Oleh Jefri Al Malay
Pagi tersibak. Cahaya surya perlahan merangkak. Di tempat tidur, Umar
belum juga bergerak. Dalam kerebahan, samar-samar ia tatap seekor
kelembak. Terbang menari-nari, mengelilingi seisi kamar yang masih
berserak. Sementara anaknya yang berumur dua tahun masih tampak tidur
sangat nyenyak. Berpikir sejenak sembari mengembalikan ingatan
sepenuhnya, ia pun beranjak.
Setelah mandi dan berpakaian, Umar ke dapur bersarapan. Juadah telah pun dipersiapkan. Istrinya memang cekatan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, Umar pun dilayani dengan semestinya sebagai suami idaman. Ia selalu memulai percakapan di meja makan. Mulai dari gurau senda sampai ke hal pekerjaan.
Tak jarang juga Umar memulai dengan keluhan. Tapi istrinya Fatimah setia mendengarkan. Bagai mana tidak? Semenjak dua menjak, terkadang Umar tak dapat bertindak selain bersungut layaknya anjing menyalak. Sebagai guru seni budaya di sekolah, ada hal yang menurutnya menyalah. Seorang guru seni dituntut bisa semuanya, tak bisa mengelak. Harus bisa mengajar musik, tari, teater, lukis dan sastra sekaligus.
Jika sudah demikian, kopi segelas pun disodorkan. Fatimah pun memaklumi, bahwa perbincangan itu pasti ujung-ujungnya tak bisa berbuat apa-apa. Seringkali Fatimah menyarankan agar tak usah banyak keluhan. Sudah bersyukur diberi pekerjaan dan dibayar gaji meski tak tiap bulan.
Selalu Umar jelaskan pada istrinya, bahwa seni itu sebuah ilmu. Ia memiliki cabang-cabangnya. Masing-masing cabang memiliki disiplin ilmu yang beda pula. Layaknya ilmu eksakta, ada matematika, fisika, kimia dan bilogi. Bukankah masing-masing punya pencapaian tersendiri dan tenaga pengajar tersendiri pula.
Begitulah seharusnya pelajaran seni diberlakukan. Tapi apa hendak dikata, segalanya tergantung para pembuat kebijakan. Ia hanya bisa berharap suatu ketika nanti ada kesadaran bahwa seni budaya bukanlah cuma pelajaran hiburan. Bahkan di belahan bumi yang lain, kemajuan seni budaya justru dapat membuat negeri mereka tercatat dalam sejarah dan ternama hingga masa ke masa.
Kalau sudah sampai di sana pembicaraannya, Fatimah bergegas mengambilkan tas kerja sebagai isyarat untuk waktunya Umar berangkat. Mungkin juga istrinya berupaya agar keluhan suaminya tak sampai melarat, ia sangat percaya bahwa keluhan hanya akan membuat orang jadi penyakitan kalau tak disampaikan pada yang berpatutan. Umar pun segera berangkat tentu saja setelah di dahi istrinya kecupan mendarat.
‘’Oya, nanti sambil bereskan kamar, jangan lupa keluarkan kelembak yang ada di dalam kamar ya, mana tahu ada racunnya, tak sehat untuk anak,’’ Umar pun melangkah ke luar rumah menuju kendaraan.
Tapi sejenak Umar dibuat terperangah. Ternyata kelembak sudah pula berada di tanah. Ia mengitari kendaraannya tak tentu arah. Ada gerangan apakah?
Tapi pagi yang cerah, hendaknya tak memulai pikiran dengan masalah, pikir Umar. Kelembak hanya binatang yang pagi ini kebetulan terbang bersenang-senang di sekitaran rumahnya. Memang, menurut orang tua-tua dulu, jika ada kupu-kupu atau kelembak masuk dalam rumah, akan ada tamu jauh yang datang. Itu dulu, sekarang binatang seperti itu malah sudah jadi peliharaan segelintir orang. Dari pada waktunya terbuang, langsung saja Umar meluncur menuju tempatnya mengajar layaknya seorang pejuang.
