. Ia hanya mau mengenang ma­sa-masa lam­pau, soal-soal kemesraan, dan berc­e­rita tentang ka­yang­an yang sudah hilang,” kata Jim dalam telepon sebentar tadi yang kembali terngiang-ngiang dalam telingaku. “Ini sungguh amat me­nakut­­­­­kan aku. Aku takut,” sam­bung Jim, terdengar suar­a­nya tersendat-sendat.


***

Sampai menjelang subuh, telepon masih ter­len­tang. Belum ada lagi panggilan dari Jim, tapi aku yakin bahwa ia segera menelepon. Barangkali selama me­nung­­gu ini aku sempat tertidur dan terjaga karena su­ara batuk istriku. Kudengar juga suara anakku me­nge­rang. Kendaraan mulai lewat di depan rumah. Dari jen­dela, aku melihat bulan tergantung yang caha­ya­nya pucat karena disambar cahaya merkuri di tengah jalan. Bayangan Jim menyeruak di antara cahaya re­mang-remang di dalam rumah ini. Ia seperti duduk di ruang tengah, membaca majalah berita yang kubeli sore tadi. Kakinya ter­ke­pang, kadang-kadang bergoyang-goyang se­ba­gai tanda bahwa ia me­nyenangi bacaan itu.

“Mengapa kau tak per­nah bercerita tentang ham­­­­­­­­­­paran batu yang ber­ben­tuk manusia dan per­alatan hidupnya sehari-hari di sini?” tanya Jim su­atu malam, mungkin tu­­­­juh tahun yang lalu. Ia me­lihat halaman majalah yang memuat tulisan itu dan menyodorkan ke­pa­da­ku. Pandangannya ti­dak lepas dari mataku me­s­­­­kipun aku sudah meng­­­­­­­ambil majalah ter­sebut sambil lewat saja, tak sedikit pun mem­ba­canya kecuali me­man­dang gambar-gambar ham­­paran batu tersebut. Dari mata Jim aku tahu ia sebenamya berkali-kali melontarkan pertanyaan serupa, “Mengapa kau tak pernah cerita ada ham­paran batu yang berbentuk manusia dan peralatan hi­dupnya sehari-hari di sini?”

Sebagai jawabannya aku memandang langit-la­ngit, kemudian kembali memandang majalah itu dan men­cari nama penulisnya. Tanpa sengaja aku me­man­dang gambar batu-batu yang berbentuk manusia, tilam, sendok, lesung, bantal, bahkan alat kelamin le­laki maupun perempuan, yang pernah kusaksikan beberapa kali. Ada juga batu berbentuk kapal, limau, dan entah apa lagi. Konon, batu-batu tersebut adalah wujud dari tindakan sekelompok manusia yang tak mungkin lagi berbuat lain dalam menghadapi ge­lom­bang hidup terutama dalam menolak perintah raja. Sekarang batu-batu itu membesar dan konon pada suatu saat kelak akan memakan lahan sehingga mem­persempit dan semakin mempersempit lahan yang ada. Setahuku, ada dua hamparan batu-batuan seperti itu di sini. Satu hamparan di pinggir pantai dan satu hamparan lagi di dalam sebuah goa di hutan lebat.

Tak ada tanggapan Jim terhadap jawabanku itu. Tapi ia tidak meneruskan bacaannya, malahan masuk ke dalam kamar yang memang kusediakan untuknya kalau ia datang ke sini. Tak lama kemudian ia sudah keluar lagi dengan amat necis. Bau parfumnya me­nye­­ngat sampai aku harus mendengus-denguskan hidung. Seperti biasa ia hanya tersenyum kecil me­li­hat kelakuanku itu sambil meng­­angkat bahu. Me­nyu­­lut rokok sebatang dan menghisapnya dalam-dalam, ia kemudian me­nga­takan ingin keluar. Tak di­ajak­nya aku, tetapi aku menawarkan diri untuk menemaninya sekedar ba­sa-basi karena malam itu aku menunggu tamu, se­orang teman lama. Dini ha­ri, ketika mataku sudah terlayang, baru Jim pulang dengan bau penuh bir.

Keesokannya, pagi-pa­gi lagi Jim mengatakan akan pulang ke Tanah Air­nya. Aku agak terkejut ka­re­na hal ini di luar prog­ram­nya semula. Katanya, ia akan berada di sini ba­rang sepekan dalam urus­an apa yang disebutnya sebagai mengecas baterai, tetapi baru tiga hari ia su­dah merindukan keluar­ga­nya. Aku tak banyak tanya saat itu dan apa pula gunanya karena Jim tidak pemah dapat dihalangi. Niatnya ke desa Niru dengan sen­diri­nya batal walaupun aku sudah mengingatkannya. Sejak saat itu Jim tidak pernah lagi ke sini dan kabar mengenainya kudengar sekali-sekali. Sampailah be­berapa hari lalu saat ia meneleponku dan me­nya­ta­kan keinginannya untuk datang ke sini.

“Aku ingin reuni di Montai, tentu terutama dengan Niru dan keluarganya,” kata Jim seraya tidak lupa mengatakan bahwa ia sudah diangkat menjadi pro­fe­sor. Di bandar udara Jim mengoceh banyak hal me­nge­nai kedatangannya sekali ini terutama tentang penghormatannya atas Montai dan Niru khususnya yang mengantarkannya ke jenjang karier seperti se­karang.