Sekolah masih lengang. Umar memang agak cepat datang. Terkadang benar juga apa yang dikatakan orang, segala sesuatu yang dikerjakan hendaknya tak setengah hati, mulai dengan mencintai, kelak mendatangkan nikmat tak terperi. Hari ini, Umar bersemangat sekali karena materi yang diberi sesuai disiplin ilmu yang dimiliki. Semester ini, saatnya murid-muridnya mengenal sebuah teater tradisi yang dulunya di Bengkalis ini merupakan salah satu kawasan di mana berkembangnya Sandiwara Bangsawan. Inilah yang ia ajarkan. Telah berbulan-bulan Umar perintahkan mereka membuat garapan tentang cerita-cerita sejarah yang berlatar belakang kerajaan. Ya, hari ini jugalah mereka semua menunjukkan kebolehan.
Seperti biasa sebelum bertugas, Umar siapkan segala keperluan untuk memberi penilaian nantinya. Di luar tampak para siswa mulai meramaikan sekolah. Satu per satu guru sudah pula duduk di meja sambil berbenah. Tatkala bel sudah berbunyi nyaring, semua menuju ke kelas masing-masing. Tapi Umar masih tetap di tempat. Dalam sigaunya tadi, tiba-tiba ia menatap heran pada seekor kelembak yang terbang mengitari seisi kantornya. Ya... kelembak yang ia jumpai di rumahnya, di kendaraannya tadi juga. Seekor kelembak yang berwarna abu-abu lusuh bebercak-bercak.
Dalam keterpanaannya itu, sang kelembak menghampirinya. Bagai tersentak, Umar serasa hendak berteriak. Tapi terlanjur sekujur tubuhnya meriang. Ia merasakan ada yang datang. Menghampirinya serupa bayang-bayang. Antara percaya dan tidak, ia dikerumuni sejumlah persitiwa. Peristiwa sejarah yang serasa mulai tumpah.
Peristiwa masa lampau mengayau payau. Tak ada yang dapat diupayakannya selain pasrah. Kemudian peristiwa yang seakan-akan hidup menggeliat itu mejelma wajah-wajah. Sungguh ia tak mengenalnya. Di antara banyak wajah yang terpampang silih berganti di pandangannya itu, ada satu wajah yang kemudian betah ditatapnya. Lalu, wajah itu jualah tiba-tiba menyemburkan aroma sejarah, memuntahkan remah-remah peradaban. Dalam satu sentakan, wajah itu yang telah berubah seekor kelembak, ya kelembak sejarah terbang mendesup ke dalam diri Umar yang kini bagai tak memiliki pegangan. Apakah Umar kemasukan?
Tersadar dari ketakberdayaannya, cericau suara tertangkap di telinga. ‘’Pak Umar kenapa? Kurang sehat? Sebaiknya Pak Umar, istirahat saja dulu’’. Umar yang kini terkapar di lantai, menyadari tubuhnya bersimbah peluh dan melihat beberapa guru telah mengelilinginya.
Setelah berupaya bangkit, Umar memperbaiki penampilannya yang kusut masai. Ia pun minta guru-guru besurai. ‘’Tidak mengapa, hamba sehat...ya hamba mungkin saja hanya sedikit penat, persilahlah semua berundur ke masing-masing tempat.’’ Bahasa ucapnya itu membuat para guru mengernyit kening tanda ketidakmengertian sekaligus heran. Demikian juga Umar yang antara sadar atau tidak melafaskan kata-kata sedemikian.
Ia tergopoh-gopoh melangkah. Meninggalkan kebingungan yang masih bergelayut di benak tiap-tiap guru. Ia terus melangkah gagah menuju ke suatu arah. Ke manakah?
Sesungguhnya telah terjadi sesuatu dalam diri Umar. Ia seumpama berada di dua dimensi yang berbeda. Dalam pandangan yang kian tak dapat dimengerti oleh dirinya, terkadang ia menyaksikan dirinya berada di sebuah kampung dengan setting masa lalu. Namun pada detik lainnya, ia masihlah Umar seorang guru seni budaya yang sedang menuju ke kelas tempat ia mengajar.
Di dalam diri Umar dirasakan ada yang bergejolak. Perasaan senang untuk mengajar dan diselingi perasaan asing tentang sengkarut dendam dan kebencian tapi tak tahu dialamatkan kemana rasa itu. Kesemua rasa saling tumpang tindih, membuat Umar tampak ingin berteriak supaya apa yang dirasakan dalam dirinya segera tumpah berserak.