Di desa itu sebagaimana diungkapkannya lewat te­lepon, Niru maupun orang sedesanya tetap seperti da­hulu. Tak ada perubahan. Kalaupun ada peru­bah­an, kelapa sawit di sana sudah menghasilkan sekian kali panen, jalan yang lebar, dan tanah yang kelihatan semakin tandus. Bangunan-bangunan kilang minyak makin menjulang, kendaraan tiada henti-hentinya lalu-lalang di desa itu. Persekitaran desa Niru se­ma­kin terang benderang dengan berbagai fasilitas, ter­ma­suk hotel dan warung telepon yang boleh dika­ta­kan tidak begitu jauh dari rumah Niru.

Di sisi lain untuk menggambarkan keadaan tempat yang didiami Niru dan keluarganya, Jim cukup mengatakan bahwa rumah Niru masih terbuat dari kulit kayu dan tidak memiliki listrik. Rumah atau lebih tepat dikatakan pondok itu pun sudah mundur sampai tujuh kali, sehingga makin terpuruk ke dalam hutan karena pengembangan ladang minyak dan perkebunan. Jim juga mengatakan, tanah yang dibe­linya seluas dua hektar untuk Niru dan sejumlah orang sebagai tanda mata itu sudah berpindah tangan tanpa ganti rugi sepeser pun dan di atasnya telah ber­diri berdegam sebuah hotel. “Ketika kutanyakan hal ini, Niru hanya mengatakan: payah, payah...,” kata Jim.

Waktu itu aku tak sem­­­­­pat mengatakan apa saja yang telah dilakukan Niru dan warga kam­pung itu, bahkan kami di kota ini. Perlu waktu khu­sus untuk meng­a­ta­kannya kepada Jim, tidak cukup hanya melalui te­lepon. Aku berniat se­kali mengatakan hal ini kepa­danya ketika ia pu­lang nanti. Tak ada mak­sud apa-apa kecuali agar ia paham bahwa kami tidak pernah menyerah kepada keadaan. Baik­lah, setidak-tidaknya aku akan katakan sepatah dua kata tentang hal itu ketika Jim menelepon lagi yang kini sedang kutunggu-tunggu.


***

Ternyata penantianku tidak sia-sia. Persis saat azan subuh mulai berkumandang, telepon berderak. Suara napas Jim yang kukenal segera menyambar telingaku, sementara benakku membayangkan bahwa Jim akan mengabarkan kisah baru yang jauh lebih seru. Dari desah napasnya pula aku dapat meraba bagaimana Jim tercungap-cungap, menelan air liurnya beberapa kali, dan tak henti-hentinya mengusap mu­ka. Ketika kutanyakan khabarnya, Jim menjawab dengan sedu-sedan.

“Sudahlah Jim, bawa bertenang.”

Lama tidak ada jawaban dan aku terus-menerus memintanya untuk bertenang.

“Bertenang?” tanyanya kemudian.

“Pulanglah dulu ke sini.”

“Bertenang dan pulang?”

Aku mengogam.

“Bagaimana aku dapat bertenang dan pulang dalam keadaan seperti ini?”

“Ya, memang sulit. Aku akan menjemputmu.”

“Kemudian membawa aku pulang?”

“Ya.”

“Bagaimana aku dapat melakukan hal itu, ke­tika....” Kalimat Jim terputus.

“Ketika kau melihat semua orang di desa itu men­jadi batu?” aku memotong kalimat Jim. Tapi aku me­nyesal karena berkata seperti itu. Untunglah Jim tidak menangkap kelalaian tersebut, bahkan men­ja­dikan­nya sebagai titik awal untuk menceritakan pe­nga­­lamannya yang lain menjelang subuh itu.

“Ya. Ketika itu tanpa seizin Niru aku pergi ke rumah Bontik. Tetapi aku melihat, Bontik dan ke­luar­ganya juga sudah menjadi batu. Aku pergi ke rumah Tuk Batin, ia dan keluarganya juga begitu. Da­­ri sinilah kemudian aku tahu bahwa semua pen­duduk desa ini sudah men­­jadi batu yang pro­ses­nya sama dengan apa yang dialami Niru dan kusaksikan langsung. Ki­ni mereka semuanya su­dah menjadi batu,” kata Jim.

Bermacam-macam su­­­­­­­­sunan orang-orang yang sudah menjadi batu itu. Pada beberapa rumah yang penghuninya tak dikenal Jim, orang yang men­jadi batu terlihat di halaman itu pun dalam berbagai pose. Ada yang sedang mencangkung, berdiri berce­kak pinggang, dan entah macam mana lagi. Bontik, kawan Niru sejak kecil dan cukup dikenal Jim, salah se­orang manusia yang menjadi batu di halaman, se­dang­kan istri dan tiga orang anaknya berada di be­lakang rumah. Tiga anak mereka yang lain berada di dalam rumah dengan berbagai macam pose. Begitu pula Tuk Batin yang terlihat duduk di bendul dengan mu­ka tegang, sedangkan istri dan anak-anaknya tergelimpang di halaman.