Tapi akhirnya sampai jua Umar di tempat tujuan. Begitu langkah pertamanya menginjak lantai kelas, yang ia lihat adalah ratusan kelembak memenuhi ruangan. Masing-masing terbang mengepakkan sayap sembari mengeluarkan serbuk-serbuk coklat dari tiap kepaknya. Umar terkesiap seketika. Pandangannya kembali kabur tapi tak lama berselang ketika mata terbuka, tak ditemukan wajah-wajah siswanya seperti biasa. Tak ada lagi doa dan salam hormat dari suara murid-muridnya.
Sekolah dan tentang segala hal yang berkaitan dengan itu semua seolah dirasakan Umar serupa dejavu, sesuatu yang terjadi entah bila, masa depan atau masa lalu. Kini Umar berada di sebuah rumah panggung. Merenung di sebuah tingkap sembari menatap jauh ke depan. Niur menjulang tinggi, kicau burung di pagi hari, kampung yang menyergam di depan mata dengan keasliannya tak membuat hati Umar tenang. Sepertinya ada yang sedang bertelagah di dalam dirinya.
‘’Ampun Panglima Umar. Semua persiapan sudah pun dilaksanakan. Tinggal menunggu perintah untuk segera kita bertolak.’’ Seseorang masuk menghadap, serta merta lamunan Panglima Umar lesap. Ya, Umar seorang guru sekolah kini telah menjelma sebagai seorang panglima. Sosok diri yang sebenarnya bagaikan ditarik waktu ke suatu masa jauh sebelumnya. Tapi hal itu tak lagi dirasakan dan terpikirkan oleh Umar, ia benar-benar berdiri segak sebagai Panglima Umar lengkap dengan pakaiannya.
Sejenak ia menghembuskan nafas sembari melihat raut wajah anak buahnya itu. ‘’Ya...kita memang harus segera bertolak, itulah yang semolek-moleknya.’’ Kemudian ia memberi isyarat pada anak buahnya agar menunggu di luar.
Sejenak masih tampak Panglima Umar ragu-ragu untuk beranjak. Keraguannya itu berkaitan dengan peristiwa sekitar tiga tahun lalu. Setelah ia meninggalkan Bukit Batu disebabkan beberapa hal yang membuat ia tak setuju. Abangnya bernama Encik Khamis yang bergelar Datuk Laksamana Raja Dilaut telah membuat kesilapan dengan memberi pinjaman Koto Bejalan pada pihak kerajaan Siak. Tak hanya itu, pelariannya itu juga diakibatkan Datuk Laksamana Raja Dilaut memberi izin pada orang-orang Salowatang untuk menetap di Bukit Batu bahkan mereka diberi kepercayaan untuk menjaga daerah laut. Itulah yang menyebabkan Panglima Umar merasa tersinggung sebagai kepala dari semua Panglima. Sakit hatinya itulah yang dibawanya sampai ke Pulau Merbau.
Dan ternyata apa yang disangsikan Panglima Umar benar adanya. Setelah beberapa waktu kemudian, Bukit Batu berhasil diduduki orang Salowatang. Kabar yang didengar dari saudagar yang datang ke Merbau mengatakan bahwa Abangnya Datuk Laksamana Raja Dilaut kini harus menyelamatkan diri entah ke mana sedang saudaranya, Panglima Ayat harus terbunuh tatkala melakukan perlawanan dengan orang-orang Salowatang.
Dan kini kenyataan jadi lain, sakit hati Panglima Umar pada abangnya itu justru telah menjadi dendam dan amarah pada orang-orang Salowatang. Sungguh, marwahnya sebagai anak watan terkoyak. Tanah kelahirannya telah pula dirampas orang lain. Tak semestinya ia berdiam diri lagi. Apapun yang terjadi ia harus menuntut bela. Para perampas itu harus diusir dari tanah Bukit Batu meski sampai titik darah penghabisan. Lalu sambil menggenggam Keris Tabik Alam, Panglima Umar pun melangkah dengan gagah.
Lancang kepunyaan Panglima Umar pun berlayar menghala ke Bukit Batu. Dengan berbekal sekebat niat untuk merebut kembali tanah kelahirannya serta hendak menuntut balas atas kematian Panglima Ayat saudaranya. Panglima Umar berdiri gagah di haluan. Lancang Bayan miliknya itu terus membelah arus dan riak. Bendera berwarna putih dan layar sepasang putih itu terus berkibar ditampar angin seolah-olah menjadi saksi atas keteguhan hatinya.
Semakin mendekati Bukit Batu, semakin pula melecit kerinduan dalam dirinya. Rindu pada saudara-saudara, rindu akan tanahnya. Kini tak ada yang lebih memalukan daripada membiarkan orang-orang asing memerintah di tanah datuk nenek moyangnya. Barangkali inilah yang namanya marwah tergadai berkecai. Panglima Umar benar-benar telah memaafkan kesilapan abangnya Encik Khamis alias Datuk Laksamana Raja Dilaut itu. Justru yang terbayangkan saat ini adalah ketika saudara-saudaranya beserta panglima yang ada di Bukit Batu berjuang untuk mempertahankan marwah kampung dan pada akhirnya harus menerima kekalahan. Di satu sisi, sebagai seorang Panglima, sudah sepantasnya ia merasa bersalah sekaligus malu karena membiarkan hal itu terjadi.
Namun ternyata berita kedatangan Panglima Umar ke Bukit Batu telah diketahui orang-orang Salowatang. Dan dengan segera mereka semua mempersiapkan diri untuk angkat kaki dari Bukit Batu. Mereka merasa gentar lantaran tak hanya takut pada kegagahan dari Panglima Umar tapi juga yang ditakuti adalah Keris Tabe Alam yang dipakai Panglima Umar sebagai senjata ampuh yang tak ada tandingannya.
Begitu berlabuh, darah Panglima Umar pun berbuncah. Sudah tak sabar rasanya ia membuktikan bahwa anak watan Bukit Batu tidaklah lemah dengan begitu saja menerima kekalahan tanpa berbuat apa-apa. Tapi kemudian yang disaksikan justru lengang. Tampaknya tak ada lagi orang-orang Salowatang yang kelihatan.
Keris masih tergenggam di tangan. Panglima Umar menyikat pandangan pada keseluruhan celah kampung dan kemudian ia ternampak sebuah perahu orang Salowatang yang tak berapa jauh di laut. Karena rasa benci dan dendam yang berkecamuk, maka dikejarnya perahu itu dengan lancang Bayannya. Begitu merapat, ia pun mengamuk sejadi-jadinya. Dengan tangkas ia melompat kesana kemari, menusuk siapa saja yang ada di dalam perahu itu, menerjang dan memporak-porandakan seisi perahu.
Tak perlu waktu yang panjang untuk Panglima Umar menuntaskan segalanya. Dalam keadaan terengah-engah, masih tertangkap di mata, ada sekumpulan orang-orang yang tersudut menepi dengan muka merintih kesakitan. Tapi entah kenapa kemudian matanya kian kabur. Tubuhnya bergetar. Kepalanya seperti tertusuk-tusuk. Serasa ada sesuatu yang akan lepas luncas dalam dirinya. Ia meronta-ronta, menjerit serupa orang kerasukan.
‘’Bangsaaat...Keparaaat..Laknaaat...! Mika kira kami semua takuuut!’’
Kejap kemudian tubuhnya rubuh di lantai. Seiring itu juga dirasakannya ada bayang berkecai. Sejumlah ingatan masa lalu berangkat pergi. Yang tinggal kini suara rintih dan sisa tangis. Ia coba membuka mata lalu semua serba tak diduga. Ia kini adalah Umar seorang guru seni budaya. Apa yang terjadi pada dirinya, sungguh tak dapat untuk dikata. Ia perhatikan sekeliling. Meja kursi bagai habis dibanting. Wajah murid-muridnya yang menyimpan runsing. Semuanya tampak ketakutan bagai habis melihat setan. Dari kejauhan, tampak guru-guru berlarian ke arahnya, ke kelas yang kini semrawutan.
‘’Astaghfirullah...Pak Umar kemasukan...’’
‘’Pak Umar kemasukan...’’
‘’Ya...Pak Umar kemasukan...setan’’
Sementara Umar hanya berkedipan. Ia tersandar bagai tidak terjadi apa-apa kejadian. Matanya kini tertuju pada seekor kelembak yang terbang keluar melalui tingkap. Lalu kemudian di udara, kelembak sejarah itu pun lesap.