Barangkali dipengaruhi oleh kedekatan hati, ia melihat Niru yang sudah menjadi batu lebih dulu. Lelaki ini beserta anggota keluarganya berada dalam rumah. Tetapi Niru setengah duduk: kaki sampai ping­­gangnya sejajar dengan lantai kaki kanan meng­him­pit kaki kiri; sedangkan pinggang sampai kepa­la­nya membuat garis 120 derajat. Tangan kanan me­no­­pang kepalanya, sementara tangan kiri melempai meng­­ikuti bentuk pinggang. Tetapi mata Niru.... Ma­ta­nya memandang tembus ke langit. Atap rumah yang terbuat dari daun nipah yang seharusnya menghalangi mata Niru memandang ke luar, ternyata bocor. Cahaya bulan sepenggal yang masuk ke dalam rumah melalui lubang itu tepat menimpa mata Niru, se­hing­ga alat indera tersebut seperti menyala dan me­lahir­kan suasana yang sungguh sulit dilukiskan kata-kata.

Ia menerangkan tentang bagaimana ia berlari dari satu rumah ke rumah lain dengan napas terengah-engah. Tidak sekali dua ia tersampuk benda-benda yang tak sempat dilihatnya sehingga ia tersungkur ke tanah. Luka pada beberapa bagian tubuhnya tak terasakan lagi. Ia berharap agar semuanya ini hanya mimpi kosong belaka, tetapi semakin besar harapan itu bergumul dalam pikiran dan perasaannya, semakin besarlah kesadarannya tentang kenyataan ini. Di antara rentangan sikap semacam itulah ia tergantung dan saling tarik-menarik. Ketika ia sampai pada ujung rentangan menolak, dengan cepat ia meluncur ke rentangan menerima kenyataan tersebut. Sebalik­nya belum sempat ia menyadari keadaan dirinya me­ne­rima kenyataan itu dengan hati jernih, ia meluncur pu­la ke rentangan yang menolak.

Entah berapa kali Jim bolak-balik di antara satu rumah ke rumah lain yang sekaligus menyaksikan orang-orang sudah menjadi batu tanpa mengerti mengapa ia bertindak demikian. Seolah-olah bagian-bagian tubuhnya bekerja sendiri-sendiri. Ketika kakinya melangkah sesungguhnya tangannya hanya ingin berdiam, bahkan kadang-kadang terasa kalau kaki kanan ingin ke depan, kaki kirinya ingin ke belakang atau ke samping kanan maupun ke samping kiri, sementara otaknya melayang entah ke mana. Walhasil ia harus mengeluarkan tenaga sedemikian banyaknya dengan sia-sia. Ia merasa amat letih, tetapi ia tidak dapat mengenal keletihan itu sehingga tidak mampu pula diatasinya. Ia seperti orang sasau --di antara gila dengan waras.

Ia kemudian terhenyak di anak tangga ru­mah Ni­ru tanpa dapat membagi perasaan. Dengan sedikit si­sa kesadaran sebagai orang waras, selanjutnya ia memekik keras berkali-kali. Entah apa yang dipe­kik­nya, ia tak tahu. Pekikan itu pulalah yang seolah-olah mengan­tar­kan kakinya melangkah ke warung telepon dan kembali menelepon aku.

“Tapi aku bertambah kecewa, bertambah kecewa karena kau menyuruh aku pulang; seolah-olah tidak ada kejadian apa-apa di sini. Seharusnya, kita berbuat sesuatu menghadapi kenyataan ini. Bukan bermaksud men­jem­put­ku pulang. Di mana letak dirimu sebagai ma­nu­sia?”

Aku diam.

“Kemanusiaanmu sudah tak berguna. Kau sudah mati. Kau sedikit pun tidak memiliki perasaan,” Jim marah besar. Suaranya lantang ber­kumandang, terasa seperti jarum menusuk telingaku.

“Kau bangsat, taik kucing!” Jim menghempaskan gagang telepon.

Tanpa merasa tersinggung sedikit pun, aku juga meletakkan gagang telepon. Meraih kursi dan pelan-pelan meletakkan tongkeng di kursi, kemudian me­nyan­darkan tubuhku ke sandarannya sehingga aku benar-benar rebah. Memandang ke langit-langit, aku berkata pelan, “Kalau saja Jim tahu bahwa nanti malam, giliranku, keluargaku, dan para tetangga yang menjadi batu seperti sudah dialami sekian banyak warga sebelumnya. Kalau saja Jim tahu, semuanya ini sudah direncanakan secara detil sejak dua tahun lalu sehingga aku mengetahui apa-apa saja yang di­alaminya di desa Niru walaupun ia tidak menelepon.”

Sungguh, hanya dengan menjadi batu saja kami dapat bertahan.***


(Dimuat dalam Horison, September 1997)
Continue reading →

Ini Anak Aku, Bukan Anak Kau

0 komentar
Riau Pos
Minggu, 29 Juli 2007
Cu Man selalu memegang prisip bahwa anak merupakan loyang atau wadah segala tingkah-laku orang tua. Anak seperti mutiara yang belum diketahui oleh orang banyak: ia memancarkan kilauan suci kepolosan, kejujuran, yang bisa berubah menjadi cahaya suram di masa akan datang: tergantung tingkah-laku atau etika yang dicurahkan orang tua kepadanya.

Entah mengapa, perasaan sebagai anak muncul seketika di benak Cu Man. Padahal usianya sudah mencapai 60 tahun. Tentu saja angka 60 tahun terlalu over untuk disebut sebagai anak, dan kalaupun diri mau mengaku 60 tahun sebagai anak, itu namanya buang tebiat alias nak mati. Tapi bukan itu yang menjadi alasan Cu Man: pandangan atau penglihatan terhadap sesuatu objek menciptakan tasik pemikiran di benak manusia, termasuk Cu Man, dan hal inilah yang sedang dialami Cu Man.

Empat hari yang lalu, Sulaiman bin Abdul Rahman dan orang kampungnya lebih senang memanggilnya Cu Man, baru saja sampai di Kota Pekanbaru dan menginap di rumah anak saudara atau lebih keren keponakannya. Cu Man baru pertama kali datang di Kota Bertuah ini (kata orang bertuah, tapi entahlah). Kedatangan Cu Man ke kota ini tidak mempunyai misi politik atau pun misi kebudayaan. Sebagai orang yang dilahirkan, dibesarkan dan mungkin saja dikuburkan di provinsi ini, rasanya janggal kalau tidak melihat langsung ibu kota provinsi yang dibangga-banggakan selama ini. Cu Man memang beruntung dibandingkan dengan orang-orang di kampungnya. Walaupun tidak menjadi PNS, Cu Man mempunyai banyak tanah pusaka dari abahnya. Dan dari penjualan sebidang tanah itu, Cu Man berangkat ke ibu kota Provinsi Riau ini untuk melihat dengan mata kepalanya sendiri.

Anak saudara alias keponakan Cu Man kuliah di salah satu perguruan tinggi di kota ini. Dari pagi, sejak Cu Man menyejakkan kaki di rumah kosnya jam 8 tadi, sampai Mahgrib ini, batang hidung anak saudaranya itu tak nampak. Untung saja Cu Man orangnya cepat akrab dengan siapa pun juga, sehingga kawan-kawan satu kos anak saudaranya suka berbual dengan Cu Man dan hasilnya, Cu Man dah pulak diajak berjalan-jalan di sebagian kota ini.

Azan Maghrib berkumandang ke angkasa bersaut-sautan dari masjid-masjid. Kebiasaan Cu Man bersembahyang berjamaah di masjid, dikurungnya di dalam hati, sebab Cu Man takut kalau anak saudaranya balik, ia tidak ada di kos. Tentu saja pikiran anak saudaranya bermacam-macam. Cu Man selalu menjaga perasaan orang, termasuk orang muda bahkan anaknya sekali pun. Bagi Cu Man, tingkah-laku baik itu harus datang dari orang tua dan anak muda diwajibkan mengikutnya. Kalaulah orang tua tidak semengah kelakuannya, apatah lagi anak muda.

Apa yang direncanakan, kadang kala tidak sesuai dengan hasilnya. Dan hal itulah yang terjadi pada diri Cu Man. Anak saudara yang ditunggu-tunggu, sampai selesai Cu Man mengerjakan sembahyang Maghrib tidak juga balik. Cu Man teringat buku yang ia baca sebulan yang lalu, karangan Albert Camus tentang ketidakpastian di dunia ini, yang pasti hanya kematian, itupun tidak dapat dipastikan datangnya. Semuanya absurd, termasuk pikiran Cu Man terhadap anak saudaranya yang tak balik-balik.

Padahal Cu Man telah membuat rencana: sampai saja anak saudaranya di kos, Cu Man akan mengajak anak saudaranya itu makan di kedai makan yang paling sedap. Tapi itulah, rencana tinggal rencana, kini perut Cu Man dah pun terasa perih karena lapar.

Cu Man tak mampu menahan laparnya. Sarung dibuka dan diganti dengan celana panjang dan Cu Man bergegas meninggalkan kamar kos anak saudaranya. Terulang kembali, rencana dikalahkan oleh hasilnya: Cu Man tidak melihat kawan-kawan satu kos anak saudaranya, semuanya dah pergi. Padahal terlintas dalam pikirannya mengajak satu-dua kawan kos anak saudaranya pergi makan. Tinggalah Cu Man sendiri dan Cu Man membuat keputusan berjalan kaki ke kadai makan. Kebetulan ketika masuk gang menuju kos anak saudaranya tadi, Cu Man nampak kedai makan tak jauh dari gang, kira-kira 200 meter jaraknya.

Cu Man dengan langkah tegap, menuju rumah makan itu. Cu Man selambe alias tidak kelihatan bingung, sebab kata orang-orang kampung yang pernah pergi ke kota, berjalan di kota tak usah nampak bingung, kalau nampak bingung banyak penjagak alias penjahat mendatangi kita. Kalau sudah datang penjagak, apalagi tumpou kelelat apa yang kita punya.

Berpedoman pijakan inilah, Cu Man terus melangkah dan akhirnya Cu Man sampai di rumah makan. Rasa bingung yang dipendam jauh-jauh tadi, muncul secara tiba-tiba pada diri Cu Man. Cu Man bingung, bagaimana cara memesan makanan. Lama juga Cu Man tertegun, berdiri seperti patung dekat pintu rumah makan, dan akhirnya seorang pelayan menyapa Cu Man.

“Masuk saja, Pak.”