Pulau Rindu, Febuari-Maret 2012
Setelah mandi dan berpakaian, Umar ke dapur bersarapan. Juadah telah pun dipersiapkan. Istrinya memang cekatan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, Umar pun dilayani dengan semestinya sebagai suami idaman. Ia selalu memulai percakapan di meja makan. Mulai dari gurau senda sampai ke hal pekerjaan.
Tak jarang juga Umar memulai dengan keluhan. Tapi istrinya Fatimah setia mendengarkan. Bagai mana tidak? Semenjak dua menjak, terkadang Umar tak dapat bertindak selain bersungut layaknya anjing menyalak. Sebagai guru seni budaya di sekolah, ada hal yang menurutnya menyalah. Seorang guru seni dituntut bisa semuanya, tak bisa mengelak. Harus bisa mengajar musik, tari, teater, lukis dan sastra sekaligus.
Jika sudah demikian, kopi segelas pun disodorkan. Fatimah pun memaklumi, bahwa perbincangan itu pasti ujung-ujungnya tak bisa berbuat apa-apa. Seringkali Fatimah menyarankan agar tak usah banyak keluhan. Sudah bersyukur diberi pekerjaan dan dibayar gaji meski tak tiap bulan.
Selalu Umar jelaskan pada istrinya, bahwa seni itu sebuah ilmu. Ia memiliki cabang-cabangnya. Masing-masing cabang memiliki disiplin ilmu yang beda pula. Layaknya ilmu eksakta, ada matematika, fisika, kimia dan bilogi. Bukankah masing-masing punya pencapaian tersendiri dan tenaga pengajar tersendiri pula.
Begitulah seharusnya pelajaran seni diberlakukan. Tapi apa hendak dikata, segalanya tergantung para pembuat kebijakan. Ia hanya bisa berharap suatu ketika nanti ada kesadaran bahwa seni budaya bukanlah cuma pelajaran hiburan. Bahkan di belahan bumi yang lain, kemajuan seni budaya justru dapat membuat negeri mereka tercatat dalam sejarah dan ternama hingga masa ke masa.
Kalau sudah sampai di sana pembicaraannya, Fatimah bergegas mengambilkan tas kerja sebagai isyarat untuk waktunya Umar berangkat. Mungkin juga istrinya berupaya agar keluhan suaminya tak sampai melarat, ia sangat percaya bahwa keluhan hanya akan membuat orang jadi penyakitan kalau tak disampaikan pada yang berpatutan. Umar pun segera berangkat tentu saja setelah di dahi istrinya kecupan mendarat.
‘’Oya, nanti sambil bereskan kamar, jangan lupa keluarkan kelembak yang ada di dalam kamar ya, mana tahu ada racunnya, tak sehat untuk anak,’’ Umar pun melangkah ke luar rumah menuju kendaraan.
Tapi sejenak Umar dibuat terperangah. Ternyata kelembak sudah pula berada di tanah. Ia mengitari kendaraannya tak tentu arah. Ada gerangan apakah?
Tapi pagi yang cerah, hendaknya tak memulai pikiran dengan masalah, pikir Umar. Kelembak hanya binatang yang pagi ini kebetulan terbang bersenang-senang di sekitaran rumahnya. Memang, menurut orang tua-tua dulu, jika ada kupu-kupu atau kelembak masuk dalam rumah, akan ada tamu jauh yang datang. Itu dulu, sekarang binatang seperti itu malah sudah jadi peliharaan segelintir orang. Dari pada waktunya terbuang, langsung saja Umar meluncur menuju tempatnya mengajar layaknya seorang pejuang.
Sekolah masih lengang. Umar memang agak cepat datang. Terkadang benar juga apa yang dikatakan orang, segala sesuatu yang dikerjakan hendaknya tak setengah hati, mulai dengan mencintai, kelak mendatangkan nikmat tak terperi. Hari ini, Umar bersemangat sekali karena materi yang diberi sesuai disiplin ilmu yang dimiliki. Semester ini, saatnya murid-muridnya mengenal sebuah teater tradisi yang dulunya di Bengkalis ini merupakan salah satu kawasan di mana berkembangnya Sandiwara Bangsawan. Inilah yang ia ajarkan. Telah berbulan-bulan Umar perintahkan mereka membuat garapan tentang cerita-cerita sejarah yang berlatar belakang kerajaan. Ya, hari ini jugalah mereka semua menunjukkan kebolehan.