Macam tersembar petir tunggal, Cu Man tergagau dan melangkah masuk ke rumah makan itu.

“Silakan duduk, Pak.”

Seperti kerbau ditarik hidungnya, Cu Man mengikuti perintah pelayan tersebut. Wajah Cu Man kelihatan pucat, tapi perlahan-lahan normal kembali, setelah keyakinan mengembang seperti balon dalam hati Cu Man. “Aku manusia, dia manusia, kenapa harus takut,” bisik Cu Man dalam hati.

“Bapak mau makan pakai hidang atau nasi ramas?” pelayan bertanya.

Mendengar nasi ramas, muka Cu Man memerah. Cu Man terasa terhina.

“Kau pikir aku tidak punya duit?” tanya Cu Man dengan marah. Cu Man tidak peduli orang-orang di rumah makan itu melihat dirinya. Penghinaan bagi Cu Man adalah sesuatu yang sangat menyakitkan.

“Maksud Bapak?”

“Kenapa kau menawarkan aku nasi yang sudah kau ramas?”

Pelayan tersenyum mengerti, sementara orang-orang yang melihat Cu Man juga ikut tersenyum geli, sambil melanjutkan aktivitas mereka kembali.

“Kau menghina aku lagi, ya?” Cu Man mau berdiri.

“Sabar Pak. Saya tidak menghina Bapak, sama sekali tidak. Nasi ramas itu, sepering nasi lengkap ada sambal dan sayurnya, Pak.”

“Oooo, aku pikir nasi ramas itu diramas terlebih dahulu, seperti aku memberi kucing makan. Maafkan aku ya Nak.” Cu Man mengulur tangannya untuk bersalaman dan palayan tersebut mengulurkan juga tangan.

“Mana mahal, nasi ramas atau hidangan?” Cu Man bertanya dengan suara agak pelan.

“Hidangan sedikit lebih mahal, Pak,” kata pelayan itu dengan senyum.

Cu Man berpikir sejenak. Ia seakan ingin melunaskan tindakan bodoh tadi dengan memesan yang agak mahal.

“Kalau begitu, aku pesan yang pakai hidangan,” kata Cu Man sembil menganggukkan kepala.

Pelayan rumah makan tersebut dengan kepala juga ikut mengangguk, meninggalkan Cu Man. Untuk menguasai diri Cu Man melihat sekelilingnya. Kalau ada orang melihat ke arah dirinya, Cu Man tersenyum pada orang tersebut, dan orang tersebut membalas senyuman Cu Man.

Sesaat kemudian pelayan tadi datang membawa hidangan dengan menggunakan tangannya. Cu Man heran, melihat piring-piring tersusun rapi mulai dari jari-jari sampai ke pangkal lengan. Cu Man mengeleng-ngelengkan kepalanya tanda salut. Dengan cekatan pelayan itu meletakkan piring-piring di atas meja di hadapan Cu Man. Cu Man heran lagi, karena banyak betul lauk-pauk yang dihidangkan. Cu Man berdiri dan ia berbisik ke telinga pelayan.

“Tidak harus dihabiskan semua lauk-pauknya, kan?”

“Tidak Pak. Tergantung Bapak mau makan yang mana,” balas pelayan dengan senyum.

“Kalau begitu, terima kasih ya,” Cu Man duduk kembali, sementara pelayan pergi meninggalkan Cu Man.

Cu Man menyuap makanan tersebut dengan senang hati. Tiba-tiba saja, ketika sedang menyuap makanan yang entah berapa kalinya, Cu Man teringat almarhumah emaknya. Waktu Cu Man kecil-kecil dahulu, maknya selalu berpesan agar kalau makan tidak boleh telojuk atau buru-buru dan berlebihan. Makan seadanya. Mak bagi Cu Man adalah pelita yang selalu menerangi dalam melapah kehidupan ini. Dari emaknya juga, Cu Man selalu memahami hidup ini dengan kesabaran dan tawakal. Selain itu, emaknya juga selalu menanam rasa kasih sayang kepada siapa pun juga, walaupun hati kita terluka. Mengerjakan sembahyang lima waktu yang tidak pernah Cu Man tinggalkan selama ini, juga berasal dari nasehat emaknya. Kata mak Cu Man, “Bukan lama mengerjakan sembahyang, untuk mengingat Allah, paling lama 5 menit. Coba kau bayangkan berapa banyak waktu yang telah diberikan Allah kepada dikau?”

Cu Man menangis. Ia berhenti makan, mengingat emaknya perutnya terasa kenyang. Tapi tiba-tiba, hati Cu Man terhenyak, ketika suara seorang anak keras menghardik orang tuanya.

“Mama ni, Ryan terus yang disalahkan. Padahal Mama yang memaksa Ryan makan!” Suara anak itu membuat Cu Man mengalihkan pandangan ke arah meja anak tersebut. Cu Man melihat seorang anak lelaki sedang cemberut di hadapan kedua orang tuanya. Kedua orang tua tersebut masih muda, sang suami kira-kira berusia 30-an, sang istri 20-an dan anaknya kira-kira berusia 10 tahun.

“Ryan harus makan, agar Ryan tidak sakit,” suara ibu anak itu lembut memujuk.

“Ah! Kalau Mama mau makan, makan saja sendiri!” anak itu membanting piringnya.

Cu Man berdiri dan melangkahkan kaki ke arah meja tersebut. Ia melihat anak itu seperti cucunya. Dan tanpa ragu Cu Man memiat alias menjewer telinga anak tersebut.

“Sama orang orang tua tidak boleh berkata kasar!” kata Cu man geram.

Anak itu menangis keras. Tiba-tiba sebuah pukulan (buku tinju) keras mendarat ke muka Cu Man. Cu Man terduduk, bapak sang anak menghampiri Cu Man dan ingin melayangkan kembali tinju yang kedua, namun orang-orang yang dekat di meja itu menahannya. Ibu sang anak tidak tinggal diam. Dia menghampiri Cu Man.

“Ini anak aku, bukan anak kau!” kata ibu sang anak.

Cu Man tidak dapat berkata apa-apa. Ia berdiri dan melihat satu-persatu keluarga itu. Dengan air mata bercucuran Cu Man meninggalkan rumah makan itu. Baru tiga langkah meninggalkan pintu rumah makan tersebut, pelayan tadi berlari menghampiri Cu Man.

“Maaf Pak, Bapak belum bayar,” di wajah pelayan itu terlihat kesedihan berhadapan dengan Cu Man.

“Oh, maafkan saya, saya lupa,” Cu Man mengeluarkan uang 50 ribu rupiah dan kemudian melangkah dengan menundukan kepala.

“Pak, kembaliannya...” ujar pelayan.

“Sudah, ambil saja,” Cu Man terus melangkah masih tetap menundukan kepala.***
Continue reading →
29 Jan 2013

Sepasang Mata Untuk Perempuan

3 komentar
Untuk malam yang kesekian kalinya, Indrian kembali mengeluarkan alat-alat lukisnya dari sebuah kardus bekas yang sudah lapuk. Ditatapnya kanvas yang terpancang di hadapannya. Lukisan yang tak selesai selama dua malam. Dan malam itu, ia berniat menyelesaikan lukisannya. Sebuah sketsa wajah perempuan yang acak. Lalu dia mendengus pelan.

Harus selesai. Harus sempurna," ia berbisik kepada dirinya sendiri.
Di luar, malam semakin pekat. Di atas langit, rembulan berwarna putih perak. Kuncup daun cemara di kejauhan, bersepuh warna bulan. Sekali waktu sampai pula ke dalam telinganya suara-suara burung malam. Tidak, itu jelas burung hantu. Berkukuk-kukuk. Barangkali itulah suara-suara alam yang akan dinikmatinya malam itu sambil tangan kanannya menari pelan di atas kanvas.

Sebagai seorang pelukis, Indrian meyakini satu hal. Apa pun saja yang dilihat, didengar, dan dirasakan semuanya harus dinikmati sebagai sebuah inspirasi. Alam menyediakan segalanya untuk dibaca. Untuk dilukis.

"Ah. Ira. Kau tak ubahnya anak alam yang gesit untuk kutangkap dalam lukisanku."

Lelaki kurus berambut panjang, seperti ciri khas kebanyakan orang sepertinya, itu masih terus asyik memindahkan lesatan-lesatan otaknya ke atas kanvas yang terlihat berwarna kuning keemasan ditimpa lampu dingklik yang berkeredip-keredip ditiup angin.

Namun selalu saja tangannya terhenti ketika ia bermaksud melukis kedua bola mata perempuan yang dipanggilnya Ira itu. Ia seperti tak memiliki kekuatan untuk menerjemahkan sorot mata perempuan itu ke dalam lukisannya. Dan karena itu ia menjadi sedikit kesal.

Dirogohnya saku celana yang telah sobek beberapa bagiannya. Mencari rokok, dan kemudian menjumputnya sebatang. Menyulutnya ke lampu dingklik karena tak ada korek di dekatnya. Api di ujung rokoknya menyala merah setelah ia mengisapnya keras-keras. Kemudian menghembuskan asap-asapnya sekeras ia menghisapnya. Asap bergulung-gulung di hadapannya sebelum terberai oleh angin.

Ditatapnya kembali lukisan wajah perempuan yang tak memiliki mata itu. Semuanya sudah hampir sempurna. Tinggal kau menyelesaikan bentuk kedua bola matanya, Indrian. Kemudian kau memberinya ruh pada tatapannya agar lukisanmu memiliki kesan sebagai lukisan yang hidup.

Lama Indrian memandang lukisannya. Kedua kakinya ia selonjorkan untuk melenturkan kembali otot-ototnya. Kedua tangannya ia lipat di depan dadanya yang tipis yang terbungkus oleh kaos dalam yang tak kalah tipis dengan dadanya. Sekali-sekali terlemparlah suara batuknya yang berat ke tengah-tengah malam. Sunyi yang menyergap membuat suara batuknya itu terlempar sampai jauh. Seperti memantul dari rerimbunan daun yang merunduk beku.

Sebatang rokoknya telah habis. Tak sepenuhnya dihisap. Melainkan dijumput sedikit-sedikit oleh angin yang lesau.

"Ira. Sebaiknya tak kulukis matamu di sini," guman Indrian sambil meraba-raba bagian wajah yang hendak diisi dengan lukisan mata perempuan itu. Barangkali ada pasir yang akan mengganggu dan mengotori wajah perempuannya itu. Namun ia tak menemukan sebutir pasir pun di sana.