Seperti biasa sebelum bertugas, Umar siapkan segala keperluan untuk memberi penilaian nantinya. Di luar tampak para siswa mulai meramaikan sekolah. Satu per satu guru sudah pula duduk di meja sambil berbenah. Tatkala bel sudah berbunyi nyaring, semua menuju ke kelas masing-masing. Tapi Umar masih tetap di tempat. Dalam sigaunya tadi, tiba-tiba ia menatap heran pada seekor kelembak yang terbang mengitari seisi kantornya. Ya... kelembak yang ia jumpai di rumahnya, di kendaraannya tadi juga. Seekor kelembak yang berwarna abu-abu lusuh bebercak-bercak.
Dalam keterpanaannya itu, sang kelembak menghampirinya. Bagai tersentak, Umar serasa hendak berteriak. Tapi terlanjur sekujur tubuhnya meriang. Ia merasakan ada yang datang. Menghampirinya serupa bayang-bayang. Antara percaya dan tidak, ia dikerumuni sejumlah persitiwa. Peristiwa sejarah yang serasa mulai tumpah.
Peristiwa masa lampau mengayau payau. Tak ada yang dapat diupayakannya selain pasrah. Kemudian peristiwa yang seakan-akan hidup menggeliat itu mejelma wajah-wajah. Sungguh ia tak mengenalnya. Di antara banyak wajah yang terpampang silih berganti di pandangannya itu, ada satu wajah yang kemudian betah ditatapnya. Lalu, wajah itu jualah tiba-tiba menyemburkan aroma sejarah, memuntahkan remah-remah peradaban. Dalam satu sentakan, wajah itu yang telah berubah seekor kelembak, ya kelembak sejarah terbang mendesup ke dalam diri Umar yang kini bagai tak memiliki pegangan. Apakah Umar kemasukan?
Tersadar dari ketakberdayaannya, cericau suara tertangkap di telinga. ‘’Pak Umar kenapa? Kurang sehat? Sebaiknya Pak Umar, istirahat saja dulu’’. Umar yang kini terkapar di lantai, menyadari tubuhnya bersimbah peluh dan melihat beberapa guru telah mengelilinginya.
Setelah berupaya bangkit, Umar memperbaiki penampilannya yang kusut masai. Ia pun minta guru-guru besurai. ‘’Tidak mengapa, hamba sehat...ya hamba mungkin saja hanya sedikit penat, persilahlah semua berundur ke masing-masing tempat.’’ Bahasa ucapnya itu membuat para guru mengernyit kening tanda ketidakmengertian sekaligus heran. Demikian juga Umar yang antara sadar atau tidak melafaskan kata-kata sedemikian.
Ia tergopoh-gopoh melangkah. Meninggalkan kebingungan yang masih bergelayut di benak tiap-tiap guru. Ia terus melangkah gagah menuju ke suatu arah. Ke manakah?
Sesungguhnya telah terjadi sesuatu dalam diri Umar. Ia seumpama berada di dua dimensi yang berbeda. Dalam pandangan yang kian tak dapat dimengerti oleh dirinya, terkadang ia menyaksikan dirinya berada di sebuah kampung dengan setting masa lalu. Namun pada detik lainnya, ia masihlah Umar seorang guru seni budaya yang sedang menuju ke kelas tempat ia mengajar.
Di dalam diri Umar dirasakan ada yang bergejolak. Perasaan senang untuk mengajar dan diselingi perasaan asing tentang sengkarut dendam dan kebencian tapi tak tahu dialamatkan kemana rasa itu. Kesemua rasa saling tumpang tindih, membuat Umar tampak ingin berteriak supaya apa yang dirasakan dalam dirinya segera tumpah berserak.
Tapi akhirnya sampai jua Umar di tempat tujuan. Begitu langkah pertamanya menginjak lantai kelas, yang ia lihat adalah ratusan kelembak memenuhi ruangan. Masing-masing terbang mengepakkan sayap sembari mengeluarkan serbuk-serbuk coklat dari tiap kepaknya. Umar terkesiap seketika. Pandangannya kembali kabur tapi tak lama berselang ketika mata terbuka, tak ditemukan wajah-wajah siswanya seperti biasa. Tak ada lagi doa dan salam hormat dari suara murid-muridnya.