"Ya. Matamu tak akan aku lukis di sini. Sebab pada matamulah letak keindahanmu. Aku khawatir, jika sampai aku melukisnya, akan banyak orang yang menginginkan matamu sebagaimana aku pertama kali jatuh cinta kepadamu lewat mata itu," Indrian kemudian tersenyum dan memasukkan kembali alat-alat lukisnya.

"Matamu hanya akan aku lukis di dalam ingatan dan mimpi-mimpiku."

Demikian katanya sambil bergegas masuk kamar untuk berangkat tidur. Untuk malam yang kesekian ia gagal lagi menyelesaikan lukisannya. Namun ia merasa tak akan menyesal. Karena ia sudah memiliki alasan. Setidaknya alasan untuk dirinya sendiri.

Di atas amben tua tempat ia membaringkan tubuhnya yang kurus, Indrian tertegun sejenak. Ingatannya kembali terusik oleh lukisan mata kekasihnya yang tak selesai. Sepasang mata milik kekasihnya, tentu. Di kedua bola mata perempuan ia seperti melihat kelembutan yang selama ini tak dirasakan.

Betapa jujur mata perempuan mengungkap segalanya. Mata yang menyimpan kasih sayang yang tak bisa ia ukur. Tak bisa ia lukis lewat cat-cat berwarna. Betapa lelaki itu merindukan perempuannya malam itu. Lebih tepatnya ia merindukan untuk bisa melihat kedua bola matanya. Sejurus kemudian Indrian tersenyum sendiri.

Mengenangkan saat-saat ketika ia duduk berhadapan di salah satu tempat di taman kota. Menyelami kedua bola mata Ira. Perempuan yang saat ini berada di negeri jauh. Bertaruh keberuntungan. Indrian bangkit dan duduk di tepi amben yang terdengar berderit-derit parau menahan beban.

"Jangan cemaskan aku, Indrian. Aku bisa menjaga diriku untukmu," kata Ira sebelum meninggalkannya.

"Tapi aku mengkhawatirkan matamu, Ira," balas Indrian sambil menggenggam erat kedua tangan Ira dan matanya menyorot tajam ke dalam mata Ira.

Mendengar kata itu Ira tersenyum. Indrian gemas.

"Mataku tak pernah akan beranjak untuk melihat yang lain. Ia hanya akan melihat dirimu. Percayalah," terdengar Ira meyakinkan lelaki di hadapannya.

Seekor cecak jatuh tepat di hadapan Indrian kemudian lari terbirit-birit dan menghilang ke bawah kolong yang tampak gelap. Indrian melirik jam dindingnya yang tak berkaca. Tepat jam sepuluh waktu itu. Sama dengan ketika ia berduaan dengan Ira di suatu taman menghabiskan malam terakhir sebelum kekasihnya itu pergi.

Indrian bergegas mendekati jendela dan membukanya. Di luar, terlihat bayang-bayang pohon yang tampak berwarna gelap. Rembulan sudah tak seterang waktu dia melukis tadi. Terlihat agak bergeser dan saat itu berada tepat di atas uwung-uwung rumahnya. Cukup lama ia di situ sebelum akhirnya ia memutuskan untuk keluar rumah.

Indrian berdiri tepat di tengah-tengah halaman rumahnya sambil menghadap ke arah barat. Tak jauh dari tempatnya berdiri, terdapat pohon mangga yang sudah dua tahun tak berbuah. Pohon itu sengaja tidak ia tebang dan hanya digunakan sebagai tempat ia berteduh sambil melukis pada siang yang panas. Sebentar kemudian Indrian menatap rembulan yang berada tepat di atasnya. Itu membuatnya bermandikan cahaya. Saat itu juga ia seperti melihat mata kekasihnya. Ya, mata kekasihnya itu seperti rembulan. Selalu menimpakan cahaya. Betapa sempurna perempuan yang memiliki mata rembulan. Yang bisa menatapnya dengan cahaya ketulusan yang begitu lembut.

Bukankah lebih baik jika ia melukis mata Ira dengan bentuk dua rembulan. Tentu saja begitu, pikir Indrian. Lagi pula ia tak mau mengingkari kalau mata kekasihnya itu seperti dua buah rembulan yang terpasang di wajahnya. Namun sebentar kemudian Indrian mengurungkan niatnya.

"Masihkah Ira menjaga kedua matanya untukku?"

Keraguan tiba-tiba menyergapnya. Tapi kenapa ia mesti meragukan perempuan. Bukankah makhluk itu dicipta tidak untuk disangsikan atau diragukan. Perempuan adalah makhluk yang memiliki kedekatan sifat dengan kelembutan dan kasih Tuhan. Dan setiap kelembutan atau kasih sayang tak pernah menyimpan pengkhianatan. Untuk apa ia meragukan Ira. Indrian kembali menatap rembulan itu.

Malam itu, Indrian seperti berada dalam kedamaian. Kedamaian seorang pecinta yang sedang merindukan kedua bola mata kekasihnya yang jauh di rantau. Begitu besarnya rasa rindunya sehingga ia berjanji akan melewatkan malam itu sambil menatap rembulan dan mengiringinya sampai benar-benar tenggelam di siang nanti. Betapa rembulan itu mampu mengingatkannya kepada Ira yang dicintainya.