Sekolah dan tentang segala hal yang berkaitan dengan itu semua seolah dirasakan Umar serupa dejavu, sesuatu yang terjadi entah bila, masa depan atau masa lalu. Kini Umar berada di sebuah rumah panggung. Merenung di sebuah tingkap sembari menatap jauh ke depan. Niur menjulang tinggi, kicau burung di pagi hari, kampung yang menyergam di depan mata dengan keasliannya tak membuat hati Umar tenang. Sepertinya ada yang sedang bertelagah di dalam dirinya.
‘’Ampun Panglima Umar. Semua persiapan sudah pun dilaksanakan. Tinggal menunggu perintah untuk segera kita bertolak.’’ Seseorang masuk menghadap, serta merta lamunan Panglima Umar lesap. Ya, Umar seorang guru sekolah kini telah menjelma sebagai seorang panglima. Sosok diri yang sebenarnya bagaikan ditarik waktu ke suatu masa jauh sebelumnya. Tapi hal itu tak lagi dirasakan dan terpikirkan oleh Umar, ia benar-benar berdiri segak sebagai Panglima Umar lengkap dengan pakaiannya.
Sejenak ia menghembuskan nafas sembari melihat raut wajah anak buahnya itu. ‘’Ya...kita memang harus segera bertolak, itulah yang semolek-moleknya.’’ Kemudian ia memberi isyarat pada anak buahnya agar menunggu di luar.
Sejenak masih tampak Panglima Umar ragu-ragu untuk beranjak. Keraguannya itu berkaitan dengan peristiwa sekitar tiga tahun lalu. Setelah ia meninggalkan Bukit Batu disebabkan beberapa hal yang membuat ia tak setuju. Abangnya bernama Encik Khamis yang bergelar Datuk Laksamana Raja Dilaut telah membuat kesilapan dengan memberi pinjaman Koto Bejalan pada pihak kerajaan Siak. Tak hanya itu, pelariannya itu juga diakibatkan Datuk Laksamana Raja Dilaut memberi izin pada orang-orang Salowatang untuk menetap di Bukit Batu bahkan mereka diberi kepercayaan untuk menjaga daerah laut. Itulah yang menyebabkan Panglima Umar merasa tersinggung sebagai kepala dari semua Panglima. Sakit hatinya itulah yang dibawanya sampai ke Pulau Merbau.
Dan ternyata apa yang disangsikan Panglima Umar benar adanya. Setelah beberapa waktu kemudian, Bukit Batu berhasil diduduki orang Salowatang. Kabar yang didengar dari saudagar yang datang ke Merbau mengatakan bahwa Abangnya Datuk Laksamana Raja Dilaut kini harus menyelamatkan diri entah ke mana sedang saudaranya, Panglima Ayat harus terbunuh tatkala melakukan perlawanan dengan orang-orang Salowatang.
Dan kini kenyataan jadi lain, sakit hati Panglima Umar pada abangnya itu justru telah menjadi dendam dan amarah pada orang-orang Salowatang. Sungguh, marwahnya sebagai anak watan terkoyak. Tanah kelahirannya telah pula dirampas orang lain. Tak semestinya ia berdiam diri lagi. Apapun yang terjadi ia harus menuntut bela. Para perampas itu harus diusir dari tanah Bukit Batu meski sampai titik darah penghabisan. Lalu sambil menggenggam Keris Tabik Alam, Panglima Umar pun melangkah dengan gagah.
Lancang kepunyaan Panglima Umar pun berlayar menghala ke Bukit Batu. Dengan berbekal sekebat niat untuk merebut kembali tanah kelahirannya serta hendak menuntut balas atas kematian Panglima Ayat saudaranya. Panglima Umar berdiri gagah di haluan. Lancang Bayan miliknya itu terus membelah arus dan riak. Bendera berwarna putih dan layar sepasang putih itu terus berkibar ditampar angin seolah-olah menjadi saksi atas keteguhan hatinya.
Semakin mendekati Bukit Batu, semakin pula melecit kerinduan dalam dirinya. Rindu pada saudara-saudara, rindu akan tanahnya. Kini tak ada yang lebih memalukan daripada membiarkan orang-orang asing memerintah di tanah datuk nenek moyangnya. Barangkali inilah yang namanya marwah tergadai berkecai. Panglima Umar benar-benar telah memaafkan kesilapan abangnya Encik Khamis alias Datuk Laksamana Raja Dilaut itu. Justru yang terbayangkan saat ini adalah ketika saudara-saudaranya beserta panglima yang ada di Bukit Batu berjuang untuk mempertahankan marwah kampung dan pada akhirnya harus menerima kekalahan. Di satu sisi, sebagai seorang Panglima, sudah sepantasnya ia merasa bersalah sekaligus malu karena membiarkan hal itu terjadi.
Namun ternyata berita kedatangan Panglima Umar ke Bukit Batu telah diketahui orang-orang Salowatang. Dan dengan segera mereka semua mempersiapkan diri untuk angkat kaki dari Bukit Batu. Mereka merasa gentar lantaran tak hanya takut pada kegagahan dari Panglima Umar tapi juga yang ditakuti adalah Keris Tabe Alam yang dipakai Panglima Umar sebagai senjata ampuh yang tak ada tandingannya.
Begitu berlabuh, darah Panglima Umar pun berbuncah. Sudah tak sabar rasanya ia membuktikan bahwa anak watan Bukit Batu tidaklah lemah dengan begitu saja menerima kekalahan tanpa berbuat apa-apa. Tapi kemudian yang disaksikan justru lengang. Tampaknya tak ada lagi orang-orang Salowatang yang kelihatan.
Keris masih tergenggam di tangan. Panglima Umar menyikat pandangan pada keseluruhan celah kampung dan kemudian ia ternampak sebuah perahu orang Salowatang yang tak berapa jauh di laut. Karena rasa benci dan dendam yang berkecamuk, maka dikejarnya perahu itu dengan lancang Bayannya. Begitu merapat, ia pun mengamuk sejadi-jadinya. Dengan tangkas ia melompat kesana kemari, menusuk siapa saja yang ada di dalam perahu itu, menerjang dan memporak-porandakan seisi perahu.
Tak perlu waktu yang panjang untuk Panglima Umar menuntaskan segalanya. Dalam keadaan terengah-engah, masih tertangkap di mata, ada sekumpulan orang-orang yang tersudut menepi dengan muka merintih kesakitan. Tapi entah kenapa kemudian matanya kian kabur. Tubuhnya bergetar. Kepalanya seperti tertusuk-tusuk. Serasa ada sesuatu yang akan lepas luncas dalam dirinya. Ia meronta-ronta, menjerit serupa orang kerasukan.
‘’Bangsaaat...Keparaaat..Laknaaat...! Mika kira kami semua takuuut!’’
Kejap kemudian tubuhnya rubuh di lantai. Seiring itu juga dirasakannya ada bayang berkecai. Sejumlah ingatan masa lalu berangkat pergi. Yang tinggal kini suara rintih dan sisa tangis. Ia coba membuka mata lalu semua serba tak diduga. Ia kini adalah Umar seorang guru seni budaya. Apa yang terjadi pada dirinya, sungguh tak dapat untuk dikata. Ia perhatikan sekeliling. Meja kursi bagai habis dibanting. Wajah murid-muridnya yang menyimpan runsing. Semuanya tampak ketakutan bagai habis melihat setan. Dari kejauhan, tampak guru-guru berlarian ke arahnya, ke kelas yang kini semrawutan.
‘’Astaghfirullah...Pak Umar kemasukan...’’
‘’Pak Umar kemasukan...’’
‘’Ya...Pak Umar kemasukan...setan’’
Sementara Umar hanya berkedipan. Ia tersandar bagai tidak terjadi apa-apa kejadian. Matanya kini tertuju pada seekor kelembak yang terbang keluar melalui tingkap. Lalu kemudian di udara, kelembak sejarah itu pun lesap.
Pulau Rindu, Febuari-Maret 2012
Jefri al Malay
Lahir Sungai Pakning 16 Oktober 1979. Menulis cerpen, puisi dan esai. Kini tercatat sebagai mahasiswa Universitas Lancang Kuning jurusan Sastra Melayu dan Tenaga Pengajar di SMA Negeri 2 Bengkalis.