"Silakan bermimpi tentang aku, Ira. Malam ini aku akan menjaga malammu di halaman ini. Setidaknya agar engkau tak pernah lupa bahwa aku masih berdiri menantimu," Indrian bergumam. Dilipatnya kedua lengannya di atas dadanya yang tipis. Indrian seperti mengucapkan kalimat itu kepada malam dan angin. Dalam hati ia berharap semoga akan sampailah kata-katanya ke alam di mana kekasihnya berada.

Entah berapa lama Indrian berada di halaman itu. Duduk di atas kursi yang biasa ia gunakan sebagai tempat duduk jika sedang melukis. Namun waktu ia membuka kedua matanya, hari sudah nampak siang. Sepertinya aku tertidur, bisiknya. Ia mengangkat kedua tangannya sebelum mengusapkan telapaknya ke wajah.

Matanya kemudian menangkap sesuatu di atas meja yang terletak tak jauh dari hadapannya. Secarik amplop surat baru. Ia menengok ke semua arah berharap mengetahui siapa yang telah meletakkan surat itu tanpa membangunkannya terlebih dahulu. Namun keadaan masih sunyi. Dan sepertinya tak ada tanda-tanda kalau seseorang baru saja keluar dari halaman rumahnya.

Sejenak Indrian menatap surat itu. Tertera namanya di sana. Namun ia tak tahu siapa pengirimnya. Di bagian belakang amplop memang tertulis, Martin Hesse. Tapi Indrian merasa tak pernah kenal kepada orang yang memiliki nama seperti itu. Indrian membuka surat itu dan membacanya. Darahnya tersirap, pandangannya kabur, dan kemudian ia terjerembap ke atas kursinya kembali.

"Bagaimana mungkin Ira harus kehilangan kedua matanya. Apa yang terjadi?" Indrian seperti gelisah setelah membaca surat itu. Semula ia tak mau memercayai begitu saja isi surat yang menyatakan kalau kekasihnya tertimpa suatu kecelakaan yang membuat kedua matanya buta. Tidak, ini tak boleh terjadi. Apa pun alasannya aku tetap mengagumi kedua bola mata itu. Isi surat itu menjadikan Indrian seperti orang yang kehilangan kesadarannya.

Dengan langkah tergesa ia bergerak menuju toko yang tak jauh dari rumahnya. Ia bermaksud membalas surat itu. Ira harus segera mendapat balasan darinya. Sejurus kemudian ia sudah memegang selembar kertas yang sudah ia tulis, amplop yang sudah tertempel perangko kilat balasan, sebilah pisau dapur mengkilat. Surat yang baru saja ditulisnya sudah ia masukkan ke dalam amplop. Kemudian ia raih pisau itu dan menatap dengan agak lama kilatannya.

Pada pagi hari yang sunyi itu, sesuatu akan dimulai dalam hidup Indrian. Ia telah mengambil keputusan mantap akan apa yang harus ia lakukan pagi itu. Sebuah pengorbanan seorang kekasih akan ia buktikan pagi itu. Kemudian...

Crass....

Ujung pisau itu menancap di mata kanan Indrian. Dengan tangannya Indrian mencongkel mata kanannya dan mengeluarkannya. Darah mengalir melalui pipinya dan menggenang di atas perutnya. Namun ia tak peduli. Dipandu mata kirinya ia memasukkan bola matanya itu ke dalam kantong plastik. Betapa ia mengagumi bola matanya sendiri waktu itu. Namun sesudah itu ia kembali mengarahkan ujung pisaunya ke mata kirinya dan mencongkelnya dengan agak keras sehingga mata itu terlontar. Lepas dari tangannya.

Indrian meraba bola matanya yang satu. Ia mendapatkan bola mata itu tidak jauh dari kakinya dan terasalah kalau bola mata itu dipenuhi pasir. Perih kembali menyergap. Namun ia tahan sambil tangannya membersihkan pasir yang menempel di bola matanya. Tak ada yang bisa ia lihat saat itu kecuali gelap dan rasa perih yang ia tahan. Dengan kedua tangannya Indrian memasukkan kedua bola matanya ke dalam amplop dan merekatkannya dengan lem yang sudah ia sediakan. Lalu bergegas dengan langkah tertatih menuju kotak surat yang berada di pinggir jalan depan rumahnya.

Indrian kembali masuk ke dalam kamarnya dengan langkah yang meraba-raba.

"Ira. Aku sudah merasakan bagaimana rasanya kau kehilangan kedua matamu yang selama ini aku sanjung-sanjung. Namun jangan khawatir, sebentar lagi kau akan mendapatkan gantinya. Mata antara yang mencinta dan yang dicintai tak jauh berbeda. Jangan ragu. Pakailah mataku dan lekas kembalilah ke padaku. Aku akan segera menyelesaikan lukisan matamu dengan keadaanku yang sekarang. Keadaanku yang tak bisa melihat apa-apa, namun mengerti akan keindahan matamu yang sesungguhnya" kata Indrian sebelum merebahkan dirinya di atas amben.

Kini, semua yang dilihatnya hanyalah gelap. Indrian tersenyum. Ia telah berkorban, dan itu sempurna.***

Yogyakarta, 2007
Continue reading →
Berikutnya

Kategori Koran